Rabu, 27 Januari 2010

Globalisasi Dan Proses Keterpinggiran Masyarakat Lokal

GLOBALISASI merupakan sebuah istilah yang berhubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh muka bumi ini melalui perdagangan, investasi, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, karakteristik globalisasi mempunyai kemiripan dengan internasionalisasi, sehingga kedua istilah ini sering dipertukarbalikkan. Sebagian pihak yang anti terhadap globalisasi, sering menggunakan istilah ini sebagai upaya untuk mengaburkan peran negara atau integritas suatu negara-bangsa. Sedangkan yang pro globalisasi, menganggapnya sebagai berkah karena dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan saling menguntungkan satu sama lainnya. Dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang bermakna universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama yang lainnya, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan kebudayaan.
Globalisasi merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, dan kapitalisme adalah bentuknya yang paling mutakhir. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat dunia ini menjadi seragam, penyamaan selera. Sehingga pada akhirnya, proses globalisasi ini akan menghapus identitas dan jati diri sebuah bangsa dan kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya global. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Sesungguhnya, globalisasi sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 Masehi. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalan laut untuk berdagang. Oleh karena itu, globalisasi disebut sebagai fenomena di abad ke-20 yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.
Proses globalisasi sesungguhnya dimulai dari dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Dimana mereka membentuk jaringan perdagangan meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, Pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping itu juga, kaum pedagang muslim menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Setelah itu, disusul oleh bangsa-bangsa dari Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Karena terjadi revolusi industri di Eropa, yang ditandai dengan penemuan-penemuan teknologi, kemudian bangsa-bangsa Eropa ini melakukan eksplorasi besar-besaran dan kolonialisasi sehingga membawa pengaruh terhadap difusi kebudayaan di dunia, termasuk juga menyebarkan nilai-nilai agama Kristen di negara-negara koloninya.
Kemudian, globalisasi terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika terjadi perang dingin yang ditandai dengan keruntuhan komunisme di dunia. Dari fakta tersebut, seolah-olah memberi pembenaran bahwa kapitalisme menjadi satu-satunya jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dunia. Implikasinya, negara-negara dunia pun mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Kondisi itu didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, sehingga, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.
Sejak itulah, perkembangan industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar telah memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Termasuk di Indonesia, sejak politik pintu terbuka diterapkan, perusahaan-perusahaan Eropa pun berdatangan dan membuka cabangnya, sebut saja Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris. Dan perusahaan-perusahaan multinasional ini masih tetap menjadi ikon globalisasi sampai saat ini.
Untuk mengetahui ciri-ciri semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia adalah sebagai berikut. Pertama; Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Artinya, perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global sudah terjadi sedemikian pesatnya, sementara melalui pergerakan massa, turisme telah memungkinkan terjadinya perubahan dari kebudayaan yang berbeda. Kedua; Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi seperti World Trade Organization (WTO). Ketiga; Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa terutama televisi, film, musik, radio, media cetak, fashion, literatur, makanan, transmisi berita dan olah raga internasional. Dan keempat; Meningkatnya masalah bersama, seperti pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan sebagainya.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens juga menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah proses dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Kemudian, sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan bahwa globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Setiap beberapa ratus tahun dalam sejarah manusia, transformasi hebat akan terjadi. Dalam beberapa dekade saja, masyarakat telah berubah kembali baik dalam pandangan mengenai dunia, nilai-nilai dasar, struktur politik dan sosial, maupun seni. Lima puluh tahun kemudian muncullah sebuah dunia baru.
Prediksi Peter Drucker bukan tidak mungkin terjadi, sederetan fakta yang terjadi saat ini telah memperkuat landasan menuju kesana. Lihatlah, hampir semua lini kehidupan masyarakat sudah dirasuki oleh paham-paham globalisasi. Kebudayaan atau nilai-nilai (value) yang selama ini menjadi sumber identitas masyarakat lokal pun turut terkikis dan terbawa dalam arus budaya global. Di berbagai daerah dan bahkan sudah merambah sampai ke pelosok-pelosok pedalaman di pulau Kalimantan ini, masifnya perkembangan teknologi komunikasi seperti media televisi, hand phone, internet, telah menggantikan budaya “kontak fisik” sebagai sarana utama komunikasi masyarakat lokal selama ini. Dibalik ketidakberdayaannya, masyarakat lokal dipaksakan untuk mengenyam kue-kue globalisasi yang tidak terlalu mendesak bagi kehidupan mereka. Terang saja, masyarakat lokal justru mengalami shock culture, kaget dengan suguhan baru di luar kebiasaan hidup mereka. Realitas saat ini, banyak komunitas-komunitas mengalami kemerosotan identitasnya. Proses transfer tradisi dari kaum tua ke generasi muda pun semakin pudar akibat pemanjaan layanan informasi dan komunikasi yang menyuguhkan kepraktisan. Globalisasi telah menjelma menjadi sebuah kekuatan besar di dunia, dan kehadirannya telah merenggut roh-roh kebudayaan masyarakat lokal. (*Frans Lakon)

1 komentar: