Indonesia telah memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang besar. Tanggal 20 Oktober 2009 kemarin, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dilantik dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memimpin bangsa ini periode 2009 – 2014. Melalui pesta demokrasi yang diselenggarakan dengan berbagai catatan, namun sebagai bagian dari komponen bangsa ini, sudah selayaknya kita tetap menghargai itu sebagai bagian dari proses perjalanan demokrasi. SBY tetap diberikan mandat oleh rakyat untuk kembali menahkodai kapal yang bernama Indonesia lima tahun kedepan. Mengapa SBY masih tetap menjadi sosok yang lekat dihati rakyat Indonesia? Tentunya, kita tidak perlu lagi berkilah karena suara rakyat adalah suara Tuhan dan rakyat sudah menjawabnya.
Jika menilik kembali kinerja dan hasil yang telah diraih SBY selama lima tahun kekuasaannya dulu, sesungguhnya bersama Jusuf Kalla, SBY dinilai mampu melaksanakan manajemen pemerintahan dengan baik di tengah banyaknya masalah politik, ekonomi, dan bencana. Dan pada periode ini, dengan slogan ”Bersama Kita Bisa” ia berpasangan dengan Boediono mampu menggalang dukungan publik. Bahkan, hampir semua partai politik di parlemen membentuk sebuah koalisi besar untuk mendukungnya. Dengan kekuatan koalisi di belakangnya, harapannya duet SBY – Boediono bisa memfokuskan diri untuk melanjutkan beberapa agenda pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan seluruh rakyat di nusantara ini.
Dibalik keberhasilannya, bukan berarti tidak ada cela. Segudang pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya yang belum terlaksana secara baik selama lima tahun pertama kekuasaannya. Beberapa persoalan yang krusial yang menyangkut kehidupan rakyat Indonesia masih banyak yang perlu dibenahkan dan ditata dengan baik. Potret persoalan nasional yang juga berlaku dalam konteks daerah, khususnya bagi rakyat di Kalimantan. Ada banyak persoalan kolektif rakyat Indonesia juga menjadi persoalan rakyat di Kalimantan yang harus menjadi fokus perhatian dalam kebijakan pembangunan Presiden terpilih kedepan. Persoalan-persoalan tersebut meliputi;
Pertama, memperkuat ekonomi kerakyatan mengingat angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi, dimana diperkirakan mencapai 40 persen rakyat di negara ini masih bergumul di lintasan jalur kemiskinan. Oleh karena itu, selama lima tahun kedepan, program pembangunan harus lebih merata tidak hanya tersentralisasi di perkotaan saja melainkan harus menitikberatkan pada peningkatan potensi-potensi yang ada di daerah-daerah. Pemberdayaan ekonomi kreatif sangat potensial jika ditunjang dengan fasilitas dan legalitas yang diberikan oleh pemerintah daerah. Salah satu contoh gerakan ekonomi rakyat yang perkembangannya sangat menonjol adalah Credit Union (CU). CU-CU di Kalimantan secara implementatif merupakan pengejawantahan ekonomi kerakyatan yang sudah diakui dan terbukti mampu membebaskan kemelut kemiskinan yang melanda sebagian kecil masyarakat Kalimantan selama ini. Tentu saja konsep CU Kalimantan ini bisa diterapkan juga di daerah-daerah lain sebagai salah satu upaya gerakan nasional membangun ekonomi kerakyatan. Kemudian selain itu juga, pemberian subsidi kepada rakyat harus tepat guna, seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sarana air bersih secara gratis, serta membangun sarana dan prasarana infrastruktur untuk memudahkan akses dan kontrol masyakarat di daerah. Artinya, kedepan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih harus mampu berbagi peran antara pusat dan daerah, menjadi pengatur lalu lintas pengelolaan anggaran negara dan mengelola program pembangunan agar tepat sasaran.
Kedua, pemeliharaan kebudayaan anak bangsa. Salah satu kasus saja, klaim Malaysia atas lagu rasa sayange dan tari pendet menjadi pelajaran bahwa pemimpin bangsa ini belum sepenuhnya serius mengelola khazanah budaya bangsa ini. Kedepan, seperti apa yang telah dilakukan pada Batik Jawa sebagai produk budaya asli Indonesia yang diakui dunia, juga agar hal yang sama bisa dilakukan pada semua unsur-unsur kebudayaan, baik kebudayaan yang berwujud (material cultural) maupun yang abstrak (inmaterial cultural) yang dimiliki oleh seluruh masyarakat budaya di negeri ini.
Ketiga; perbaikan di bidang demokrasi masih menjadi pekerjaan berat bangsa ini. Refleksi selama beberapa tahun terakhir, pluralisme bangsa kita masih sangat rentan terhadap kemasan isu-isu primordialisme. Oleh karena itu, pekerjaan utama kedepan adalah bagaimana sekat-sekat primordialisme yang masih sering mengedepankan perbedaan suku, agama, ras, daerah, dan sebagainya bisa terangkum dalam bingkai keutuhan Bhineka Tunggal Ika. Tantangannya adalah mendidik agar bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan, membangun budaya perdamaian, dan negara harus bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya.
Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan harus betul-betul dimaknai sebagai konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini mengingat, pemerintah masih cenderung memberikan kepercayaan kepada investor-investor “nakal” terutama yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan dan HPH untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia dan khususnya Kalimantan yang hanya dikarenakan untuk mengejar peluang untuk mendongkrak angka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau hanya berorientasi pada pemenuhan kepentingan ekonomi semata. Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, maka wajar saja Indonesia menjadi negara yang menghancurkan hutannya lebih cepat dan menjadi penyumbang polusi iklim terbesar ketiga di dunia. Oleh karena itu, kedepan sudah saatnyalah pemerintah mulai belajar dari pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan hidup.
Kelima, upaya-upaya pemberantasan korupsi harus ditingkatkan, dan bahkan harus sampai ke tingkat daerah. Terus terang saja, aspek pemberantasan korupsi ini menjadi kredit point bagi SBY selama periode pertama masa kepemimpinannya. Oleh karena itu, Presiden yang terpilih ini harus tetap konsisten dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi ini sampai keakar-akarnya. Karena jika pemerintahannya keropos dan bermental korup, maka akan sia-sia saja komitmen SBY – Boediono untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan berdaulat secara politik.
Tentu saja, dari kelima persoalan tersebut berangkat dari fakta yang terjadi di Kalimantan selama ini. Atau bahkan bisa lebih dari itu, namun yang jelas kelima hal itu menjadi sebuah refleksi mendalam yang diibaratkan sepenggal bait sajak suara-suara Kalimantan untuk SBY – Boediono lima tahun kedepan. Meskipun duet kepemimpinan ini diprediksi sulit menghasilkan terobosan-terobosan baru yang spektakuler, konservatif, cenderung lebih pada bagaimana menyelesaikan masalah yang ada bukan pada pencapaiannya, terlalu berhati-hati, tidak berani mengambil resiko, dan lain sebagainya. Namun rakyat Indonesia yang tersebar diseluruh nusantara ini tetap berharap supaya Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih ini bisa menjadi penyambung lidah rakyat.
Karena perlu juga disadari bahwa tugas terberat presiden kedepan adalah menentukan kemana arah bangsa ini akan dibawa. Meskipun di tengah mencuatnya rasa keraguan dan ketidakpastian, yang pasti lima tahun mendatang merupakan periode pembuktian Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pilihan rakyat. Reputasi Yudhoyono sebagai jago pencitraan tak diragukan, tetapi kualitas kinerjanya yang masih perlu dibuktikan. Citra tanpa bukti akan melahirkan kekecewaan dan apatisme, karena kepuasan rakyat itu sangat tergantung pada sejauhmana kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, seperti nasihat rakyat Amerika Serikat kepada Jimmy Carter, ”Kurangi bicara dan kembalilah ke meja kerja”. (*Frans Lakon)
Jika menilik kembali kinerja dan hasil yang telah diraih SBY selama lima tahun kekuasaannya dulu, sesungguhnya bersama Jusuf Kalla, SBY dinilai mampu melaksanakan manajemen pemerintahan dengan baik di tengah banyaknya masalah politik, ekonomi, dan bencana. Dan pada periode ini, dengan slogan ”Bersama Kita Bisa” ia berpasangan dengan Boediono mampu menggalang dukungan publik. Bahkan, hampir semua partai politik di parlemen membentuk sebuah koalisi besar untuk mendukungnya. Dengan kekuatan koalisi di belakangnya, harapannya duet SBY – Boediono bisa memfokuskan diri untuk melanjutkan beberapa agenda pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan seluruh rakyat di nusantara ini.
Dibalik keberhasilannya, bukan berarti tidak ada cela. Segudang pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya yang belum terlaksana secara baik selama lima tahun pertama kekuasaannya. Beberapa persoalan yang krusial yang menyangkut kehidupan rakyat Indonesia masih banyak yang perlu dibenahkan dan ditata dengan baik. Potret persoalan nasional yang juga berlaku dalam konteks daerah, khususnya bagi rakyat di Kalimantan. Ada banyak persoalan kolektif rakyat Indonesia juga menjadi persoalan rakyat di Kalimantan yang harus menjadi fokus perhatian dalam kebijakan pembangunan Presiden terpilih kedepan. Persoalan-persoalan tersebut meliputi;
Pertama, memperkuat ekonomi kerakyatan mengingat angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi, dimana diperkirakan mencapai 40 persen rakyat di negara ini masih bergumul di lintasan jalur kemiskinan. Oleh karena itu, selama lima tahun kedepan, program pembangunan harus lebih merata tidak hanya tersentralisasi di perkotaan saja melainkan harus menitikberatkan pada peningkatan potensi-potensi yang ada di daerah-daerah. Pemberdayaan ekonomi kreatif sangat potensial jika ditunjang dengan fasilitas dan legalitas yang diberikan oleh pemerintah daerah. Salah satu contoh gerakan ekonomi rakyat yang perkembangannya sangat menonjol adalah Credit Union (CU). CU-CU di Kalimantan secara implementatif merupakan pengejawantahan ekonomi kerakyatan yang sudah diakui dan terbukti mampu membebaskan kemelut kemiskinan yang melanda sebagian kecil masyarakat Kalimantan selama ini. Tentu saja konsep CU Kalimantan ini bisa diterapkan juga di daerah-daerah lain sebagai salah satu upaya gerakan nasional membangun ekonomi kerakyatan. Kemudian selain itu juga, pemberian subsidi kepada rakyat harus tepat guna, seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sarana air bersih secara gratis, serta membangun sarana dan prasarana infrastruktur untuk memudahkan akses dan kontrol masyakarat di daerah. Artinya, kedepan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih harus mampu berbagi peran antara pusat dan daerah, menjadi pengatur lalu lintas pengelolaan anggaran negara dan mengelola program pembangunan agar tepat sasaran.
Kedua, pemeliharaan kebudayaan anak bangsa. Salah satu kasus saja, klaim Malaysia atas lagu rasa sayange dan tari pendet menjadi pelajaran bahwa pemimpin bangsa ini belum sepenuhnya serius mengelola khazanah budaya bangsa ini. Kedepan, seperti apa yang telah dilakukan pada Batik Jawa sebagai produk budaya asli Indonesia yang diakui dunia, juga agar hal yang sama bisa dilakukan pada semua unsur-unsur kebudayaan, baik kebudayaan yang berwujud (material cultural) maupun yang abstrak (inmaterial cultural) yang dimiliki oleh seluruh masyarakat budaya di negeri ini.
Ketiga; perbaikan di bidang demokrasi masih menjadi pekerjaan berat bangsa ini. Refleksi selama beberapa tahun terakhir, pluralisme bangsa kita masih sangat rentan terhadap kemasan isu-isu primordialisme. Oleh karena itu, pekerjaan utama kedepan adalah bagaimana sekat-sekat primordialisme yang masih sering mengedepankan perbedaan suku, agama, ras, daerah, dan sebagainya bisa terangkum dalam bingkai keutuhan Bhineka Tunggal Ika. Tantangannya adalah mendidik agar bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan, membangun budaya perdamaian, dan negara harus bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya.
Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan harus betul-betul dimaknai sebagai konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini mengingat, pemerintah masih cenderung memberikan kepercayaan kepada investor-investor “nakal” terutama yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan dan HPH untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia dan khususnya Kalimantan yang hanya dikarenakan untuk mengejar peluang untuk mendongkrak angka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau hanya berorientasi pada pemenuhan kepentingan ekonomi semata. Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, maka wajar saja Indonesia menjadi negara yang menghancurkan hutannya lebih cepat dan menjadi penyumbang polusi iklim terbesar ketiga di dunia. Oleh karena itu, kedepan sudah saatnyalah pemerintah mulai belajar dari pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan hidup.
Kelima, upaya-upaya pemberantasan korupsi harus ditingkatkan, dan bahkan harus sampai ke tingkat daerah. Terus terang saja, aspek pemberantasan korupsi ini menjadi kredit point bagi SBY selama periode pertama masa kepemimpinannya. Oleh karena itu, Presiden yang terpilih ini harus tetap konsisten dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi ini sampai keakar-akarnya. Karena jika pemerintahannya keropos dan bermental korup, maka akan sia-sia saja komitmen SBY – Boediono untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan berdaulat secara politik.
Tentu saja, dari kelima persoalan tersebut berangkat dari fakta yang terjadi di Kalimantan selama ini. Atau bahkan bisa lebih dari itu, namun yang jelas kelima hal itu menjadi sebuah refleksi mendalam yang diibaratkan sepenggal bait sajak suara-suara Kalimantan untuk SBY – Boediono lima tahun kedepan. Meskipun duet kepemimpinan ini diprediksi sulit menghasilkan terobosan-terobosan baru yang spektakuler, konservatif, cenderung lebih pada bagaimana menyelesaikan masalah yang ada bukan pada pencapaiannya, terlalu berhati-hati, tidak berani mengambil resiko, dan lain sebagainya. Namun rakyat Indonesia yang tersebar diseluruh nusantara ini tetap berharap supaya Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih ini bisa menjadi penyambung lidah rakyat.
Karena perlu juga disadari bahwa tugas terberat presiden kedepan adalah menentukan kemana arah bangsa ini akan dibawa. Meskipun di tengah mencuatnya rasa keraguan dan ketidakpastian, yang pasti lima tahun mendatang merupakan periode pembuktian Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pilihan rakyat. Reputasi Yudhoyono sebagai jago pencitraan tak diragukan, tetapi kualitas kinerjanya yang masih perlu dibuktikan. Citra tanpa bukti akan melahirkan kekecewaan dan apatisme, karena kepuasan rakyat itu sangat tergantung pada sejauhmana kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, seperti nasihat rakyat Amerika Serikat kepada Jimmy Carter, ”Kurangi bicara dan kembalilah ke meja kerja”. (*Frans Lakon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar