Rabu, 27 Januari 2010

Kemilau Imlek, Pesona Kalbar

Tanggal 14 Febuari 2010 merupakan hari yang paling dinanti-nantikan oleh keluarga kita dari Tionghoa, karena pada hari itu merupakan hari yang penuh sukacita dan teramat sakral bagi seluruh masyarakat Tionghoa di berbagai belahan dunia. Hari raya tahun baru Tiongkok atau yang disebut Imlek 2560. Didasari pada penanggalan Tiongkok, penentuan tanggal 26 Januari 2009 sebagai Hari Raya Imlek karena menjadi tanggal satu pada bulan pertama kalender Tionghoa. Bagi masyarakat Tionghoa, Imlek adalah salah satu hari raya tradisional Tionghoa untuk menyambut pergantian tahun dan meninggalkan tahun yang lama. Di negara asalnya, Tiongkok, perayaan Imlek dinamakan Chunjie yang berarti perayaan musim semi. Kata Chunjie sudah digunakan sejak Tiongkok merdeka, dimana sebelumnya masih digunakan istilah Yuandan yang berarti pertama di tahun yang baru dimasuki.
Imlek bukan hanya di rayakan di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, Korea dan Vietnam saja, tapi juga semarak Imlek juga terjadi di berbagai negara lain yang terdapat kawasan Pecinan (kawasan bermukimnya etnis Tionghoa). Di Korea saja, Imlek sudah menjadi sesuatu yang sakral dan sebagai salah satu hari libur resmi nasional sejak 1985 silam. Di Indonesia, perayaan Imlek secara terbuka baru diperbolehkan saat pemimpin negara ini dipegang oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2000 lalu melalui Keppres No.6/2000. Bahkan juga, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2002 lalu, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa baru bisa menhirup udara segar. Pemerintahan Gus dur dan Megawati memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya secara terbuka setelah didiskriminasi selama 30 tahun oleh rezim Soeharto berkuasa.
Memang sudah saatnyalah sikap diskriminatif antar ras sudah harus ditinggalkan. Sebagai bangsa yang majemuk, tentulah Indonesia harus memupuk tali persaudaraan sejati yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sebuah kekayaan paling berharga yang harus dijaga dan dipelihara secara terus menerus. Pernyataan Presiden ini niscaya semakin menyejukkan hati masyarakat Tionghoa, yang juga sebagai bagian dari keutuhan bangsa ini. Betapa tidak, bagi masyarakat Tionghoa, tidak ada sesuatu yang lebih dari sekedar apresiasi kebudayaan yang menjadi identitas mereka. Karena apresiasi seperti itu tak pernah terdengar kala rezim orde baru berkuasa dulu. Saat ini, sekat-sekat primordialisme sudah diberangus, ruang kebebasan semakin terbuka, demokrasi telah menjamin hak semua anak bangsa untuk mengekspresi nilai-nilai kebudayaannya dan tentu saja aura kebebasan ini menjadi anugerah bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya.
Dalam masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek ini merupakan salah satu perayaan yang disebut sebagai pesta rakyat. Selain Tahun Baru Imlek, ada hari raya Yuanxiao Jie (Cap Go Meh), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas) dan Tongzhi Jie (Pesta Ronde). Dari semua hari-hari sakral tersebut, Imlek menjadi hari raya tradisional yang paling utama bagi masyarakat Tionghoa. Perayaan ini berlangsung selama lima belas hari (mulai dari hari pertama bulan Imlek sampai dengan festival lampion Cap Go Meh). Selama itulah rumah-rumah dihiasi dengan berbagai pernak pernik, saling mengucapkan selamat satu sama lainnya karena sudah melewati tahun sebelumnya (guònián) dengan selamat dan siap menyambut tahun yang baru (bàinián).
Di Kalbar, euforia Imlek seperti menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini. Pesta kembang api sambut menyambut menghiasi langit malam Kota Pontianak, atraksi Barongsai menjadi tontonan menarik di kalangan anak-anak sampai orang tua. Perayaan Cap Go Meh yang menjadi rangkaian penutup dari Hari Raya Imlek di meriahkan dengan Perarakan Barongsai Naga dan atraksi Tatung yang memukau, setiap penjuru kota berona merah dengan pernak pernik khas Tionghoa. Ribuan mata memandang, terkesima oleh kemilau ekspresi budaya yang begitu mempersona. Atraksi Tatung yang menggemparkan, perarakan Barongsai Naga yang penuh atraktif menyiratkan simbol dan makna kebudayaan tertinggi dari masyarakat Tionghoa ini.
Ternyata Kalbar menyimpan pesona budaya yang sangat tinggi. Budaya Tionghoa, Dayak, Melayu, Madura, Jawa, Bugis, Batak dan lain sebagainya adalah satu kesatuan dalam keberagaman entitas budaya yang menjadi kekayaan bumi Khatulistiwa ini. Kalbar bukan milik sekelompok saja, melainkan milik semua anak bangsa. Sehingga dengan masyarakat yang multikultural ini, perbedaan bukanlah penghalang melainkan menjadi perekat yang harus dihargai dan dihormati dalam upaya mengelola kehidupan perdamaian di tanah borneo ini.(*FL)

Penghancuran Otoritas Kedamongan

Dulu seorang Damong Adat begitu sangat dihormati dan dihargai sebagai penjaga identitas di wilayah kedaulatan adatnya. Petuah-petuah yang disampaikannya pun begitu sangat ditaati oleh warga komunitasnya. Menjadi seorang Damong bukanlah sebuah jabatan atau pengakuan semata tanpa pertimbangan yang khusus. Damong Adat harus memiliki kriteria yang dianggap mampu membawa keberlangsungan dan menjaga keberlangsungan adat dan tradisi dalam komunitasnya. Oleh karena itu, syarat untuk seseorang yang bisa menjadi Damong haruslah orang yang Becangkam Landas Beliur Bisaq (memiliki karisma), rela berkorban dan tidak menuntut imbalan atas jasanya atau dengan kata lain digaji.
Dalam hal perkara adat misalnya, sosok Damong Adat ini sangat dibutuhkan dalam menjaga nilai-nilai demokratisasi. Karena yang berhak mengadakan sidang hukum adat atau perkara adat adalah pengurus adat atau Damong Adat yang diangkat komunitasnya. Damong adat tersebut tahu semua hal tentang hukum adat karena memang itulah syarat mutlak yang dimiliki seorang Damong Adat. Bahkan kalau sampai Damong Adat tidak ada atau tidak bisa datang, perkara adat tersebut tidak dapat dilaksanakan atau ditunda untuk mengambil sebuah keputusan. Begitu pula dalam setiap proses pelaksanaan upacara adat, peran Damong Adat begitu besar. Sehingga dengan sangat besarnya peran yang dimiliki ini, warga kampung pun sangat tanggap dan selalu berpartisipasi, baik itu berupa tenaga, dukungan materi (bahan-bahan ritual adat), waktu, maupun pikiran.
Namun sangat ironis pada kondisi saat ini, hampir sebagian besar di komunitas orang Dayak, seorang Damong Adat kini hampir-hampir tidak ada perannya lagi. Gaungnya kalah jauh dibandingkan dengan peran dan kepopuleran lembaga-lembaga adat yang pembentukan dan pemilihannya tidak lagi mengutamakan prinsip-prinsip yang seyogyanya berlaku dalam pembentukan dan pemilihan seorang Damong Adat pada setiap komunitas Dayak.
Sebut saja lembaga-lembaga adat seperti Majelis Adat Dayak (MAD), Dewan Adat Dayak (DAD), dan seorang Kepala Desa ataupun Kepala Dusun yang sudah merasuki ke seluruh elemen kehidupan sosial kemasyarakatan. Dampaknya, saat ini mekanisme pemilihan Damong Adat sudah ada yang tidak lagi secara langsung dipilih oleh warga komunitasnya. Justru, ada Damong Adat yang secara langsung dipilih dan ditentukan secara sepihak oleh Pemerintah tanpa terlebih dahulu berkonsultasi dengan warga kampung sesuai mekanisme pemilihannya. Kemudian aspek yang berkaitan dengan kebijakan penggabungan beberapa kampung menjadi satu Desa juga, sangat membatasi gerak dan peran Damong Adat. Setelah wilayah kekuasaan dipersempit, dimunculkanlah beberapa organisasi “tandingan” oleh Pemerintah Daerah tanpa melibatkan masyarakat komunitas, seperti DAD Desa, DAD Kecamatan, DAD Kabupaten. Tidak mengherankan sehingga kemudian terjadilah tumpang tindih kekuasaan, kebingungan, dan saling menunggu dalam menerapkan hukum adat. Hal ini sangat berpengaruh terhadap otoritas dan eksistensi Damong Adat.
Di komunitas Dayak Simpakng fakta ini sudah terjadi. Ketika benua Simpakng dipecah menjadi dua wilayah administratif, yakni Kecamatan Simpang Hulu dan Kecamatan Simpang Dua, otoritas Damong semakin terlupakan, bahkan dalam proses pemilihan kepala adat (Patinggi), pun mulai menjauh dari mekanisme pemilihan yang sebenarnya. Pemilihannya sarat dengan manupulasi, intervensi dan tak ubahnya seperti pemilihan politik untuk menentukan wakil rakyat baik ditingkat legislatif maupun eksekutif. Otoritas Damong Adat semakin terlupakan seiring dengan pengaruh-pengaruh ekseternal seperti kemajuan informasi dan komunikasi yang tidak berimbang, pendidikan yang terpaku pada kurikulum nasional, dan agama yang memporakporandakan tatanan nilai-nilai budaya lokal menjadi faktor penentu dalam keberlangsungan identitas asli masyarakat Simpakng. Kondisi ini juga terjadi di daerah dimana komunitas Dayak secara turun temurun hidup dengan tradisi leluhurnya yang saat ini berada dalam situasi kegamangan.
Selain itu juga, seringkali ditemukan kata-kata sakti yang selalu dipakai atau dijadikan senjata oleh pihak pemerintah dan Investor untuk menakut-nakuti dan mengalahkan peran Damong Adat yakni bahwa Hukum adat tidak diakui dalam negara Indonesia dan tidak diakui dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Adat selalu dibenturkan dengan Hukum Negara. Hukum adat disebut hukum negatif bukan hukum positif. Sehingga, Damong Adat terutama yang belum mendapat pengetahuan secara memadai tentang hukum negara, sering takut atau ragu-ragu menerapkan hukum adat kepada pihak luar yang merampas hak-hak mereka.
Dampaknya pun sangat terasa dalam kehidupan masyarakat adat Dayak dimana pun saat ini. Otoritas Damong Adat semakin terpinggirkan, tidak ditaati sehingga kepercayaan terhadap Damong Adat semakin terkikis dan menjauhi segala aturan-aturan adat yang berlaku. Tidak heran jika ada kasus-kasus yang sebenarnya bisa diselesaikan ditingkat Damong Adat harus menunggu DAD terlebuh dahulu atau dibawa kekepolisian atau ke pengadilan. Begitu pula dalam setiap proses upacara adat, banyak warga kampung yang tidak lagi mengikuti sampai habis. Datang sebentar lalu pulang. Padahal dalam upacara-upacara adat tersebut akan ditetapkan tentang pantang pantiq atau aturan adat mana yang harus ditaati. Dan yang sangat memprihatinkan lagi, jika ada upacara adat dan perkara adat justru yang ditunggu-tunggu dan dinanti-nanti kedatangannya adalah seorang Kepala Desa, kepala dusun dan DAD. Damong Adat yang sesungguhnya pun semakin dilupakan karena posisi mereka dijadikan bagian dari struktural keberadaan lembaga-lembaga tersebut, padahal keberadaan damong-damong adat ini independen, sehingga segala keputusan dan keberlangsungan adat istiadat didalam lingkup komunitasnya menjadi tanggung jawab dan wewenangnya sendiri bukan harus tergantung pada keberadaan lembaga-lembaga adat itu.
Fenomena inilah yang kemudian menjadi dilema kebanyakan para Damong Adat. Derasnya arus perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, semakin membiaskan keberadaan para Damong Adat. Ditambah lagi dengan keberadaan lembaga-lembaga adat yang begitu diagung-agungkan justru semakin mengebiri identitas orang Dayak itu sendiri. Di beberapa daerah ada pengurus DAD yang memanfaatkan posisinya bekerjasama dengan para investor untuk menyosialisasikan perusahaan perkebunan dan pertambangan dan meminta agar warga masyarakat Dayak mau menerima agenda bisnis berkedok kesejahteraan ini dan menyerahkan tanahnya dengan nilai yang sangat murah. Ada indikasi, oknum dari pengurus DAD itu disogok oleh pihak investor agar keinginan bisa terwujud. Hal seperti itu bisa saja terjadi, karena lembaga-lembaga adat tersebut sangat strategis dan dianggap representatif dalam menggoyah keteguhan hati orang Dayak dalam mempertahankan kedaulatan wilayah adatnya yang selama ini menjadi sumber kehidupan mereka.
Di Indonesia, sesungguhnya keberadaan hukum adat diakui. Dalam penjelasan UUD 1945 (hasil amandemen), pasal 18 B ayat 2, pasal 28I ayat 3 UUD 1945, UUD RIS 1949 pasal 146, Tap MPR No IX/2001 pasal 4 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA huruf j, UU No 39 tahun 1999 tentang HAM pasal 6, UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 2 ayat 9, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 3, UU No 41/1999 tentang Kehutanan pasal 4 ayat 3, UU No. 7/2004 tentang sumber Daya Air pasal 6 ayat 3, UU No 18/2004 tentang perkebunan pasal 9 ayat 2, UU No. 14 tahun 1974 tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 23 ayat 1 dan pasal 27 ayat 1, UU Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 pasal 3 dan 5, UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 2 ayat 1. Berdasarkan peraturan tersebut, memberi pemahaman bahwa sebenarnya secara yuridis atau hukum, hukum adat itu diakui oleh Negara. Tinggal kini mau atau tidaknya pihak pemerintah dan investor untuk menerapkan pengakuan secara de facto terhadap hukum adat dan Damong Adat sendiri tidak lagi merasa takut dan tergantung pada pihak luar dalam melaksanakan aturan adat. Ada saling keterkaitan antara Hukum adat dan Damong Adat. Kalau Damong Adat dibatasi perannya, maka hukum adat juga akan dibatasi. Dan, kalau Hukum Adat tidak diakui maka Damong Adat tidak akan memiliki peran lagi.
Keberadaan lembaga adat dikalangan masyarakat Dayak memang begitu penting karena mengatur hajat hidup masyarakatnya, namun akhir-akhir ini pergeseran nilai dan manfaat yang terjadi telah menafikan sisi positif dari lembaga adat tersebut. Faktor-faktor seperti tidak becusnya para pemangku adat, ditungganginya DAD oleh pihak-pihak yang berkepentingan dan tidak diakuinya lembaga adat lokal telah membuat gaung hukum adat semakin kecil. Risih rasanya melihat para tokoh adat Dayak yang hanya memperjuangkan isi dompetnya sendiri dan berkonspirasi terhadap kasus-kasus yang merugikan masyarakat Dayak. Dewan Adat Dayak yang memiliki kekuatan cukup besar dalam kehidupan sosial masyarakat Dayak ternyata hanyalah tameng bagi pemerintah dan pemilik modal, mereka tidak lagi murni memperjuangkan hak-hak masyarakat Dayak dan menjadi pengayom hukum daerah melainkan telah bergeser fungsi dan manfaat. (*FL & AP)

Kaharingan; Agama Asli Orang Dayak

Judul: Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa
Penulis: Martin Georg Baier
Editor: Prof. Kumpiady Widen, Ph.D

Membangkitkan dan menghidupkan, itulah makna Kaharingan sehingga diyakini sebagai agama asli bagi suku bangsa Dayak di Kalimantan Tengah. Sampai hari ini, keberadaannya tidak pernah mendapat pengakuan dari penyelenggara bangsa ini. Jangankan pengakuan, justru keberadaannya dianggap sebagai penghambat pembangunan, ateis, menyembah berhala, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama resmi (Islam, Kristen, Hindu, Bhuda, dan Konghucu).
Menurut TjilikRiwut (2003), Agama Kaharingan sesungguhnya tidak dimulai sejak zaman tertentu, melainkan sudah ada sejak awal penciptaan, yaitu sejak Ranying Hatalla menciptakan manusia di dunia ini. Makanya, Agama Kaharingan tidak memiliki kitab suci atau tokoh panutan sebagai pendiri yang merupakan utusan Ranying Hatalla. Tidak seperti agama-agama resmi yang akui oleh pemerintah, agama Kaharingan diturunkan dan diatur secara langsung oleh Ranying Hatalla dan hingga kini masih dianut dan diyakini secara turun temurun oleh para penganutnya.
Pelbagai upaya telah dilakukan agar agama Kaharingan ini diakui keberadaannya di republik. Pada tahun 1971, disusunlah sebuah buku pedoman yang akan dijadikan kitab suci dengan nama Panaturan. Pada tahun 1973, kitab suci Panaturan ini dicetak untuk pertama kalinya, dan pada tahun 1996, kitab ini direvisi dan diterbitkan dalam dwi bahasa, yakni bahasa Dayak Ngaju dan bahasa Indonesia. Tak hanya itu, pada tahun 1980, Agama Kaharingan berafiliasi dengan Agama Hindu di Bali sehingga melahirkan istilah baru yakni Agama Hindu Kaharingan. Alasannya karena ajaran Agama Hindu memiliki banyak kemiripan dengan Agama Kaharingan. Namun dalam perjalanannya, pilihan berafiliasi tersebut tidak serta merta disambut baik oleh seluruh penganutnya. Akibatnya, muncullah dualisme kelompok, dimana ada kelompok yang menerima dan kelompok yang sebagian besar masih tetap setia pada istilah awalnya. Perbedaan itu masih diambang batas kewajaran, karena tidak menghilangkan identitas aslinya.
Kajian dan bahasan tentang agama atau kepercayaan asli suatu kelompok memang sangat menarik sekaligus membutuhkan nyali yang besar untuk bisa melakukannya. Di Indonesia hal itu masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk didiskusikan karena sudah memasuki wilayah yang sangat sensitif. Namun tidak bagi Dr. Martin Georg Baier, seorang teolog asal Jerman yang dengan keberaniannya mengkritisi dan mengikuti perkembangan atau perjuangan Agama Kaharingan. Bahkan Baier pernah mengatakan, Agama Kaharingan merupakan satu-satunya agama suku di dunia ini yang masih tetap bertahan ditengah pelbagai pengaruh pembangunan dan globalisasi. Perkembangan agama Kristen dan Islam pun tetap tidak bisa menggoyahkan eksistensi agama ini di kalangan suku bangsa Dayak di Kalteng.
Baier juga mengungkapkan hal yang berbeda dari Tjilik Riwut tentang agama Kaharingan. Menurutnya, Agama Kaharingan pernah terjadi peralihan istilah dari agama suku atau agama Helu menjadi Kaharingan, dan itu dilakukan oleh Damang J. Salilah pada zaman penjajahan Jepang.
Secara lengkap, Baier juga melakukan pengkajian dan mengkritisi Agama Kaharingan yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa; Teologi Sistematika Agama Hindu Kaharingan: Pembahasan Kemajuan Iman dan Kehidupan Agamawi Agama Hindu Kaharingan”. Dalam bukunya ini, Baier mengulas substansi Agama Hindu Kaharingan dengan mengacu pada buku pelajaran Agama Hindu Kaharingan tingkat SMTP kelas I - III. Tujuan pembahasannya bukan untuk menyanggah atau menyalahi apa yang sudah tertulis, melainkan mengkritisi beberapa kejanggalan dan memperbaikinya sesuai dengan ajaran Agama Hindu Kaharingan yang sesungguhnya. Menurut Baier, dalam buku kurikulum tersebut ditemukan beberapa kekeliruan (cacat) yang sifatnya sangat mendasar, seperti sumber-sumber yang salah, terjemahan yang kurang halus dan terkesan sangat kasar dan tidak tepat. Kritikan Baier ini tidak hanya ditujukan kepada para penulis buku pelajaran tersebut, melainkan juga untuk seluruh suku bangsa Dayak yang merasa bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup dan eksistensi suku bangsa Dayak itu sendiri.
Buku ini merupakan wujud kepedulian dan keprihatinan seorang “Barat” terhadap eksistensi Agama Kaharingan dikalangan suku bangsa Dayak di Kalteng. Baier sungguh-sungguh mendedikasikan hidupnya untuk mewarisi nilai-nilai kebenaran tentang Agama Kaharingan kepada generasi Dayak. Oleh karena itu, seorang Baier yang non Dayak saja bisa melakukannya, pertanyaan refleksinya, apakah kita sebagai orang Dayak bisa melakukan seperti apa yang Baier lakukan?
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini layak untuk diapresiasikan dan dimiliki oleh siapa pun yang menaruh minat pada persoalan-persoalan sosial, kebudayaan Dayak, politikus, peneliti, akademisi, budayawan, mahasiswa. Karena buku ini mampu memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai kebenaran yang selama ini tidak pernah terkuak. (Resensi: FIDEL Euro BARAGAS-Majalah Kalimantan Review)

Tambal Sulam Proyek Jalan Ketapang

MENJELANG akhir tahun, kerapkali transportasi darat di daerah Kabupaten Ketapang selalu disajikan dengan pemandangan yang sungguh memprihatinkan. Hampir semua akses yang menghubungkan Kota Ketapang menuju daerah-daerah di pedalaman mengalami rusak parah. Tak ayal, kenyataan ini seperti “tembang nostalgia” yang terus dinyanyikan. Setiap kali jalan diperbaiki, dengan biaya yang cukup besar, dengan sekejap pula akan mengalami kehancuran ketika musim hujan tiba. Masyarakat pengguna jalan yang menjadikan transportasi darat sebagai akses utama seluruh aktivitas yang dilakukan, merasa sangat dirugikan. Kenyataan dimana mereka harus berkubang dengan lumpur agar bisa lolos dari rintangan itu, bertarung dengan kesabaran sembari menanti panas mengeringi kubangan itu. Tak jarang, ada yang harus meratapi sebuah kenyataan dimana mobilnya mengalami kerusakan dan terjebak dalam kubangan lumpur serta terbalik karena kehilangan keseimbangan.
Seperti inilah fakta yang terjadi di ruas jalan antara Kota Ketapang sampai ke Kecamatan Tumbang Titi, tepatnya di sepanjang jalan Pelang saat ini. Jarak tempuh yang sebelumnya bisa dijangkau dalam waktu sekitar 3 – 4 jam, sekarang bisa berhari-hari lamanya. “Capek bang, kami sudah 2 malam nginap di jalan karena mobil kami rusak. Beginilah kondisinya, kalau musim hujan jalan pasti hancur. Padahal belum lama jalan ini selesai diperbaiki, tapi tetap saja rusak parah”, keluh seorang sopir truck yang tidak bersedia menyebutkan namanya.
“Dengan kondisi jalan seperti sekarang ini, jika ada penumpang kami berangkat pagi dari Tanjung, kami baru bisa sampai ke Ketapang pada jam 5 subuh”, kisah Endi, Sopir Bis jurusan Tanjung – Ketapang dengan nada kesal.
Jika sudah seperti ini, tidak mengherankan kalau harga kebutuhan pokok di daerah pedalaman Ketapang melonjak tinggi dari standar harga yang ditentukan. Wajar saja, karena itu menjadi akibat lanjutan dari biaya transportasi yang menyekik leher. “Harga barang kebutuhan di sini (Tanjung) rata-rata meningkat drastis, mulai dari beras, gula, dan sampai ke rokok juga sudah naik”, ujar Mariam kepada KR ketika berkunjung ke rumahnya.
Jalan rusak memang bukanlah persoalan baru bagi masyarakat di daerah Ketapang. Saking klasiknya persoalan ini, menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Sikap apatis itu bukan berarti masyarakat tidak lagi kritis untuk menyuarakan impian mereka merasakan jalan aspal tanpa harus berkubang dengan lumpur lagi. Suara-suara itu sesungguhnya sudah sering diperdengarkan kepada para wakil rakyat, namun selalu saja miris dari apa yang diharapkan. Seandainya pun ada perbaikan, itu pun hanya sekedar proyek-proyek saja yang sifatnya untuk jangka pendek saja.
Makanya tidak heran, ada anggapan yang muncul, disinyalir pemerintah sengaja tidak mengaspal jalan terutama akses menuju daerah-daerah pedalaman, karena kalau di aspal maka proyek besar ini pun akan sirna. Kesan proyek tambal sulam itu bisa dibenarkan. Karena jika dilihat dari perkembangannya sampai saat ini, kondisi transportasi darat ini bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun belakangan. Berjalan ditempat, tidak ada perubahan yang signifikan sama sekali.
Parahnya lagi, keinginan masyarakat itu justru dimanfaatkan oleh para birokrat untuk mengkampanyekan “naluri kapitalismenya”. Dengan kekayaan Ketapang yang sebagaian besar adalah milik masyarakat adat, kemudian dengan iming-iming jalan bagus, masyarakat adat di hasut untuk mau menerima masuknya investor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan skala besar di wilayah adat yang selama ini mereka kelola. Bahkan, di salah satu kampung pedalaman di daerah Kecamatan Jelai Hulu, Kampung Semenjawat namanya, sebelum masuknya perusahaan sawit (sekarang sudah masuk), ada anggapan masyarakatnya yang mengatakan jika menolak perusahaan sawit, maka jalan tidak akan pernah di bangun.
“Luluh lantaknya” transportasi darat di Ketapang menyiratkan bahwa sangat lambannya kinerja wakil rakyat dan pemerintah dalam merespon aspirasi masyarakatnya. Tentu saja masyarakat sangat berharap agar mereka tidak tidur melihat kenyataan yang terjadi. Masyarakat di daerah pedalaman hanya membutuhkan transportasi yang baik untuk membantu kelancaran perekonomian yang ada pada diri mereka sendiri, bukan lebih dari itu.(Frans Lakon-Majalah Kalimantan Review, Edisi Januari 2010)

Peringatan James Brooke & Bencana Sawit

“Aku mohon kepadamu sekalian, dengarkanlah apa yang harus kukatakan ini, dan barulah kalian merenungkan kata-kataku... bukankah telah dan masih akan terjadi pada kalian, bahwa setelah aku tidak lagi di sini, banyak orang lain akan berdatangan terus-menerus dengan kelembutan dan senyum, untuk merampas dari kalian apa yang sebenarnya adalah hak kalian, yaitu tanah tempat kalian hidup ini, sumber dari penghasilan kalian, makanan bahkan yang ada dalam mulut kalian? Kamu sekalian akan kehilangan hak yang melekat padamu secara turun-temurun bersama dengan kelahiranmu, yang akan dirampas darimu oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya, justru menjadi tuan dan pemilik, sementara kalian sendiri, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan menjadi bukan apa-apa lagi kecuali kuli-kuli dan orang buangan di pulau ini.”

Inilah penggalan “pesan” Charles James Brooke, The White Rajah of Sarawak kepada masyarakat Dayak di Sarawak tahun 1915 silam. Jujur saja, pesan ini cukup menyentuh perasaan siapa pun yang menaruh kebanggaan dan harapannya pada bumi Kalimantan ini. Jika pesan ini dikaitkan dengan kondisi hari ini, apakah masih relevan? Tulisan ini mencoba (mungkin) untuk membuka tirai yang terselubung, mengurai fakta yang terjadi ditengah kamelut kehidupan masyarakatnya yang semakin kompleks.
Kalbar akhir-akhir ini melalui pemberitaan media massa, seringkali kita disajikan dengan pelbagai reaksi perlawanan masyarakat terhadap ekspansi perusahaan perkebunan skala besar. Di Kabupaten Ketapang, ratusan petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR)-Transmigrasi menuntut pertanggungjawaban perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Benua Indah Group yang dianggap telah mengabaikan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Kemudian, kasus perlawanan masyarakat Silat Hulu, Kecamatan Marau terhadap ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bangun Nusa Mandiri (BNM), anak perusahaannya PT Sinar Mas yang merampas tanah adat mereka sejak 2007 lalu tanpa pemberitahuan kepada masyarakat lokal terlebih dahulu. Tak ayal, kasus ini pun menyulut amarah masyarakat dan melaporkannya ke Kapolda Kalbar dan Komnas HAM nasional. Hasilnya, Komnas HAM memperingati Bupati Kabupaten Ketapang, Morkes Effendi agar segera menghentikan segala aktivitas perusahaan BNM karena dianggap sudah melanggar HAM. Kedua kasus ini menjadi sorotan nasional.
Tidak hanya di Kabupaten Ketapang, persoalan serupa juga banyak terjadi di beberapa daerah di Kalbar ini. Namun, hampir semua kisah-kisa perlawanan masyarakat tersebut selalu kandas, dan tak jarang pula masyarakat yang melawan justru harus berakhir di sel tahanan. Jika dicermati, sesungguhnya menjadi sesuatu yang wajar ketika perlawanan masyarakat itu hanya sebagai upaya menuntut secercah keadilan atas hak-hak yang selama ini dikebiri. Ironisnya lagi, pemerintah bukannya belajar dari kasus-kasus perlawanan tersebut, justru semakin menempatkan investor sebagai “tamu istimewa” ketimbang memperhatikan tuntutan rakyatnya. Atas dasar itulah, para investor baik itu perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan selalu merasa di atas angin dan bertindak sesukanya dalam mengkonversi lahan milik masyarakat sebagai pemilik asli. Sengaja menciptakan potensi konflik antar masyarakat sebagai upaya memecahbelahkan kekuatan masyarakat, merampas tanah-tanah masyarakat, mengabaikan tuntutan sosialnya, dan menjebak masyarakat kedalam kubangan kemiskinan. Jika sudah begitu, apakah salah jika masyarakat terus melakukan melawan?
Sekilas melihat kebelakang, sesungguhnya persoalan-persoalan yang muncul dan mendera kehidupan masyarakat sampai hari ini tidak terlepas dari ambisi pemerintah Indonesia untuk mengalahkan Malaysia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Dengan ambisi besar itu, niscaya pemerintah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi investor untuk menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia. Setelah Pulau Sumatera, Kalimantan adalah wilayah yang paling diincar oleh para investor.
Di Indonesia, sawit merupakan tanaman primadona. Hal ini bisa dilihat, dari perkembangannya pada tahun 2004 – 2007, luas areal dan produksi Kelapa Sawit menunjukkan trend peningkatan yang sangat signifikan, dan tentu saja kecenderungannya kedepan akan terus bertambah seiring dengan membaiknya harga sawit di pasaran dunia. Bahkan, pada tahun 2007 lalu, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia meningkat dan menduduki posisi pertama di dunia dengan output 17,2 juta ton meninggalkan Malaysia pada posisi kedua dengan produksi 16,4 juta ton (Tandan Sawit; edisi III/Mei 2009).
Khusus di Kalbar, masuknya perkebunan kelapa sawit bermula pada dekade 1990-an. Melalui PTPN VII, survey kelayakan pun dilakukan pada lahan seluas 14.000 hektar yakni di wilayah Ngabang. Kemudian pada tahun 1994 Pemda juga mencadangkan 3,2 juta hektar tanah untuk proyek perkebunan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 10,9% pertahun pada masa itu.
Sejak tahun 2001, perusahaan perkebunan kelapa sawit tumbuh dengan suburnya. Para investor berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia. Karena di negara-nya sudah dilarang memperluas perkebunan kelapa sawit, maka investor asal Malaysia pun pergi ke Kalbar untuk membumikan tanaman monokultur ini. Sekarang, kita bisa menyaksikan hampir sebagian besar wilayah Kalbar terutama di wilayah-wilayah pedalaman, sudah berhijaukan sawit. Dan bahkan pada tahun 2007 lalu, luas areal perkebunan sawit di Kalbar sudah sebesar 194. 716 hektar dengan produksi 385.580 ton. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sanggau memiliki areal Kelapa Sawit yang paling luas yang diikuti oleh Kabupaten Ketapang, Sambas, Landak, Kapuas Hulu, Bengkayang, Singkawang, dan Pontianak.
Dibukanya ratusan ribu hektar perkebunan sawit di Kalbar telah menyebabkan masyarakat disekitar konservasi tersebut dirampas hak-haknya dan menjadi kuli di tanah kelahirannya sendiri. Konversi lahan untuk sawit tidak saja menghancurkan ekosistem alam, tetapi juga kemiskinan absolut (tidak punya tanah), hancurnya nilai-nilai budaya lokal, degradasi sosial, kini benar-benar menjadi ancaman dan telah melanda kehidupan sebagian besar masyarakat lokal. Celakanya lagi, dengan mengatasnamakan untuk pendapatan daerah, Pemda justru melindungi keinginan investor untuk masuk. Lihat saja yang baru-baru ini, kedatangan investor dari China di sambut hangat dan dilayani secara istimewa oleh pemerintah. Seolah-olah, investor adalah “tamu terhormat” yang dengan segala kemudahan dipersilakan untuk melakukan survey di wilayah Kalbar ini.
Tak hanya itu, pelbagai produk hukum pun dirilis dan diterbitkan untuk memayungi kepentingan pihak investor. Diantaranya seperti Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1994 tentang prioritas pembangunan sub-sektor perkebunan di Kalbar. Kemudian produk hukum tersebut diperkuat lagi dengan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1995 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menyediakan 5.257.700 hektar lahan untuk segera dimanfaatkan dan dikelola oleh 164 perusahaan.
Dengan fakta tersebut, apakah Pemerintah Provinsi Kalbar tetap berkeinginan untuk terus menggencarkan program pembangunan pada sektor pengembangan perkebunan sawit? Memang benar, Kalbar memiliki anggaran pembangunan yang sangat kecil dari pusat, namun bukan berarti justru masyarakat yang dijadikan korban dari pilihan alternatif program pembangunan itu. Perkebunan dan pertambangan skala besar merupakan petaka bagi masyarakat yang berada di pedalaman. Kedua program tersebut bagi masyarakat di pedalaman diibaratkan seperti sebuah perumpamaan, “saat masyarakat membutuhkan sepeda, kok justru diberi mobil”. Dari perumpamaan itu, jelas yang dibutuhkan masyarakat adalah program pembangunan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki, yang menjamin keberlangsungan hidup mereka, dan yang bisa menuntun mereka pada apa yang disebut kesejahteraan hidup tanpa harus dengan sawit atau juga tambang. Kalbar adalah negeri kaya, namun masyarakatnya miskin di tengah kekayaannya itu sendiri. Dimana letak kesalahannya? Jujur saja, yang salah adalah karena para pemimpinnya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan realitas yang pernah terjadi.(*Frans Lakon)

Globalisasi Dan Proses Keterpinggiran Masyarakat Lokal

GLOBALISASI merupakan sebuah istilah yang berhubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar bangsa dan antar manusia di seluruh muka bumi ini melalui perdagangan, investasi, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam banyak hal, karakteristik globalisasi mempunyai kemiripan dengan internasionalisasi, sehingga kedua istilah ini sering dipertukarbalikkan. Sebagian pihak yang anti terhadap globalisasi, sering menggunakan istilah ini sebagai upaya untuk mengaburkan peran negara atau integritas suatu negara-bangsa. Sedangkan yang pro globalisasi, menganggapnya sebagai berkah karena dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo, yang menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan saling menguntungkan satu sama lainnya. Dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang bermakna universal. Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama yang lainnya, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan kebudayaan.
Globalisasi merupakan sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, dan kapitalisme adalah bentuknya yang paling mutakhir. Tujuannya tidak lain adalah untuk membuat dunia ini menjadi seragam, penyamaan selera. Sehingga pada akhirnya, proses globalisasi ini akan menghapus identitas dan jati diri sebuah bangsa dan kebudayaan lokal akan ditelan oleh kekuatan budaya global. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Sesungguhnya, globalisasi sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 Masehi. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat maupun jalan laut untuk berdagang. Oleh karena itu, globalisasi disebut sebagai fenomena di abad ke-20 yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.
Proses globalisasi sesungguhnya dimulai dari dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Dimana mereka membentuk jaringan perdagangan meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, Pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping itu juga, kaum pedagang muslim menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.
Setelah itu, disusul oleh bangsa-bangsa dari Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda. Karena terjadi revolusi industri di Eropa, yang ditandai dengan penemuan-penemuan teknologi, kemudian bangsa-bangsa Eropa ini melakukan eksplorasi besar-besaran dan kolonialisasi sehingga membawa pengaruh terhadap difusi kebudayaan di dunia, termasuk juga menyebarkan nilai-nilai agama Kristen di negara-negara koloninya.
Kemudian, globalisasi terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika terjadi perang dingin yang ditandai dengan keruntuhan komunisme di dunia. Dari fakta tersebut, seolah-olah memberi pembenaran bahwa kapitalisme menjadi satu-satunya jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat dunia. Implikasinya, negara-negara dunia pun mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Kondisi itu didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi, sehingga, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.
Sejak itulah, perkembangan industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar telah memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Termasuk di Indonesia, sejak politik pintu terbuka diterapkan, perusahaan-perusahaan Eropa pun berdatangan dan membuka cabangnya, sebut saja Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris. Dan perusahaan-perusahaan multinasional ini masih tetap menjadi ikon globalisasi sampai saat ini.
Untuk mengetahui ciri-ciri semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia adalah sebagai berikut. Pertama; Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Artinya, perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global sudah terjadi sedemikian pesatnya, sementara melalui pergerakan massa, turisme telah memungkinkan terjadinya perubahan dari kebudayaan yang berbeda. Kedua; Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi seperti World Trade Organization (WTO). Ketiga; Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa terutama televisi, film, musik, radio, media cetak, fashion, literatur, makanan, transmisi berita dan olah raga internasional. Dan keempat; Meningkatnya masalah bersama, seperti pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan sebagainya.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu. Giddens juga menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah proses dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Kemudian, sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan bahwa globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Setiap beberapa ratus tahun dalam sejarah manusia, transformasi hebat akan terjadi. Dalam beberapa dekade saja, masyarakat telah berubah kembali baik dalam pandangan mengenai dunia, nilai-nilai dasar, struktur politik dan sosial, maupun seni. Lima puluh tahun kemudian muncullah sebuah dunia baru.
Prediksi Peter Drucker bukan tidak mungkin terjadi, sederetan fakta yang terjadi saat ini telah memperkuat landasan menuju kesana. Lihatlah, hampir semua lini kehidupan masyarakat sudah dirasuki oleh paham-paham globalisasi. Kebudayaan atau nilai-nilai (value) yang selama ini menjadi sumber identitas masyarakat lokal pun turut terkikis dan terbawa dalam arus budaya global. Di berbagai daerah dan bahkan sudah merambah sampai ke pelosok-pelosok pedalaman di pulau Kalimantan ini, masifnya perkembangan teknologi komunikasi seperti media televisi, hand phone, internet, telah menggantikan budaya “kontak fisik” sebagai sarana utama komunikasi masyarakat lokal selama ini. Dibalik ketidakberdayaannya, masyarakat lokal dipaksakan untuk mengenyam kue-kue globalisasi yang tidak terlalu mendesak bagi kehidupan mereka. Terang saja, masyarakat lokal justru mengalami shock culture, kaget dengan suguhan baru di luar kebiasaan hidup mereka. Realitas saat ini, banyak komunitas-komunitas mengalami kemerosotan identitasnya. Proses transfer tradisi dari kaum tua ke generasi muda pun semakin pudar akibat pemanjaan layanan informasi dan komunikasi yang menyuguhkan kepraktisan. Globalisasi telah menjelma menjadi sebuah kekuatan besar di dunia, dan kehadirannya telah merenggut roh-roh kebudayaan masyarakat lokal. (*Frans Lakon)

Menakar Program Pemekaran Daerah

MENCERMATI pelbagai wacana pemekaran wilayah yang sempat menyeruak, tentu saja menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Seperti di beberapa daerah di nusantara ini, tuntutan pemekaran wilayah menjadi jargon politik ekonomi yang seksi untuk ditawarkan dalam kampanye-kampanye para politikus. Selain karena kondisi keterbelakangan, paradigma klasik yang berpandangan bahwa pemekaran wilayah merupakan solusi strategis memperpendek rentang kendali kepemerintahan dalam rangka memaksimalkan mutu pelayanan kepada masyarakat, bisa mengatur dan mengelola segala potensi yang ada pada daerah, memperoleh subsidi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih, juga wacana ini sudah masuk pada areal kepentingan poltik kaum elit di tingkat daerah.
Argumentasi inilah yang mendorong kalangan politisi dan kaum elit lokal dengan lantang menyuarakan pemekaran daerah ini. Untuk mewujudkan itu, tak jarang segala usaha pun dikerahkan, mulai dari aksi demonstrasi, audiensi, lobby dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lain sebagainya. Dengan mengibarkan aspirasi rakyat di daerah, bahkan perjuangan itu ada yang berakhir brutal.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan mengakar tentang impian program pemekaran wilayah, tentunya akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang berkembang di daerah. Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program pemekaran wilayah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan.
Dari sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara maksimal. Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun 1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004. Kemudian yang terakhir, keluar lagi Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ tahun 2005. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerahnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang salah satu program yang sangat populis ini. Melainkan hanya ingin menyajikan realitas yang terjadi di tingkat akar rumput terutama komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan berinteraksi langsung dengan eksistensi alam, sebut saja Masyarakat Adat Dayak. Di beberapa kampung di Kalbar ini, program pemekaran wilayah diibaratkan seperti buah simalakama. Dibalik niat mensejahterakan masyarakat, program itu justru mengancam kehidupan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat komunitas. Kondisi ini disebabkan karena paradigma pembangunan masih sangat mendewakan “pendapatan asli daerah” yang berorientasi pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi semata.
Realitasnya, tingkat kemiskinan tetap saja meningkat, pelayanan publik tetap saja minim, fanatisme daerah, suku semakin mencuat kepermukaan, kemerosotan budaya dan lingkungan pun semakin tak terelakkan. Pada prinsipnya, pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan otonomi daerah akibat perbedaan pemahaman otonomi daerah masih kerap terjadi. Ketaatan pemerintah daerah pada peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum tumbuh. Seperti pembuatan Perda oleh pemerintah daerah yang tidak mengacu pada UU, yang pada akhirnya malah menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat dan berdampak tidak saja menghambat program pembangunan, melainkan juga menumbuhkan potensi konflik horizontal.
Kegagalan lain, pemerintah daerah dalam menjalankan amanat UU No. 32 Tahun 2004 ini juga yang berkaitan dengan pemekaran desa. Jujur saja, pejabat daerah mengambil keuntungan di balik pemekaran tersebut, sehingga konflik sosial antar warga yang daerahnya dimekarkan pun sulit diatasi. Penyebabnya terkait dengan adanya kebijakan yang hanya memikirkan keuntungan belaka, tanpa memikirkan dampak sosial dan lingkungan.
Salah satunya di Desa Tanggerang, Kampung Tanjung, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang. Wilayah yang mayoritas bersub suku Dayak Jalai ini sebelum dimekarkan menjadi beberapa desa, yang diikuti dengan pemecahan dusun sampai RT, kehidupan masyarakatnya sangat solid. Rasa kebersamaan, solidaritas masih dijunjung tinggi, seperti yang terlihat dalam proses penyelenggaraan ritual upacara adat atau pun dalam hal mengambil keputusan yang menyangkut hazat hidup seluruh masyarakat komunitasnya, sebut saja program pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kini, setelah dilakukan pemekaran, justru keputusan yang diambil lebih mengedepankan batas-batas administratif ketimbang ikatan kekerabatan yang sudah melekat dalam kehidupan mereka sebelumnya.
Begitu juga halnya dalam proses melaksanakan ritual adat istiadat, jika sudah beda wilayah administratifnya, meskipun itu masih dalam satu kampung, maka itu tidak akan menjadi sebuah keharusan lagi. Jika ritual itu dilaksanakan di Kampung Tanjung tetapi karena sudah terpecah menjadi dua desa, maka aturan adat (pantang pantiq) juga harus disesuaikan dengan batas-batas wilayah desa masing-masing atau dimana pusat ritual itu dilaksanakan. Padahal masyarakatnya hanya dipisahkan oleh batas administrasi desa saja.
Tentu saja realitas ini sangat memprihatinkan, sikap kebersamaan tidak lagi dipandang perlu, dan justru doktrin pembangunan jauh lebih utama ketimbang harus duduk bersama walaupun itu adalah saudaranya sendiri. Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Kampung tanjung, melainkan juga banyak kisah-kisah yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Pemekaran wilayah dilaksanakan dengan tidak memperhitungkan kondisi konkrit yang ada didalam kehidupan masyarakat lokal.
Semata-mata karena ingin mendapatkan pemasukan daerah melalui program pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan lain sebagainya, kemudian mendorong strategi pemekaran wilayah. Akibatnya, masyarakat saling rebutan dalam mempertahankan wilayah-nya masing-masing dimana yang dulunya dimiliki secara bersama.
Oleh karena itu, kedepan, kebijakan pemekaran wilayah itu tidak saja dipandang positif oleh kalangan elit politik maupun elit di tingkat lokal, tapi juga harus dikaji secara seksama bagaimana dampak negatif terhadap eksistensi komunitas. Jangan karena dilandasi kepentingan politik dan bisnis semata, justru mengorbankan kehidupan masyarakat komunitas. Kalau sudah begitu, program pemekaran wilayah yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini bukanlah sebuah anugerah yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat komunitas, melainkan justru menjadi petaka baru. Program ini patut untuk terus dikaji ulang, apakah benar-benar pemekaran wilayah untuk kesejahteraan rakyat atau justru program penyempitan wilayah untuk penghancuran kehidupan masyarakat komunitas. (*Frans Lakon)

Manusia Dayak Dipaksa Modern

Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.
Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.
Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.
Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.
Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.
Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.
Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.
Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.
Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri. (*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)

Pelajaran Dari Dayak Simpakng Dan Jalai

Sesungguhnya dalam pola pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat Dayak mempunyai pengetahuan dan kearifan lokal yang sangat baik serta memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Secara tradisi, etnis Dayak Jalai dan Simpakng contohnya, memiliki perspekstif yang sama dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijaksana. Dahas (bahasa Dayak Jalai) dan Kampokng Temawakng (bahasa Dayak Simpakng) merupakan manifesto pengelolaan sumber daya alam yang berbasiskan pengetahuan dan kearifan lokal. Demikian juga dengan Dayak pada umumnya. Dalam dahas atau kampokng temawakng itu dapat ditemui berbagai macam jenis piaraan hewan dan berbagai jenis tananam buah-buahan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, seperti; durian, cempedak, duku, rambutan, langsat, mentawa, dan banyak tanaman lainnya yang dimanfaatkan secara optimal.
Dahas atau kampokng-temawakng secara hak kepemilikannya dimiliki komunal oleh masyarakat dalam satu kampung, karena pada prinsipnya pengelolaanya bertujuan sebagai penyediaan atau asset untuk generasi penerusnya. Sehingga bagi orang dari luar kampung yang ingin memanfaatkannya harus minta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat, karena keberadaannya sudah diatur dalam ketentuan adat istiadat kampung setempat. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan berhadapan dengan hukum adat.
Selain itu juga, dahas atau kampokng-temawakng berfungsi sebagai kekuatan masyarakat adat dalam mempertahankan sumber-sumber kehidupannya oleh ekspansi pihak-pihak berkepentingan yang ingin merampas kedaulatan wilayah adat dari eksistensi ekologisnya. Secara legal, pengelolaan sumber daya alam melalui aktivitas dahas atau temawang sangat kuat dan memiliki posisi tawar yang sangat tinggi, karena sudah dikelola dan menjadi “jantung” kehidupan masyarakat sampai ke beberapa generasi berikutnya. Maka, perlu disadari bahwa masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini. Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak mamahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan.
Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.
Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan -termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah -telah berhasil melestarikan lingkungan hidupnya.
Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka. Adat dan religi sebagai produk akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup telah berkembang menjadi budaya disepanjang kehidupan manusia tersebut. Melestarikan budaya berarti melestarikan lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya karena sifatnya lokal berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti kita akan tetap ada. (*Frans Lakon)

Suara Kalimantan Untuk SBY – Boediono

Indonesia telah memasuki babak baru dalam perjalanan sejarahnya sebagai sebuah bangsa yang besar. Tanggal 20 Oktober 2009 kemarin, Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono, Presiden dan Wakil Presiden terpilih, dilantik dalam Sidang Paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk memimpin bangsa ini periode 2009 – 2014. Melalui pesta demokrasi yang diselenggarakan dengan berbagai catatan, namun sebagai bagian dari komponen bangsa ini, sudah selayaknya kita tetap menghargai itu sebagai bagian dari proses perjalanan demokrasi. SBY tetap diberikan mandat oleh rakyat untuk kembali menahkodai kapal yang bernama Indonesia lima tahun kedepan. Mengapa SBY masih tetap menjadi sosok yang lekat dihati rakyat Indonesia? Tentunya, kita tidak perlu lagi berkilah karena suara rakyat adalah suara Tuhan dan rakyat sudah menjawabnya.
Jika menilik kembali kinerja dan hasil yang telah diraih SBY selama lima tahun kekuasaannya dulu, sesungguhnya bersama Jusuf Kalla, SBY dinilai mampu melaksanakan manajemen pemerintahan dengan baik di tengah banyaknya masalah politik, ekonomi, dan bencana. Dan pada periode ini, dengan slogan ”Bersama Kita Bisa” ia berpasangan dengan Boediono mampu menggalang dukungan publik. Bahkan, hampir semua partai politik di parlemen membentuk sebuah koalisi besar untuk mendukungnya. Dengan kekuatan koalisi di belakangnya, harapannya duet SBY – Boediono bisa memfokuskan diri untuk melanjutkan beberapa agenda pembangunan yang lebih berpihak pada kepentingan seluruh rakyat di nusantara ini.
Dibalik keberhasilannya, bukan berarti tidak ada cela. Segudang pekerjaan-pekerjaan rumah lainnya yang belum terlaksana secara baik selama lima tahun pertama kekuasaannya. Beberapa persoalan yang krusial yang menyangkut kehidupan rakyat Indonesia masih banyak yang perlu dibenahkan dan ditata dengan baik. Potret persoalan nasional yang juga berlaku dalam konteks daerah, khususnya bagi rakyat di Kalimantan. Ada banyak persoalan kolektif rakyat Indonesia juga menjadi persoalan rakyat di Kalimantan yang harus menjadi fokus perhatian dalam kebijakan pembangunan Presiden terpilih kedepan. Persoalan-persoalan tersebut meliputi;
Pertama, memperkuat ekonomi kerakyatan mengingat angka kemiskinan di Indonesia masih tergolong tinggi, dimana diperkirakan mencapai 40 persen rakyat di negara ini masih bergumul di lintasan jalur kemiskinan. Oleh karena itu, selama lima tahun kedepan, program pembangunan harus lebih merata tidak hanya tersentralisasi di perkotaan saja melainkan harus menitikberatkan pada peningkatan potensi-potensi yang ada di daerah-daerah. Pemberdayaan ekonomi kreatif sangat potensial jika ditunjang dengan fasilitas dan legalitas yang diberikan oleh pemerintah daerah. Salah satu contoh gerakan ekonomi rakyat yang perkembangannya sangat menonjol adalah Credit Union (CU). CU-CU di Kalimantan secara implementatif merupakan pengejawantahan ekonomi kerakyatan yang sudah diakui dan terbukti mampu membebaskan kemelut kemiskinan yang melanda sebagian kecil masyarakat Kalimantan selama ini. Tentu saja konsep CU Kalimantan ini bisa diterapkan juga di daerah-daerah lain sebagai salah satu upaya gerakan nasional membangun ekonomi kerakyatan. Kemudian selain itu juga, pemberian subsidi kepada rakyat harus tepat guna, seperti untuk kesehatan, pendidikan, dan penyediaan sarana air bersih secara gratis, serta membangun sarana dan prasarana infrastruktur untuk memudahkan akses dan kontrol masyakarat di daerah. Artinya, kedepan Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih harus mampu berbagi peran antara pusat dan daerah, menjadi pengatur lalu lintas pengelolaan anggaran negara dan mengelola program pembangunan agar tepat sasaran.
Kedua, pemeliharaan kebudayaan anak bangsa. Salah satu kasus saja, klaim Malaysia atas lagu rasa sayange dan tari pendet menjadi pelajaran bahwa pemimpin bangsa ini belum sepenuhnya serius mengelola khazanah budaya bangsa ini. Kedepan, seperti apa yang telah dilakukan pada Batik Jawa sebagai produk budaya asli Indonesia yang diakui dunia, juga agar hal yang sama bisa dilakukan pada semua unsur-unsur kebudayaan, baik kebudayaan yang berwujud (material cultural) maupun yang abstrak (inmaterial cultural) yang dimiliki oleh seluruh masyarakat budaya di negeri ini.
Ketiga; perbaikan di bidang demokrasi masih menjadi pekerjaan berat bangsa ini. Refleksi selama beberapa tahun terakhir, pluralisme bangsa kita masih sangat rentan terhadap kemasan isu-isu primordialisme. Oleh karena itu, pekerjaan utama kedepan adalah bagaimana sekat-sekat primordialisme yang masih sering mengedepankan perbedaan suku, agama, ras, daerah, dan sebagainya bisa terangkum dalam bingkai keutuhan Bhineka Tunggal Ika. Tantangannya adalah mendidik agar bangsa ini bisa saling menghormati dan menghargai perbedaan, membangun budaya perdamaian, dan negara harus bisa memberikan jaminan keadilan dan kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya.
Keempat, pembangunan berwawasan lingkungan. Konsep pembangunan yang berwawasan lingkungan harus betul-betul dimaknai sebagai konsep pembangunan berkelanjutan. Hal ini mengingat, pemerintah masih cenderung memberikan kepercayaan kepada investor-investor “nakal” terutama yang bergerak di bidang perkebunan, pertambangan dan HPH untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam Indonesia dan khususnya Kalimantan yang hanya dikarenakan untuk mengejar peluang untuk mendongkrak angka peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) atau hanya berorientasi pada pemenuhan kepentingan ekonomi semata. Jika berkaca pada pengalaman sebelumnya, maka wajar saja Indonesia menjadi negara yang menghancurkan hutannya lebih cepat dan menjadi penyumbang polusi iklim terbesar ketiga di dunia. Oleh karena itu, kedepan sudah saatnyalah pemerintah mulai belajar dari pengetahuan dan kearifan masyarakat lokal dalam mengelola lingkungan hidup.
Kelima, upaya-upaya pemberantasan korupsi harus ditingkatkan, dan bahkan harus sampai ke tingkat daerah. Terus terang saja, aspek pemberantasan korupsi ini menjadi kredit point bagi SBY selama periode pertama masa kepemimpinannya. Oleh karena itu, Presiden yang terpilih ini harus tetap konsisten dalam upaya-upaya pemberantasan korupsi ini sampai keakar-akarnya. Karena jika pemerintahannya keropos dan bermental korup, maka akan sia-sia saja komitmen SBY – Boediono untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi, bermartabat secara budaya dan berdaulat secara politik.
Tentu saja, dari kelima persoalan tersebut berangkat dari fakta yang terjadi di Kalimantan selama ini. Atau bahkan bisa lebih dari itu, namun yang jelas kelima hal itu menjadi sebuah refleksi mendalam yang diibaratkan sepenggal bait sajak suara-suara Kalimantan untuk SBY – Boediono lima tahun kedepan. Meskipun duet kepemimpinan ini diprediksi sulit menghasilkan terobosan-terobosan baru yang spektakuler, konservatif, cenderung lebih pada bagaimana menyelesaikan masalah yang ada bukan pada pencapaiannya, terlalu berhati-hati, tidak berani mengambil resiko, dan lain sebagainya. Namun rakyat Indonesia yang tersebar diseluruh nusantara ini tetap berharap supaya Presiden dan Wakil Presiden yang terpilih ini bisa menjadi penyambung lidah rakyat.
Karena perlu juga disadari bahwa tugas terberat presiden kedepan adalah menentukan kemana arah bangsa ini akan dibawa. Meskipun di tengah mencuatnya rasa keraguan dan ketidakpastian, yang pasti lima tahun mendatang merupakan periode pembuktian Susilo Bambang Yudhoyono sebagai presiden pilihan rakyat. Reputasi Yudhoyono sebagai jago pencitraan tak diragukan, tetapi kualitas kinerjanya yang masih perlu dibuktikan. Citra tanpa bukti akan melahirkan kekecewaan dan apatisme, karena kepuasan rakyat itu sangat tergantung pada sejauhmana kinerja pemerintah dalam menjalankan fungsinya. Oleh karena itu, seperti nasihat rakyat Amerika Serikat kepada Jimmy Carter, ”Kurangi bicara dan kembalilah ke meja kerja”. (*Frans Lakon)

Prinsip Demokrasi Dan Hakekat Alam

Prinsip demokrasi sebenarnya sangat berkaitan erat dengan hakikat alam. Isi alam semesta selalu beraneka ragam mahluk hidup yang menghuninya. Keanekaragaman dan pluralitas merupakan hakikat alam dan hakikat kehidupan itu sendiri. Itulah makanya orang Dayak begitu sangat dekat dan memiliki hubungan yang teramat erat dengan yang namanya alam. Artinya, jika manusia merusak alam sama artinya dengan merusak dirinya sendiri. Oleh karenanya, setiap kecenderungan sikap anti keanekaragaman dan anti pluralitas bertentangan dengan alam dan anti kehidupan.
Dalam demokrasi, perbedaan, keanekaragaman dan pluralitas diberikan tempat yang sangat luas. Oleh karena itu, orang yang peduli terhadap lingkungan adalah orang yang demokratis, dan sebaliknya orang yang demokratis sangat mungkin seorang pemerhati lingkungan. Apa relevansinya dengan pengambilan kebijakan di bidang lingkungan hidup? Inilah yang menjadi garansi bagi kebijakan yang pro lingkungan hidup. Karena prinsip demokrasi ini mencakup beberapa prinsip moral lainnya yang menjamin adanya keanekaragaman dan pluralitas, baik pluralitas kehidupan, aspirasi, kelompok politik, dan nilai-nilai kebudayaan. Hal ini memungkinkan nilai lingkungan hidup mendapatkan tempat untuk diperjuangkan sebagai agenda politik dan ekonomi yang sama pentingnya dengan agenda lainnya. Paradigma pembangunan berkelanjutan hanya mungkin diterima kalau pembangunan dipahami sebagai dimensi plural.
Sebaliknya, ada kekhawatiran yang sangat besar bahwa kehidupan politik yang tidak demokratis, dan sistem politik yang tidak menjamin terciptanya demokrasi akan membahayakan bagi upaya perlindungan lingkungan hidup. Jika pembangunan direduksi semata-mata sebagai pembangunan ekonomi, maka pembangunan berkelanjutan tidak dapat diterima. Oleh karena itu, demokrasi yang menerima adanya pluralitas, maka cara pandang tentang pembangunan akan sangat akomodatif terhadap proses perlindungan lingkungan hidup dalam seluruh proses pembangunan. Sekali lagi bangsa ini harus belajar kepada masyarakat adat dalam mengelola lingkungan, seperti yang telah dilakukan oleh orang Dayak selama ini. (* Frans Lakon)

Potret Buram Negeri Perbatasan

Sudah 64 tahun Indonesia merdeka. Namun dibalik itu, sederetan fakta kemiskinan, perampasan, penindasan, dan ketidakadilan, masih kerap terjadi disekitar kehidupan kita. Kemerdekaan yang sejatinya milik rakyat sepertinya hanyalah utopia belaka. Realitasnya, rakyat tetap berdiri dipinggiran pembangunan, menjadi penonton di negerinya sendiri, dan terpenjara dalam rumahnya sendiri. Kondisi seperti inilah yang saat ini sedang dirasakan oleh masyarakat di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di bagian Utara Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat selama ini. Penantian panjang masyarakatnya akan program pembangunan tak kunjung terwujud. Meskipun menjadi berandanya negara, namun perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat yang mayoritas bersub-suku Dayak Iban ini sangat minim.
Kesan pembiaran ini semakin nyata, dimana sejak tahun 1990-an lalu, aktivitas pembalakan hutan secara terang-terangan dilakukan di daerah ini. Parahnya lagi, bisnis kayu illegal ini justru ditenggarai oleh cukong-cukong dari negara tetangga, Malaysia. Aktivitas ini sudah berlangsung lama dan baru berkurang ketika pemerintah Indonesia secara serius menangani kasus illegal logging dalam tiga tahun belakangan ini. Namun, selama berlangsungnya aktivitas pembalakan itu, kekayaan sumber daya hutan (kayu) di daerah ini pun sudah terkuras habis tinggal menyisakan jeritan baru bagi masyarakat setempat.
Menurut penuturan sebagian besar masyarakatnya, ketika aktivitas perdagangan kayu ini sedang marak terjadi, daerah ini menjadi ramai didatangi orang-orang luar yang juga ingin mengadu keberuntungannya. Tak heran, jalan lintas utara yang menghubungkan kota Putusibau menuju perbatasan Malaysia-Lubok Antu menjadi jalur hilir mudik kendaraan bertonase berat pengangkut kayu gelondongan yang sangat ramai kala itu. Base camp kayu menjamur sepanjang ruas jalan utama yang saat ini tinggal menyisakan bangunan yang sudah lapuk. Tak ayal, masyarakat lokal pun semakin terbuai oleh kegelimangan hidup dengan perputaran uang yang sangat tinggi.
Ditenggarai oleh minimnya perhatian pemerintah Indonesia, khususnya Propinsi Kalimantan Barat terhadap masyarakat di sekitar wilayah perbatasan ini, membuka peluang menjamurnya praktek-praktek illegal lainnya. Tak hanya eksploitasi kayu illegal saja, fenomena masuknya kendaraan mewah roda empat dari negeri Jiran pun menjadi ladang bisnis illegal yang menyeruak kala itu. Ketika kayu masih menjadi andalan, masyarakat mudah mendapatkan uang. Dan dengan kemudahan itu, mobil-mobil yang tergolong mewah di Indonesia seperti merk; Hilux, Baleno sampai ke Mercedes Benz, bisa didapatkan dengan cukup hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 4 juta sampai Rp 40 juta saja.
Berlabel mewah berharga murah, itu tak lain karena mobil ini tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap (black market). Meskipun “barang gelap”, tetapi tetap diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, ketika menyusuri sepanjang jalan lintas utara, disetiap perkampungan masyarakat, akan dengan mudah ditemukan mobil mewah asal Malaysia yang terparkir dipinggir-pinggir jalan dan rumah warga. Bahkan hebatnya, ke ladang saja warga sudah bisa mengendarai mobil mewah. Fakta ini tentu saja menarik, karena akan jarang bisa ditemui di daerah-daerah lain.
Pasca kehidupan ala “negeri koboi” sirna. Mata pencaharian masyarakat yang selama ini sudah terlanjur bergantung pada penghasilan kayu, semakin mengambang. Masyarakat terlena dengan hasil kayu yang melimpah sehingga lupa untuk menanam karet seperti lazimnya di daerah-daerah lain di Kalbar. Di sana, hampir jarang bisa ditemui perkebunan karet warga kecuali yang baru ditanam. Sekarang, penghasilan masyarakat pun tinggal mengandalkan dari hasil perladangan dan menjual ikan.
Begitulah sekelumit kisah nyata yang menyiratkan sebuah makna terdalam dari kondisi ketidakberdayaan masyarakat di wilayah ini. Tawaran instan yang merasuki kehidupan masyarakatnya justru menciptakan episode baru dalam kehidupan mereka. Warga masyarakat yang sebelumnya dengan mudah memperoleh penghasilan, kini harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini terlupakan. Tradisi berladang dan menanam karet yang dipandang sebelah mata selama ini, kini mulai dirintis kembali.

Pesona Ringgit
Keluar masuk antar dua negara yang berbeda menjadi hal biasa bagi warga perbatasan. Ditengah sulitnya ekonomi masyarakat, pesona ringgit menjadi pilihan yang menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang mengadu nasib pergi merantau mencari pekerjaan di Negeri Jiran ini. Seakan-akan, merantau ke Malaysia sudah menjadi trend masyarakat di daerah ini. Jika dalam satu keluarga, misalnya suami pergi mencari kerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga, sang istri tinggal di kampung untuk mengurus keluarga sembari membuat ladang. Hubungan gender antara kaum perempuan dan laki-laki pada masyarakat di daerah perbatasan ini sangat menjunjungi kesetaraan, dimana kaum perempuan juga mengambil peran dalam pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Proses keluar masuk ke negeri Jiran ini pun bisa dibilang mudah. Hanya cukup membawa Kartu Tanda Penduduk saja sudah bisa membuat surat izin berkunjung yang sifatnya sementara. Namun faktanya, tak jarang juga, dengan berbekal surat izin sementara ini, banyak warga yang tinggal melebihi dari jangka waktu yang ditentukan bahkan bisa bertahun-tahun lamanya. Sementara di Malaysia, para pengadu nasib ini ada yang bekerja sebagai buruh perkebunan, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko dan lain sebagainya. Terkadang, ada yang berhasil dan ada juga yang bernasib malang, ditangkap dan dikembalikan lewat pintu masuk Entikong.
Inilah potret buram kehidupan masyarakat di daerah perbatasan. Masyarakat diibaratkan hidup di negeri tak bertuan, godaan ringgit terasa sulit untuk mereka tolak tak kala rupiah sulit untuk diraih. Bagi masyarakat perbatasan, mengadu nasib di negeri Jiran mungkin salah satu cara terbaik untuk mengubah jalan hidup mereka, sembari menunggu sampai pada saatnya pemerintah Indonesia peduli akan kehidupan mereka. (* Frans Lakon)