Sudah 64 tahun Indonesia merdeka. Namun dibalik itu, sederetan fakta kemiskinan, perampasan, penindasan, dan ketidakadilan, masih kerap terjadi disekitar kehidupan kita. Kemerdekaan yang sejatinya milik rakyat sepertinya hanyalah utopia belaka. Realitasnya, rakyat tetap berdiri dipinggiran pembangunan, menjadi penonton di negerinya sendiri, dan terpenjara dalam rumahnya sendiri. Kondisi seperti inilah yang saat ini sedang dirasakan oleh masyarakat di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di bagian Utara Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat selama ini. Penantian panjang masyarakatnya akan program pembangunan tak kunjung terwujud. Meskipun menjadi berandanya negara, namun perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat yang mayoritas bersub-suku Dayak Iban ini sangat minim.
Kesan pembiaran ini semakin nyata, dimana sejak tahun 1990-an lalu, aktivitas pembalakan hutan secara terang-terangan dilakukan di daerah ini. Parahnya lagi, bisnis kayu illegal ini justru ditenggarai oleh cukong-cukong dari negara tetangga, Malaysia. Aktivitas ini sudah berlangsung lama dan baru berkurang ketika pemerintah Indonesia secara serius menangani kasus illegal logging dalam tiga tahun belakangan ini. Namun, selama berlangsungnya aktivitas pembalakan itu, kekayaan sumber daya hutan (kayu) di daerah ini pun sudah terkuras habis tinggal menyisakan jeritan baru bagi masyarakat setempat.
Menurut penuturan sebagian besar masyarakatnya, ketika aktivitas perdagangan kayu ini sedang marak terjadi, daerah ini menjadi ramai didatangi orang-orang luar yang juga ingin mengadu keberuntungannya. Tak heran, jalan lintas utara yang menghubungkan kota Putusibau menuju perbatasan Malaysia-Lubok Antu menjadi jalur hilir mudik kendaraan bertonase berat pengangkut kayu gelondongan yang sangat ramai kala itu. Base camp kayu menjamur sepanjang ruas jalan utama yang saat ini tinggal menyisakan bangunan yang sudah lapuk. Tak ayal, masyarakat lokal pun semakin terbuai oleh kegelimangan hidup dengan perputaran uang yang sangat tinggi.
Ditenggarai oleh minimnya perhatian pemerintah Indonesia, khususnya Propinsi Kalimantan Barat terhadap masyarakat di sekitar wilayah perbatasan ini, membuka peluang menjamurnya praktek-praktek illegal lainnya. Tak hanya eksploitasi kayu illegal saja, fenomena masuknya kendaraan mewah roda empat dari negeri Jiran pun menjadi ladang bisnis illegal yang menyeruak kala itu. Ketika kayu masih menjadi andalan, masyarakat mudah mendapatkan uang. Dan dengan kemudahan itu, mobil-mobil yang tergolong mewah di Indonesia seperti merk; Hilux, Baleno sampai ke Mercedes Benz, bisa didapatkan dengan cukup hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 4 juta sampai Rp 40 juta saja.
Berlabel mewah berharga murah, itu tak lain karena mobil ini tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap (black market). Meskipun “barang gelap”, tetapi tetap diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, ketika menyusuri sepanjang jalan lintas utara, disetiap perkampungan masyarakat, akan dengan mudah ditemukan mobil mewah asal Malaysia yang terparkir dipinggir-pinggir jalan dan rumah warga. Bahkan hebatnya, ke ladang saja warga sudah bisa mengendarai mobil mewah. Fakta ini tentu saja menarik, karena akan jarang bisa ditemui di daerah-daerah lain.
Pasca kehidupan ala “negeri koboi” sirna. Mata pencaharian masyarakat yang selama ini sudah terlanjur bergantung pada penghasilan kayu, semakin mengambang. Masyarakat terlena dengan hasil kayu yang melimpah sehingga lupa untuk menanam karet seperti lazimnya di daerah-daerah lain di Kalbar. Di sana, hampir jarang bisa ditemui perkebunan karet warga kecuali yang baru ditanam. Sekarang, penghasilan masyarakat pun tinggal mengandalkan dari hasil perladangan dan menjual ikan.
Begitulah sekelumit kisah nyata yang menyiratkan sebuah makna terdalam dari kondisi ketidakberdayaan masyarakat di wilayah ini. Tawaran instan yang merasuki kehidupan masyarakatnya justru menciptakan episode baru dalam kehidupan mereka. Warga masyarakat yang sebelumnya dengan mudah memperoleh penghasilan, kini harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini terlupakan. Tradisi berladang dan menanam karet yang dipandang sebelah mata selama ini, kini mulai dirintis kembali.
Pesona Ringgit
Keluar masuk antar dua negara yang berbeda menjadi hal biasa bagi warga perbatasan. Ditengah sulitnya ekonomi masyarakat, pesona ringgit menjadi pilihan yang menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang mengadu nasib pergi merantau mencari pekerjaan di Negeri Jiran ini. Seakan-akan, merantau ke Malaysia sudah menjadi trend masyarakat di daerah ini. Jika dalam satu keluarga, misalnya suami pergi mencari kerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga, sang istri tinggal di kampung untuk mengurus keluarga sembari membuat ladang. Hubungan gender antara kaum perempuan dan laki-laki pada masyarakat di daerah perbatasan ini sangat menjunjungi kesetaraan, dimana kaum perempuan juga mengambil peran dalam pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Proses keluar masuk ke negeri Jiran ini pun bisa dibilang mudah. Hanya cukup membawa Kartu Tanda Penduduk saja sudah bisa membuat surat izin berkunjung yang sifatnya sementara. Namun faktanya, tak jarang juga, dengan berbekal surat izin sementara ini, banyak warga yang tinggal melebihi dari jangka waktu yang ditentukan bahkan bisa bertahun-tahun lamanya. Sementara di Malaysia, para pengadu nasib ini ada yang bekerja sebagai buruh perkebunan, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko dan lain sebagainya. Terkadang, ada yang berhasil dan ada juga yang bernasib malang, ditangkap dan dikembalikan lewat pintu masuk Entikong.
Inilah potret buram kehidupan masyarakat di daerah perbatasan. Masyarakat diibaratkan hidup di negeri tak bertuan, godaan ringgit terasa sulit untuk mereka tolak tak kala rupiah sulit untuk diraih. Bagi masyarakat perbatasan, mengadu nasib di negeri Jiran mungkin salah satu cara terbaik untuk mengubah jalan hidup mereka, sembari menunggu sampai pada saatnya pemerintah Indonesia peduli akan kehidupan mereka. (* Frans Lakon)
Kesan pembiaran ini semakin nyata, dimana sejak tahun 1990-an lalu, aktivitas pembalakan hutan secara terang-terangan dilakukan di daerah ini. Parahnya lagi, bisnis kayu illegal ini justru ditenggarai oleh cukong-cukong dari negara tetangga, Malaysia. Aktivitas ini sudah berlangsung lama dan baru berkurang ketika pemerintah Indonesia secara serius menangani kasus illegal logging dalam tiga tahun belakangan ini. Namun, selama berlangsungnya aktivitas pembalakan itu, kekayaan sumber daya hutan (kayu) di daerah ini pun sudah terkuras habis tinggal menyisakan jeritan baru bagi masyarakat setempat.
Menurut penuturan sebagian besar masyarakatnya, ketika aktivitas perdagangan kayu ini sedang marak terjadi, daerah ini menjadi ramai didatangi orang-orang luar yang juga ingin mengadu keberuntungannya. Tak heran, jalan lintas utara yang menghubungkan kota Putusibau menuju perbatasan Malaysia-Lubok Antu menjadi jalur hilir mudik kendaraan bertonase berat pengangkut kayu gelondongan yang sangat ramai kala itu. Base camp kayu menjamur sepanjang ruas jalan utama yang saat ini tinggal menyisakan bangunan yang sudah lapuk. Tak ayal, masyarakat lokal pun semakin terbuai oleh kegelimangan hidup dengan perputaran uang yang sangat tinggi.
Ditenggarai oleh minimnya perhatian pemerintah Indonesia, khususnya Propinsi Kalimantan Barat terhadap masyarakat di sekitar wilayah perbatasan ini, membuka peluang menjamurnya praktek-praktek illegal lainnya. Tak hanya eksploitasi kayu illegal saja, fenomena masuknya kendaraan mewah roda empat dari negeri Jiran pun menjadi ladang bisnis illegal yang menyeruak kala itu. Ketika kayu masih menjadi andalan, masyarakat mudah mendapatkan uang. Dan dengan kemudahan itu, mobil-mobil yang tergolong mewah di Indonesia seperti merk; Hilux, Baleno sampai ke Mercedes Benz, bisa didapatkan dengan cukup hanya mengeluarkan uang sebesar Rp 4 juta sampai Rp 40 juta saja.
Berlabel mewah berharga murah, itu tak lain karena mobil ini tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap (black market). Meskipun “barang gelap”, tetapi tetap diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, ketika menyusuri sepanjang jalan lintas utara, disetiap perkampungan masyarakat, akan dengan mudah ditemukan mobil mewah asal Malaysia yang terparkir dipinggir-pinggir jalan dan rumah warga. Bahkan hebatnya, ke ladang saja warga sudah bisa mengendarai mobil mewah. Fakta ini tentu saja menarik, karena akan jarang bisa ditemui di daerah-daerah lain.
Pasca kehidupan ala “negeri koboi” sirna. Mata pencaharian masyarakat yang selama ini sudah terlanjur bergantung pada penghasilan kayu, semakin mengambang. Masyarakat terlena dengan hasil kayu yang melimpah sehingga lupa untuk menanam karet seperti lazimnya di daerah-daerah lain di Kalbar. Di sana, hampir jarang bisa ditemui perkebunan karet warga kecuali yang baru ditanam. Sekarang, penghasilan masyarakat pun tinggal mengandalkan dari hasil perladangan dan menjual ikan.
Begitulah sekelumit kisah nyata yang menyiratkan sebuah makna terdalam dari kondisi ketidakberdayaan masyarakat di wilayah ini. Tawaran instan yang merasuki kehidupan masyarakatnya justru menciptakan episode baru dalam kehidupan mereka. Warga masyarakat yang sebelumnya dengan mudah memperoleh penghasilan, kini harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini terlupakan. Tradisi berladang dan menanam karet yang dipandang sebelah mata selama ini, kini mulai dirintis kembali.
Pesona Ringgit
Keluar masuk antar dua negara yang berbeda menjadi hal biasa bagi warga perbatasan. Ditengah sulitnya ekonomi masyarakat, pesona ringgit menjadi pilihan yang menggiurkan. Banyak warga masyarakat yang mengadu nasib pergi merantau mencari pekerjaan di Negeri Jiran ini. Seakan-akan, merantau ke Malaysia sudah menjadi trend masyarakat di daerah ini. Jika dalam satu keluarga, misalnya suami pergi mencari kerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga, sang istri tinggal di kampung untuk mengurus keluarga sembari membuat ladang. Hubungan gender antara kaum perempuan dan laki-laki pada masyarakat di daerah perbatasan ini sangat menjunjungi kesetaraan, dimana kaum perempuan juga mengambil peran dalam pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh kaum laki-laki.
Proses keluar masuk ke negeri Jiran ini pun bisa dibilang mudah. Hanya cukup membawa Kartu Tanda Penduduk saja sudah bisa membuat surat izin berkunjung yang sifatnya sementara. Namun faktanya, tak jarang juga, dengan berbekal surat izin sementara ini, banyak warga yang tinggal melebihi dari jangka waktu yang ditentukan bahkan bisa bertahun-tahun lamanya. Sementara di Malaysia, para pengadu nasib ini ada yang bekerja sebagai buruh perkebunan, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko dan lain sebagainya. Terkadang, ada yang berhasil dan ada juga yang bernasib malang, ditangkap dan dikembalikan lewat pintu masuk Entikong.
Inilah potret buram kehidupan masyarakat di daerah perbatasan. Masyarakat diibaratkan hidup di negeri tak bertuan, godaan ringgit terasa sulit untuk mereka tolak tak kala rupiah sulit untuk diraih. Bagi masyarakat perbatasan, mengadu nasib di negeri Jiran mungkin salah satu cara terbaik untuk mengubah jalan hidup mereka, sembari menunggu sampai pada saatnya pemerintah Indonesia peduli akan kehidupan mereka. (* Frans Lakon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar