Dalam proses perjalanannya, masyarakat adat Dayak menghadapi tantangan yang berat untuk tetap bertahan dalam tradisinya. Kini mereka dipaksa untuk ”modern” dari kacamata masyarakat umum dengan keharusan meninggalkan tradisi leluhur yang memiliki nilai-nilai budaya luhur. Demi kepentingan pembangunan yang hanya dimaknai mengejar pertumbuhan ekonomi, keberadaan komunitas adat atau suku terasing dimana pun berada sering kali diabaikan seperti halnya yang dialami oleh orang Dayak. Padahal, cara dan nilai hidup komunitas adat itu penting untuk menjaga bertahannya keanekaragaman budaya. Komunitas adat semestinya harus didorong untuk menjadi bagian komunitas internasional dengan pendekatan pembangunan yang berperspektif budaya dan identitas. Pembangunan mesti didasarkan pada keragaman budaya. Pembangunan, jangan hanya dipahami secara sempit, yakni soal pertumbuhan ekonomi saja. Pembangunan juga berarti untuk mencapai kepuasan intelektual, emosi, moral, dan eksistensi spiritual.
Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.
Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.
Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.
Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.
Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.
Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.
Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.
Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri. (*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)
Menurut J.U. Lontaan, kelompok Suku Dayak, terbagi lagi dalam sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (J. U. Lontaan, 1975). Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Pada masa lalu, orang Dayak hidup mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di tiap-tiap pemukiman mereka. Namun, kuatnya arus urbanisasi yang membawa pengaruh dari luar, seperti kedatangan Melayu menyebabkan mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pedalaman di seluruh daerah Kalimantan.
Orang Dayak mengidentifikasikan kelompok-kelompoknya berdasarkan asal usul daerahnya, seperti nama sungai, nama pahlawan, nama alam dan sebagainya. Misalnya suku Dayak Iban asal katanya dari ivan (dalam bahasa kayaan berarti pengembara), demikian juga menurut sumber yang lainnya bahwa mereka menyebut dirinya dengan nama suku Dayak Jalai, karena berasal dari sungai Jalai, suku Dayak Mualang, diambil dari nama seorang tokoh lokal yang disegani (Manok Sabung) di Tampun Juah dan nama tersebut diabadikan menjadi sebuah nama anak sungai Ketungau di daerah Kabupaten Sintang. Dayak Bukit (Kanayatn) berasal dari Bukit atau gunung Bawang. Demikian juga asal usul Dayak Simpakng, Kendawangan, Krio, Kayaan, Kantuk, Tamambaloh, Kenyah, Benuag, Ngaju dan lain sebagainya, semua mempunyai latar belakang sejarahnya sendiri-sendiri.
Bicara tentang suku bangsa Dayak memang tidak pernah habisnya. Dayak merupakan sumber ilmu yang ibarat air selalu memberikan dahaga bagi setiap insan, menjadi sumber inspirasi yang begitu melimpah, yang tidak hanya bisa ditakar dalam sebuah buku, penelitian, studi-studi ilmiah, artikel-artikel, atau pun diskusi-debat dari forum ke forum saja.
Setiap kajian dan bahasan tentang Dayak, tidak akan berarti apa-apa jika tidak mengacu pada identitas Dayak yang sesungguhnya. Hanya dengan identitas-lah, maka pembahasan tentang Dayak akan lebih terasa bermakna dan konstruktif. Jika tidak, maka setiap bahasan itu akan terasa sangat dangkal dan tidak ada artinya. Menyelam Dayak tidak bisa hanya terpaku pada satu perspektif saja atau hanya mengacu pada teori ilmu pengetahuan modern. Dayak tidak bisa dikaji dalam perspektif ilmu pengetahuan modern, seperti melalui bidang ekonomi, sosial-politik, kesehatan saja, melainkan harus mengedepankan cara berpikir yang benar, argumentative dan saling berkaitan dengan meletakkan dasar pikiran pada eksistensi Dayak itu sendiri.
Bahasan kali ini bukan berarti penulis ingin mengajak sidang pembaca untuk kembali bernostalgia pada situasi masa lalu, melainkan untuk melihat kembali realitas yang menimpa kehidupan orang Dayak pada masa lalu, dan saat ini. Pada prinsipnya, perkembangan zaman tidak bisa kita tolak, dan tidak bisa terbantahkan, namun bagaimana ditengah arus deras pembangunan dan globalisasi yang begitu masif itu, orang Dayak tetap bisa mempertahankan identitas, terus mewarisi pengetahuan dan kearifan yang mereka miliki dari generasi ke generasi, tanpa putus dan melepas baju identitasnya. Masifnya perkembangan dunia dengan konsep menguasai panggung kehidupan manusia telah menciptakan pelbagai produk-produk yang menindas, tak luput aspek kebudayaan lokal turut terjerembab oleh hegemoni budaya-budaya luar yang sangat bertolak belakang dengan nilai-nilai asli kebudayaan Dayak. Pelan tapi pasti, kebudayaan luar yang lebih menyuguhkan gemerlap kemewahan, penyamaan selera, instan, dan sebagainya menjadi ancaman serius yang akan menerpa eksistensi Dayak, baik hari ini maupun yang akan datang.
Karena jika tidak, suatu saat nanti maka identitas orang Dayak hanya akan menjadi sebuah balada yang memilukan, yang tergerus oleh arus budaya yang menindas. Tentu saja kita tidak menghendaki kondisi ini terjadi dan membiarkan Dayak kehilangan identitasnya.
Kita bisa melihat generasi muda Dayak saat ini yang sebagian besar sudah tercerabut dari akar budayanya, cenderung lebih membanggakan nilai-nilai budaya luar ketimbang budayanya sendiri, mengagungkan gemerlap modernisasi yang tidak mereka ketahui bahwa itu akan melindas identitas mereka sendiri. Umar Kayam dalam bukunya, Semangat Indonesia: Suatu Perjalanan Budaya, pernah menyaksikan dan juga sekaligus meramal berbagai persoalan dan perubahan sosial yang sudah dan akan terjadi di seluruh wilayah Nusantara yang tempoe doeloe bernama Hindia Belanda ini. Berbagai persoalan dan perubahan sosial yang ia maksud ialah “mencairnya kebudayaan-kebudayaan setempat dari sifatnya yang homogen menjadi lebih heterogen, kemudian yang lebih penting lagi bahwa penerus-penerus nilai-nilai budaya setempat tidak lagi dapat diharapkan perannya, karena orang-orang muda sebagai penerus nilai budaya itu pergi meninggalkan tempat asal atau kampung halamannya untuk memburu ilmu di kota”.
Apa yang disaksikan Umar Kayam adalah sebuah fakta yang terjadi di kampung halaman penulis, sub-suku Dayak Simpakng, di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat. Karena banyak generasi Simpakng yang pergi ke kota untuk menimba ilmu sehingga nilai-nilai budaya lokal semakin terkikis akibat tidak adanya penerusnya. Banyak tradisi yang musnah, ditinggalkan dan tidak dilestarikan lagi. Memang disatu sisi, jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Kabupaten Ketapang, orang Dayak Simpakng-lah yang paling banyak melahirkan generasi-generasi yang berpendidikan. Namun jika dilihat kehidupan budayanya justru banyak mengalami kemunduran.
Sebagai generasi yang sudah banyak ditinggal tradisi leluhur, penulis merasa berada dalam situasi kebimbangan. Sehingga pertanyaan refleksi yang selalu penulis ajukan untuk diri penulis sendiri adalah, akankah kondisi itu kita biarkan terus berlanjut? Tentu saja tidak. Karena penulis yakin kita bangga sebagai orang Dayak. Sebagai generasi yang ‘gamang’, tentu saja kita harus selalu mencari dan terus mencari identitas kita yang sebagian sudah hilang. Jangan biarkan diri kita hanyut dalam buaian kemajuan yang justru akan menghilangkan jati diri kita sebagai anak bangsa Dayak. Karena bicara tentang identitas diri, kita tidak hanya bicara sebatas menyebut kata Dayak saja, melainkan harus memahami dan melestarikan nilai-nilai terkandung dalam identitasnya itu sendiri. (*Frans Lakon Dalam Buku: DAYAK MENGGUGAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar