Rabu, 27 Januari 2010

Tambal Sulam Proyek Jalan Ketapang

MENJELANG akhir tahun, kerapkali transportasi darat di daerah Kabupaten Ketapang selalu disajikan dengan pemandangan yang sungguh memprihatinkan. Hampir semua akses yang menghubungkan Kota Ketapang menuju daerah-daerah di pedalaman mengalami rusak parah. Tak ayal, kenyataan ini seperti “tembang nostalgia” yang terus dinyanyikan. Setiap kali jalan diperbaiki, dengan biaya yang cukup besar, dengan sekejap pula akan mengalami kehancuran ketika musim hujan tiba. Masyarakat pengguna jalan yang menjadikan transportasi darat sebagai akses utama seluruh aktivitas yang dilakukan, merasa sangat dirugikan. Kenyataan dimana mereka harus berkubang dengan lumpur agar bisa lolos dari rintangan itu, bertarung dengan kesabaran sembari menanti panas mengeringi kubangan itu. Tak jarang, ada yang harus meratapi sebuah kenyataan dimana mobilnya mengalami kerusakan dan terjebak dalam kubangan lumpur serta terbalik karena kehilangan keseimbangan.
Seperti inilah fakta yang terjadi di ruas jalan antara Kota Ketapang sampai ke Kecamatan Tumbang Titi, tepatnya di sepanjang jalan Pelang saat ini. Jarak tempuh yang sebelumnya bisa dijangkau dalam waktu sekitar 3 – 4 jam, sekarang bisa berhari-hari lamanya. “Capek bang, kami sudah 2 malam nginap di jalan karena mobil kami rusak. Beginilah kondisinya, kalau musim hujan jalan pasti hancur. Padahal belum lama jalan ini selesai diperbaiki, tapi tetap saja rusak parah”, keluh seorang sopir truck yang tidak bersedia menyebutkan namanya.
“Dengan kondisi jalan seperti sekarang ini, jika ada penumpang kami berangkat pagi dari Tanjung, kami baru bisa sampai ke Ketapang pada jam 5 subuh”, kisah Endi, Sopir Bis jurusan Tanjung – Ketapang dengan nada kesal.
Jika sudah seperti ini, tidak mengherankan kalau harga kebutuhan pokok di daerah pedalaman Ketapang melonjak tinggi dari standar harga yang ditentukan. Wajar saja, karena itu menjadi akibat lanjutan dari biaya transportasi yang menyekik leher. “Harga barang kebutuhan di sini (Tanjung) rata-rata meningkat drastis, mulai dari beras, gula, dan sampai ke rokok juga sudah naik”, ujar Mariam kepada KR ketika berkunjung ke rumahnya.
Jalan rusak memang bukanlah persoalan baru bagi masyarakat di daerah Ketapang. Saking klasiknya persoalan ini, menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Sikap apatis itu bukan berarti masyarakat tidak lagi kritis untuk menyuarakan impian mereka merasakan jalan aspal tanpa harus berkubang dengan lumpur lagi. Suara-suara itu sesungguhnya sudah sering diperdengarkan kepada para wakil rakyat, namun selalu saja miris dari apa yang diharapkan. Seandainya pun ada perbaikan, itu pun hanya sekedar proyek-proyek saja yang sifatnya untuk jangka pendek saja.
Makanya tidak heran, ada anggapan yang muncul, disinyalir pemerintah sengaja tidak mengaspal jalan terutama akses menuju daerah-daerah pedalaman, karena kalau di aspal maka proyek besar ini pun akan sirna. Kesan proyek tambal sulam itu bisa dibenarkan. Karena jika dilihat dari perkembangannya sampai saat ini, kondisi transportasi darat ini bisa dibilang tidak jauh berbeda dengan kondisi beberapa tahun belakangan. Berjalan ditempat, tidak ada perubahan yang signifikan sama sekali.
Parahnya lagi, keinginan masyarakat itu justru dimanfaatkan oleh para birokrat untuk mengkampanyekan “naluri kapitalismenya”. Dengan kekayaan Ketapang yang sebagaian besar adalah milik masyarakat adat, kemudian dengan iming-iming jalan bagus, masyarakat adat di hasut untuk mau menerima masuknya investor perkebunan kelapa sawit dan pertambangan skala besar di wilayah adat yang selama ini mereka kelola. Bahkan, di salah satu kampung pedalaman di daerah Kecamatan Jelai Hulu, Kampung Semenjawat namanya, sebelum masuknya perusahaan sawit (sekarang sudah masuk), ada anggapan masyarakatnya yang mengatakan jika menolak perusahaan sawit, maka jalan tidak akan pernah di bangun.
“Luluh lantaknya” transportasi darat di Ketapang menyiratkan bahwa sangat lambannya kinerja wakil rakyat dan pemerintah dalam merespon aspirasi masyarakatnya. Tentu saja masyarakat sangat berharap agar mereka tidak tidur melihat kenyataan yang terjadi. Masyarakat di daerah pedalaman hanya membutuhkan transportasi yang baik untuk membantu kelancaran perekonomian yang ada pada diri mereka sendiri, bukan lebih dari itu.(Frans Lakon-Majalah Kalimantan Review, Edisi Januari 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar