“Aku mohon kepadamu sekalian, dengarkanlah apa yang harus kukatakan ini, dan barulah kalian merenungkan kata-kataku... bukankah telah dan masih akan terjadi pada kalian, bahwa setelah aku tidak lagi di sini, banyak orang lain akan berdatangan terus-menerus dengan kelembutan dan senyum, untuk merampas dari kalian apa yang sebenarnya adalah hak kalian, yaitu tanah tempat kalian hidup ini, sumber dari penghasilan kalian, makanan bahkan yang ada dalam mulut kalian? Kamu sekalian akan kehilangan hak yang melekat padamu secara turun-temurun bersama dengan kelahiranmu, yang akan dirampas darimu oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya, justru menjadi tuan dan pemilik, sementara kalian sendiri, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan menjadi bukan apa-apa lagi kecuali kuli-kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Inilah penggalan “pesan” Charles James Brooke, The White Rajah of Sarawak kepada masyarakat Dayak di Sarawak tahun 1915 silam. Jujur saja, pesan ini cukup menyentuh perasaan siapa pun yang menaruh kebanggaan dan harapannya pada bumi Kalimantan ini. Jika pesan ini dikaitkan dengan kondisi hari ini, apakah masih relevan? Tulisan ini mencoba (mungkin) untuk membuka tirai yang terselubung, mengurai fakta yang terjadi ditengah kamelut kehidupan masyarakatnya yang semakin kompleks.
Kalbar akhir-akhir ini melalui pemberitaan media massa, seringkali kita disajikan dengan pelbagai reaksi perlawanan masyarakat terhadap ekspansi perusahaan perkebunan skala besar. Di Kabupaten Ketapang, ratusan petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR)-Transmigrasi menuntut pertanggungjawaban perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Benua Indah Group yang dianggap telah mengabaikan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Kemudian, kasus perlawanan masyarakat Silat Hulu, Kecamatan Marau terhadap ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bangun Nusa Mandiri (BNM), anak perusahaannya PT Sinar Mas yang merampas tanah adat mereka sejak 2007 lalu tanpa pemberitahuan kepada masyarakat lokal terlebih dahulu. Tak ayal, kasus ini pun menyulut amarah masyarakat dan melaporkannya ke Kapolda Kalbar dan Komnas HAM nasional. Hasilnya, Komnas HAM memperingati Bupati Kabupaten Ketapang, Morkes Effendi agar segera menghentikan segala aktivitas perusahaan BNM karena dianggap sudah melanggar HAM. Kedua kasus ini menjadi sorotan nasional.
Tidak hanya di Kabupaten Ketapang, persoalan serupa juga banyak terjadi di beberapa daerah di Kalbar ini. Namun, hampir semua kisah-kisa perlawanan masyarakat tersebut selalu kandas, dan tak jarang pula masyarakat yang melawan justru harus berakhir di sel tahanan. Jika dicermati, sesungguhnya menjadi sesuatu yang wajar ketika perlawanan masyarakat itu hanya sebagai upaya menuntut secercah keadilan atas hak-hak yang selama ini dikebiri. Ironisnya lagi, pemerintah bukannya belajar dari kasus-kasus perlawanan tersebut, justru semakin menempatkan investor sebagai “tamu istimewa” ketimbang memperhatikan tuntutan rakyatnya. Atas dasar itulah, para investor baik itu perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan selalu merasa di atas angin dan bertindak sesukanya dalam mengkonversi lahan milik masyarakat sebagai pemilik asli. Sengaja menciptakan potensi konflik antar masyarakat sebagai upaya memecahbelahkan kekuatan masyarakat, merampas tanah-tanah masyarakat, mengabaikan tuntutan sosialnya, dan menjebak masyarakat kedalam kubangan kemiskinan. Jika sudah begitu, apakah salah jika masyarakat terus melakukan melawan?
Sekilas melihat kebelakang, sesungguhnya persoalan-persoalan yang muncul dan mendera kehidupan masyarakat sampai hari ini tidak terlepas dari ambisi pemerintah Indonesia untuk mengalahkan Malaysia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Dengan ambisi besar itu, niscaya pemerintah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi investor untuk menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia. Setelah Pulau Sumatera, Kalimantan adalah wilayah yang paling diincar oleh para investor.
Di Indonesia, sawit merupakan tanaman primadona. Hal ini bisa dilihat, dari perkembangannya pada tahun 2004 – 2007, luas areal dan produksi Kelapa Sawit menunjukkan trend peningkatan yang sangat signifikan, dan tentu saja kecenderungannya kedepan akan terus bertambah seiring dengan membaiknya harga sawit di pasaran dunia. Bahkan, pada tahun 2007 lalu, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia meningkat dan menduduki posisi pertama di dunia dengan output 17,2 juta ton meninggalkan Malaysia pada posisi kedua dengan produksi 16,4 juta ton (Tandan Sawit; edisi III/Mei 2009).
Khusus di Kalbar, masuknya perkebunan kelapa sawit bermula pada dekade 1990-an. Melalui PTPN VII, survey kelayakan pun dilakukan pada lahan seluas 14.000 hektar yakni di wilayah Ngabang. Kemudian pada tahun 1994 Pemda juga mencadangkan 3,2 juta hektar tanah untuk proyek perkebunan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 10,9% pertahun pada masa itu.
Sejak tahun 2001, perusahaan perkebunan kelapa sawit tumbuh dengan suburnya. Para investor berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia. Karena di negara-nya sudah dilarang memperluas perkebunan kelapa sawit, maka investor asal Malaysia pun pergi ke Kalbar untuk membumikan tanaman monokultur ini. Sekarang, kita bisa menyaksikan hampir sebagian besar wilayah Kalbar terutama di wilayah-wilayah pedalaman, sudah berhijaukan sawit. Dan bahkan pada tahun 2007 lalu, luas areal perkebunan sawit di Kalbar sudah sebesar 194. 716 hektar dengan produksi 385.580 ton. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sanggau memiliki areal Kelapa Sawit yang paling luas yang diikuti oleh Kabupaten Ketapang, Sambas, Landak, Kapuas Hulu, Bengkayang, Singkawang, dan Pontianak.
Dibukanya ratusan ribu hektar perkebunan sawit di Kalbar telah menyebabkan masyarakat disekitar konservasi tersebut dirampas hak-haknya dan menjadi kuli di tanah kelahirannya sendiri. Konversi lahan untuk sawit tidak saja menghancurkan ekosistem alam, tetapi juga kemiskinan absolut (tidak punya tanah), hancurnya nilai-nilai budaya lokal, degradasi sosial, kini benar-benar menjadi ancaman dan telah melanda kehidupan sebagian besar masyarakat lokal. Celakanya lagi, dengan mengatasnamakan untuk pendapatan daerah, Pemda justru melindungi keinginan investor untuk masuk. Lihat saja yang baru-baru ini, kedatangan investor dari China di sambut hangat dan dilayani secara istimewa oleh pemerintah. Seolah-olah, investor adalah “tamu terhormat” yang dengan segala kemudahan dipersilakan untuk melakukan survey di wilayah Kalbar ini.
Tak hanya itu, pelbagai produk hukum pun dirilis dan diterbitkan untuk memayungi kepentingan pihak investor. Diantaranya seperti Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1994 tentang prioritas pembangunan sub-sektor perkebunan di Kalbar. Kemudian produk hukum tersebut diperkuat lagi dengan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1995 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menyediakan 5.257.700 hektar lahan untuk segera dimanfaatkan dan dikelola oleh 164 perusahaan.
Dengan fakta tersebut, apakah Pemerintah Provinsi Kalbar tetap berkeinginan untuk terus menggencarkan program pembangunan pada sektor pengembangan perkebunan sawit? Memang benar, Kalbar memiliki anggaran pembangunan yang sangat kecil dari pusat, namun bukan berarti justru masyarakat yang dijadikan korban dari pilihan alternatif program pembangunan itu. Perkebunan dan pertambangan skala besar merupakan petaka bagi masyarakat yang berada di pedalaman. Kedua program tersebut bagi masyarakat di pedalaman diibaratkan seperti sebuah perumpamaan, “saat masyarakat membutuhkan sepeda, kok justru diberi mobil”. Dari perumpamaan itu, jelas yang dibutuhkan masyarakat adalah program pembangunan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki, yang menjamin keberlangsungan hidup mereka, dan yang bisa menuntun mereka pada apa yang disebut kesejahteraan hidup tanpa harus dengan sawit atau juga tambang. Kalbar adalah negeri kaya, namun masyarakatnya miskin di tengah kekayaannya itu sendiri. Dimana letak kesalahannya? Jujur saja, yang salah adalah karena para pemimpinnya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan realitas yang pernah terjadi.(*Frans Lakon)
Inilah penggalan “pesan” Charles James Brooke, The White Rajah of Sarawak kepada masyarakat Dayak di Sarawak tahun 1915 silam. Jujur saja, pesan ini cukup menyentuh perasaan siapa pun yang menaruh kebanggaan dan harapannya pada bumi Kalimantan ini. Jika pesan ini dikaitkan dengan kondisi hari ini, apakah masih relevan? Tulisan ini mencoba (mungkin) untuk membuka tirai yang terselubung, mengurai fakta yang terjadi ditengah kamelut kehidupan masyarakatnya yang semakin kompleks.
Kalbar akhir-akhir ini melalui pemberitaan media massa, seringkali kita disajikan dengan pelbagai reaksi perlawanan masyarakat terhadap ekspansi perusahaan perkebunan skala besar. Di Kabupaten Ketapang, ratusan petani Perkebunan Inti Rakyat (PIR)-Transmigrasi menuntut pertanggungjawaban perusahaan perkebunan kelapa sawit, PT Benua Indah Group yang dianggap telah mengabaikan hak-hak yang seharusnya mereka terima. Kemudian, kasus perlawanan masyarakat Silat Hulu, Kecamatan Marau terhadap ekspansi perusahaan perkebunan kelapa sawit PT Bangun Nusa Mandiri (BNM), anak perusahaannya PT Sinar Mas yang merampas tanah adat mereka sejak 2007 lalu tanpa pemberitahuan kepada masyarakat lokal terlebih dahulu. Tak ayal, kasus ini pun menyulut amarah masyarakat dan melaporkannya ke Kapolda Kalbar dan Komnas HAM nasional. Hasilnya, Komnas HAM memperingati Bupati Kabupaten Ketapang, Morkes Effendi agar segera menghentikan segala aktivitas perusahaan BNM karena dianggap sudah melanggar HAM. Kedua kasus ini menjadi sorotan nasional.
Tidak hanya di Kabupaten Ketapang, persoalan serupa juga banyak terjadi di beberapa daerah di Kalbar ini. Namun, hampir semua kisah-kisa perlawanan masyarakat tersebut selalu kandas, dan tak jarang pula masyarakat yang melawan justru harus berakhir di sel tahanan. Jika dicermati, sesungguhnya menjadi sesuatu yang wajar ketika perlawanan masyarakat itu hanya sebagai upaya menuntut secercah keadilan atas hak-hak yang selama ini dikebiri. Ironisnya lagi, pemerintah bukannya belajar dari kasus-kasus perlawanan tersebut, justru semakin menempatkan investor sebagai “tamu istimewa” ketimbang memperhatikan tuntutan rakyatnya. Atas dasar itulah, para investor baik itu perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun pertambangan selalu merasa di atas angin dan bertindak sesukanya dalam mengkonversi lahan milik masyarakat sebagai pemilik asli. Sengaja menciptakan potensi konflik antar masyarakat sebagai upaya memecahbelahkan kekuatan masyarakat, merampas tanah-tanah masyarakat, mengabaikan tuntutan sosialnya, dan menjebak masyarakat kedalam kubangan kemiskinan. Jika sudah begitu, apakah salah jika masyarakat terus melakukan melawan?
Sekilas melihat kebelakang, sesungguhnya persoalan-persoalan yang muncul dan mendera kehidupan masyarakat sampai hari ini tidak terlepas dari ambisi pemerintah Indonesia untuk mengalahkan Malaysia sebagai negara pengekspor minyak sawit terbesar di dunia. Dengan ambisi besar itu, niscaya pemerintah membuka peluang yang seluas-luasnya bagi investor untuk menancapkan kuku bisnisnya di Indonesia. Setelah Pulau Sumatera, Kalimantan adalah wilayah yang paling diincar oleh para investor.
Di Indonesia, sawit merupakan tanaman primadona. Hal ini bisa dilihat, dari perkembangannya pada tahun 2004 – 2007, luas areal dan produksi Kelapa Sawit menunjukkan trend peningkatan yang sangat signifikan, dan tentu saja kecenderungannya kedepan akan terus bertambah seiring dengan membaiknya harga sawit di pasaran dunia. Bahkan, pada tahun 2007 lalu, produksi minyak sawit mentah (CPO) Indonesia meningkat dan menduduki posisi pertama di dunia dengan output 17,2 juta ton meninggalkan Malaysia pada posisi kedua dengan produksi 16,4 juta ton (Tandan Sawit; edisi III/Mei 2009).
Khusus di Kalbar, masuknya perkebunan kelapa sawit bermula pada dekade 1990-an. Melalui PTPN VII, survey kelayakan pun dilakukan pada lahan seluas 14.000 hektar yakni di wilayah Ngabang. Kemudian pada tahun 1994 Pemda juga mencadangkan 3,2 juta hektar tanah untuk proyek perkebunan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 10,9% pertahun pada masa itu.
Sejak tahun 2001, perusahaan perkebunan kelapa sawit tumbuh dengan suburnya. Para investor berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia. Karena di negara-nya sudah dilarang memperluas perkebunan kelapa sawit, maka investor asal Malaysia pun pergi ke Kalbar untuk membumikan tanaman monokultur ini. Sekarang, kita bisa menyaksikan hampir sebagian besar wilayah Kalbar terutama di wilayah-wilayah pedalaman, sudah berhijaukan sawit. Dan bahkan pada tahun 2007 lalu, luas areal perkebunan sawit di Kalbar sudah sebesar 194. 716 hektar dengan produksi 385.580 ton. Dari jumlah tersebut, Kabupaten Sanggau memiliki areal Kelapa Sawit yang paling luas yang diikuti oleh Kabupaten Ketapang, Sambas, Landak, Kapuas Hulu, Bengkayang, Singkawang, dan Pontianak.
Dibukanya ratusan ribu hektar perkebunan sawit di Kalbar telah menyebabkan masyarakat disekitar konservasi tersebut dirampas hak-haknya dan menjadi kuli di tanah kelahirannya sendiri. Konversi lahan untuk sawit tidak saja menghancurkan ekosistem alam, tetapi juga kemiskinan absolut (tidak punya tanah), hancurnya nilai-nilai budaya lokal, degradasi sosial, kini benar-benar menjadi ancaman dan telah melanda kehidupan sebagian besar masyarakat lokal. Celakanya lagi, dengan mengatasnamakan untuk pendapatan daerah, Pemda justru melindungi keinginan investor untuk masuk. Lihat saja yang baru-baru ini, kedatangan investor dari China di sambut hangat dan dilayani secara istimewa oleh pemerintah. Seolah-olah, investor adalah “tamu terhormat” yang dengan segala kemudahan dipersilakan untuk melakukan survey di wilayah Kalbar ini.
Tak hanya itu, pelbagai produk hukum pun dirilis dan diterbitkan untuk memayungi kepentingan pihak investor. Diantaranya seperti Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1994 tentang prioritas pembangunan sub-sektor perkebunan di Kalbar. Kemudian produk hukum tersebut diperkuat lagi dengan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1995 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menyediakan 5.257.700 hektar lahan untuk segera dimanfaatkan dan dikelola oleh 164 perusahaan.
Dengan fakta tersebut, apakah Pemerintah Provinsi Kalbar tetap berkeinginan untuk terus menggencarkan program pembangunan pada sektor pengembangan perkebunan sawit? Memang benar, Kalbar memiliki anggaran pembangunan yang sangat kecil dari pusat, namun bukan berarti justru masyarakat yang dijadikan korban dari pilihan alternatif program pembangunan itu. Perkebunan dan pertambangan skala besar merupakan petaka bagi masyarakat yang berada di pedalaman. Kedua program tersebut bagi masyarakat di pedalaman diibaratkan seperti sebuah perumpamaan, “saat masyarakat membutuhkan sepeda, kok justru diberi mobil”. Dari perumpamaan itu, jelas yang dibutuhkan masyarakat adalah program pembangunan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki, yang menjamin keberlangsungan hidup mereka, dan yang bisa menuntun mereka pada apa yang disebut kesejahteraan hidup tanpa harus dengan sawit atau juga tambang. Kalbar adalah negeri kaya, namun masyarakatnya miskin di tengah kekayaannya itu sendiri. Dimana letak kesalahannya? Jujur saja, yang salah adalah karena para pemimpinnya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan realitas yang pernah terjadi.(*Frans Lakon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar