MENCERMATI pelbagai wacana pemekaran wilayah yang sempat menyeruak, tentu saja menjadi topik yang menarik untuk dikaji. Seperti di beberapa daerah di nusantara ini, tuntutan pemekaran wilayah menjadi jargon politik ekonomi yang seksi untuk ditawarkan dalam kampanye-kampanye para politikus. Selain karena kondisi keterbelakangan, paradigma klasik yang berpandangan bahwa pemekaran wilayah merupakan solusi strategis memperpendek rentang kendali kepemerintahan dalam rangka memaksimalkan mutu pelayanan kepada masyarakat, bisa mengatur dan mengelola segala potensi yang ada pada daerah, memperoleh subsidi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih, juga wacana ini sudah masuk pada areal kepentingan poltik kaum elit di tingkat daerah.
Argumentasi inilah yang mendorong kalangan politisi dan kaum elit lokal dengan lantang menyuarakan pemekaran daerah ini. Untuk mewujudkan itu, tak jarang segala usaha pun dikerahkan, mulai dari aksi demonstrasi, audiensi, lobby dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lain sebagainya. Dengan mengibarkan aspirasi rakyat di daerah, bahkan perjuangan itu ada yang berakhir brutal.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan mengakar tentang impian program pemekaran wilayah, tentunya akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang berkembang di daerah. Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program pemekaran wilayah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan.
Dari sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara maksimal. Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun 1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004. Kemudian yang terakhir, keluar lagi Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ tahun 2005. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerahnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang salah satu program yang sangat populis ini. Melainkan hanya ingin menyajikan realitas yang terjadi di tingkat akar rumput terutama komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan berinteraksi langsung dengan eksistensi alam, sebut saja Masyarakat Adat Dayak. Di beberapa kampung di Kalbar ini, program pemekaran wilayah diibaratkan seperti buah simalakama. Dibalik niat mensejahterakan masyarakat, program itu justru mengancam kehidupan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat komunitas. Kondisi ini disebabkan karena paradigma pembangunan masih sangat mendewakan “pendapatan asli daerah” yang berorientasi pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi semata.
Realitasnya, tingkat kemiskinan tetap saja meningkat, pelayanan publik tetap saja minim, fanatisme daerah, suku semakin mencuat kepermukaan, kemerosotan budaya dan lingkungan pun semakin tak terelakkan. Pada prinsipnya, pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan otonomi daerah akibat perbedaan pemahaman otonomi daerah masih kerap terjadi. Ketaatan pemerintah daerah pada peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum tumbuh. Seperti pembuatan Perda oleh pemerintah daerah yang tidak mengacu pada UU, yang pada akhirnya malah menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat dan berdampak tidak saja menghambat program pembangunan, melainkan juga menumbuhkan potensi konflik horizontal.
Kegagalan lain, pemerintah daerah dalam menjalankan amanat UU No. 32 Tahun 2004 ini juga yang berkaitan dengan pemekaran desa. Jujur saja, pejabat daerah mengambil keuntungan di balik pemekaran tersebut, sehingga konflik sosial antar warga yang daerahnya dimekarkan pun sulit diatasi. Penyebabnya terkait dengan adanya kebijakan yang hanya memikirkan keuntungan belaka, tanpa memikirkan dampak sosial dan lingkungan.
Salah satunya di Desa Tanggerang, Kampung Tanjung, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang. Wilayah yang mayoritas bersub suku Dayak Jalai ini sebelum dimekarkan menjadi beberapa desa, yang diikuti dengan pemecahan dusun sampai RT, kehidupan masyarakatnya sangat solid. Rasa kebersamaan, solidaritas masih dijunjung tinggi, seperti yang terlihat dalam proses penyelenggaraan ritual upacara adat atau pun dalam hal mengambil keputusan yang menyangkut hazat hidup seluruh masyarakat komunitasnya, sebut saja program pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kini, setelah dilakukan pemekaran, justru keputusan yang diambil lebih mengedepankan batas-batas administratif ketimbang ikatan kekerabatan yang sudah melekat dalam kehidupan mereka sebelumnya.
Begitu juga halnya dalam proses melaksanakan ritual adat istiadat, jika sudah beda wilayah administratifnya, meskipun itu masih dalam satu kampung, maka itu tidak akan menjadi sebuah keharusan lagi. Jika ritual itu dilaksanakan di Kampung Tanjung tetapi karena sudah terpecah menjadi dua desa, maka aturan adat (pantang pantiq) juga harus disesuaikan dengan batas-batas wilayah desa masing-masing atau dimana pusat ritual itu dilaksanakan. Padahal masyarakatnya hanya dipisahkan oleh batas administrasi desa saja.
Tentu saja realitas ini sangat memprihatinkan, sikap kebersamaan tidak lagi dipandang perlu, dan justru doktrin pembangunan jauh lebih utama ketimbang harus duduk bersama walaupun itu adalah saudaranya sendiri. Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Kampung tanjung, melainkan juga banyak kisah-kisah yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Pemekaran wilayah dilaksanakan dengan tidak memperhitungkan kondisi konkrit yang ada didalam kehidupan masyarakat lokal.
Semata-mata karena ingin mendapatkan pemasukan daerah melalui program pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan lain sebagainya, kemudian mendorong strategi pemekaran wilayah. Akibatnya, masyarakat saling rebutan dalam mempertahankan wilayah-nya masing-masing dimana yang dulunya dimiliki secara bersama.
Oleh karena itu, kedepan, kebijakan pemekaran wilayah itu tidak saja dipandang positif oleh kalangan elit politik maupun elit di tingkat lokal, tapi juga harus dikaji secara seksama bagaimana dampak negatif terhadap eksistensi komunitas. Jangan karena dilandasi kepentingan politik dan bisnis semata, justru mengorbankan kehidupan masyarakat komunitas. Kalau sudah begitu, program pemekaran wilayah yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini bukanlah sebuah anugerah yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat komunitas, melainkan justru menjadi petaka baru. Program ini patut untuk terus dikaji ulang, apakah benar-benar pemekaran wilayah untuk kesejahteraan rakyat atau justru program penyempitan wilayah untuk penghancuran kehidupan masyarakat komunitas. (*Frans Lakon)
Argumentasi inilah yang mendorong kalangan politisi dan kaum elit lokal dengan lantang menyuarakan pemekaran daerah ini. Untuk mewujudkan itu, tak jarang segala usaha pun dikerahkan, mulai dari aksi demonstrasi, audiensi, lobby dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lain sebagainya. Dengan mengibarkan aspirasi rakyat di daerah, bahkan perjuangan itu ada yang berakhir brutal.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan mengakar tentang impian program pemekaran wilayah, tentunya akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang berkembang di daerah. Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program pemekaran wilayah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan.
Dari sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara maksimal. Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun 1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004. Kemudian yang terakhir, keluar lagi Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ tahun 2005. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerahnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang salah satu program yang sangat populis ini. Melainkan hanya ingin menyajikan realitas yang terjadi di tingkat akar rumput terutama komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan berinteraksi langsung dengan eksistensi alam, sebut saja Masyarakat Adat Dayak. Di beberapa kampung di Kalbar ini, program pemekaran wilayah diibaratkan seperti buah simalakama. Dibalik niat mensejahterakan masyarakat, program itu justru mengancam kehidupan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat komunitas. Kondisi ini disebabkan karena paradigma pembangunan masih sangat mendewakan “pendapatan asli daerah” yang berorientasi pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi semata.
Realitasnya, tingkat kemiskinan tetap saja meningkat, pelayanan publik tetap saja minim, fanatisme daerah, suku semakin mencuat kepermukaan, kemerosotan budaya dan lingkungan pun semakin tak terelakkan. Pada prinsipnya, pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan otonomi daerah akibat perbedaan pemahaman otonomi daerah masih kerap terjadi. Ketaatan pemerintah daerah pada peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum tumbuh. Seperti pembuatan Perda oleh pemerintah daerah yang tidak mengacu pada UU, yang pada akhirnya malah menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat dan berdampak tidak saja menghambat program pembangunan, melainkan juga menumbuhkan potensi konflik horizontal.
Kegagalan lain, pemerintah daerah dalam menjalankan amanat UU No. 32 Tahun 2004 ini juga yang berkaitan dengan pemekaran desa. Jujur saja, pejabat daerah mengambil keuntungan di balik pemekaran tersebut, sehingga konflik sosial antar warga yang daerahnya dimekarkan pun sulit diatasi. Penyebabnya terkait dengan adanya kebijakan yang hanya memikirkan keuntungan belaka, tanpa memikirkan dampak sosial dan lingkungan.
Salah satunya di Desa Tanggerang, Kampung Tanjung, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang. Wilayah yang mayoritas bersub suku Dayak Jalai ini sebelum dimekarkan menjadi beberapa desa, yang diikuti dengan pemecahan dusun sampai RT, kehidupan masyarakatnya sangat solid. Rasa kebersamaan, solidaritas masih dijunjung tinggi, seperti yang terlihat dalam proses penyelenggaraan ritual upacara adat atau pun dalam hal mengambil keputusan yang menyangkut hazat hidup seluruh masyarakat komunitasnya, sebut saja program pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kini, setelah dilakukan pemekaran, justru keputusan yang diambil lebih mengedepankan batas-batas administratif ketimbang ikatan kekerabatan yang sudah melekat dalam kehidupan mereka sebelumnya.
Begitu juga halnya dalam proses melaksanakan ritual adat istiadat, jika sudah beda wilayah administratifnya, meskipun itu masih dalam satu kampung, maka itu tidak akan menjadi sebuah keharusan lagi. Jika ritual itu dilaksanakan di Kampung Tanjung tetapi karena sudah terpecah menjadi dua desa, maka aturan adat (pantang pantiq) juga harus disesuaikan dengan batas-batas wilayah desa masing-masing atau dimana pusat ritual itu dilaksanakan. Padahal masyarakatnya hanya dipisahkan oleh batas administrasi desa saja.
Tentu saja realitas ini sangat memprihatinkan, sikap kebersamaan tidak lagi dipandang perlu, dan justru doktrin pembangunan jauh lebih utama ketimbang harus duduk bersama walaupun itu adalah saudaranya sendiri. Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Kampung tanjung, melainkan juga banyak kisah-kisah yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Pemekaran wilayah dilaksanakan dengan tidak memperhitungkan kondisi konkrit yang ada didalam kehidupan masyarakat lokal.
Semata-mata karena ingin mendapatkan pemasukan daerah melalui program pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan lain sebagainya, kemudian mendorong strategi pemekaran wilayah. Akibatnya, masyarakat saling rebutan dalam mempertahankan wilayah-nya masing-masing dimana yang dulunya dimiliki secara bersama.
Oleh karena itu, kedepan, kebijakan pemekaran wilayah itu tidak saja dipandang positif oleh kalangan elit politik maupun elit di tingkat lokal, tapi juga harus dikaji secara seksama bagaimana dampak negatif terhadap eksistensi komunitas. Jangan karena dilandasi kepentingan politik dan bisnis semata, justru mengorbankan kehidupan masyarakat komunitas. Kalau sudah begitu, program pemekaran wilayah yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini bukanlah sebuah anugerah yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat komunitas, melainkan justru menjadi petaka baru. Program ini patut untuk terus dikaji ulang, apakah benar-benar pemekaran wilayah untuk kesejahteraan rakyat atau justru program penyempitan wilayah untuk penghancuran kehidupan masyarakat komunitas. (*Frans Lakon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar