Sesungguhnya dalam pola pengelolaan sumber daya alam, masyarakat adat Dayak mempunyai pengetahuan dan kearifan lokal yang sangat baik serta memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan dan kelestarian lingkungan. Secara tradisi, etnis Dayak Jalai dan Simpakng contohnya, memiliki perspekstif yang sama dalam melakukan pengelolaan sumber daya alam secara arif dan bijaksana. Dahas (bahasa Dayak Jalai) dan Kampokng Temawakng (bahasa Dayak Simpakng) merupakan manifesto pengelolaan sumber daya alam yang berbasiskan pengetahuan dan kearifan lokal. Demikian juga dengan Dayak pada umumnya. Dalam dahas atau kampokng temawakng itu dapat ditemui berbagai macam jenis piaraan hewan dan berbagai jenis tananam buah-buahan yang menjadi sumber kehidupan masyarakat, seperti; durian, cempedak, duku, rambutan, langsat, mentawa, dan banyak tanaman lainnya yang dimanfaatkan secara optimal.
Dahas atau kampokng-temawakng secara hak kepemilikannya dimiliki komunal oleh masyarakat dalam satu kampung, karena pada prinsipnya pengelolaanya bertujuan sebagai penyediaan atau asset untuk generasi penerusnya. Sehingga bagi orang dari luar kampung yang ingin memanfaatkannya harus minta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat, karena keberadaannya sudah diatur dalam ketentuan adat istiadat kampung setempat. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan berhadapan dengan hukum adat.
Selain itu juga, dahas atau kampokng-temawakng berfungsi sebagai kekuatan masyarakat adat dalam mempertahankan sumber-sumber kehidupannya oleh ekspansi pihak-pihak berkepentingan yang ingin merampas kedaulatan wilayah adat dari eksistensi ekologisnya. Secara legal, pengelolaan sumber daya alam melalui aktivitas dahas atau temawang sangat kuat dan memiliki posisi tawar yang sangat tinggi, karena sudah dikelola dan menjadi “jantung” kehidupan masyarakat sampai ke beberapa generasi berikutnya. Maka, perlu disadari bahwa masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini. Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak mamahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan.
Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.
Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan -termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah -telah berhasil melestarikan lingkungan hidupnya.
Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka. Adat dan religi sebagai produk akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup telah berkembang menjadi budaya disepanjang kehidupan manusia tersebut. Melestarikan budaya berarti melestarikan lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya karena sifatnya lokal berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti kita akan tetap ada. (*Frans Lakon)
Dahas atau kampokng-temawakng secara hak kepemilikannya dimiliki komunal oleh masyarakat dalam satu kampung, karena pada prinsipnya pengelolaanya bertujuan sebagai penyediaan atau asset untuk generasi penerusnya. Sehingga bagi orang dari luar kampung yang ingin memanfaatkannya harus minta izin terlebih dahulu kepada masyarakat setempat, karena keberadaannya sudah diatur dalam ketentuan adat istiadat kampung setempat. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut akan berhadapan dengan hukum adat.
Selain itu juga, dahas atau kampokng-temawakng berfungsi sebagai kekuatan masyarakat adat dalam mempertahankan sumber-sumber kehidupannya oleh ekspansi pihak-pihak berkepentingan yang ingin merampas kedaulatan wilayah adat dari eksistensi ekologisnya. Secara legal, pengelolaan sumber daya alam melalui aktivitas dahas atau temawang sangat kuat dan memiliki posisi tawar yang sangat tinggi, karena sudah dikelola dan menjadi “jantung” kehidupan masyarakat sampai ke beberapa generasi berikutnya. Maka, perlu disadari bahwa masyarakat adat Dayak secara umum adalah komunitas ekologis dimana keberlangsungan hidupnya sangat tergantung pada eksistensi alam yang ada.
Adat yang mencakup pengertian religi (world-view), norma, dan etika yang selanjutnya diperjelas oleh mitos merupakan pandangan hidup (way of life) bagi masyarakat holtikultural Dayak dalam kehidupannya. Adat bersama mitosnya mempengaruhi dan membentuk sikap serta perilaku individu maupun komunitas terhadap alam dalam sistem kehidupan ini. Berdasarkan pandangan dunianya, masyarakat Dayak mamahami manusia itu sebagai bagian dari alam dalam suatu bentuk sistem kehidupan.
Bentuk sistem kehidupan ini merupakan lingkungan hidup bersama dari unsur manusia dan unsur-unsur lain yang non-manusia (organisme dan non-organisme). Kesemua unsur dalam sistem itu memiliki nilai dan fungsinya masing-masing. Pandangan kosmologi tersebut telah berdampak pada pemahaman mereka terhadap hubungan manusia dengan alam yang bersifat antropocosmic, yang berarti manusia dan alam menyatu, tidak terpisahkan, hal ini berimplikasi terhadap korelasi dari unsur-unsur dalam sistem kehidupan itu dimana manusia sebagai salah satu unsurnya tidak pernah memanifestasikan diri mereka sebagai raja penguasa atas alam.
Pandangan kosmologi yang demikian itu melahirkan suatu etika lingkungan hidup yang tercakup dalam adat sehingga membuat masyarakat Dayak mempunyai sikap menghargai, menghormati dan bersahabat terhadap alam.
Dengan demikian, manusia tidak dapat bertindak semau-maunya terhadap alam, mengeksploitasi alam sehabis-habisnya demi kepentingan ekonomi. Bagaimanapun juga kesejahteraan hidup manusia secara keseluruhan -termasuk kesejahteraan hidup generasi yang akan datang- tetap akan tergantung dari kesehatan dan kelestarian alam yang menjadi sumber penghidupan dan satu-satunya lingkungan hidupnya. Religi yang telah diwariskan para leluhur dan telah diuji dan dipraktekkan sepanjang sejarah kehidupan mereka sebagai peladang berpindah -telah berhasil melestarikan lingkungan hidupnya.
Mereka melalui religinya telah berhasil membuat suatu bentuk kehidupan berkelanjutan (sustainable life) dalam kehidupan mereka. Adat dan religi sebagai produk akumulasi dari pengalaman manusia-produk adaptive strategy dalam interaksinya dengan alam agar supaya mereka mampu bertahan hidup telah berkembang menjadi budaya disepanjang kehidupan manusia tersebut. Melestarikan budaya berarti melestarikan lingkungan hidup karena di dalamnya terdapat etika lingkungan hidup. Mencela budaya karena sifatnya lokal berarti mencela para leluhur yang telah mewariskannya yang sekaligus menolak untuk melestarikan lingkungan hidup. Dengan melestarikan budaya maka berarti kita akan tetap ada. (*Frans Lakon)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar