Rabu, 27 Januari 2010

Kaharingan; Agama Asli Orang Dayak

Judul: Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa
Penulis: Martin Georg Baier
Editor: Prof. Kumpiady Widen, Ph.D

Membangkitkan dan menghidupkan, itulah makna Kaharingan sehingga diyakini sebagai agama asli bagi suku bangsa Dayak di Kalimantan Tengah. Sampai hari ini, keberadaannya tidak pernah mendapat pengakuan dari penyelenggara bangsa ini. Jangankan pengakuan, justru keberadaannya dianggap sebagai penghambat pembangunan, ateis, menyembah berhala, dan bertentangan dengan nilai-nilai agama resmi (Islam, Kristen, Hindu, Bhuda, dan Konghucu).
Menurut TjilikRiwut (2003), Agama Kaharingan sesungguhnya tidak dimulai sejak zaman tertentu, melainkan sudah ada sejak awal penciptaan, yaitu sejak Ranying Hatalla menciptakan manusia di dunia ini. Makanya, Agama Kaharingan tidak memiliki kitab suci atau tokoh panutan sebagai pendiri yang merupakan utusan Ranying Hatalla. Tidak seperti agama-agama resmi yang akui oleh pemerintah, agama Kaharingan diturunkan dan diatur secara langsung oleh Ranying Hatalla dan hingga kini masih dianut dan diyakini secara turun temurun oleh para penganutnya.
Pelbagai upaya telah dilakukan agar agama Kaharingan ini diakui keberadaannya di republik. Pada tahun 1971, disusunlah sebuah buku pedoman yang akan dijadikan kitab suci dengan nama Panaturan. Pada tahun 1973, kitab suci Panaturan ini dicetak untuk pertama kalinya, dan pada tahun 1996, kitab ini direvisi dan diterbitkan dalam dwi bahasa, yakni bahasa Dayak Ngaju dan bahasa Indonesia. Tak hanya itu, pada tahun 1980, Agama Kaharingan berafiliasi dengan Agama Hindu di Bali sehingga melahirkan istilah baru yakni Agama Hindu Kaharingan. Alasannya karena ajaran Agama Hindu memiliki banyak kemiripan dengan Agama Kaharingan. Namun dalam perjalanannya, pilihan berafiliasi tersebut tidak serta merta disambut baik oleh seluruh penganutnya. Akibatnya, muncullah dualisme kelompok, dimana ada kelompok yang menerima dan kelompok yang sebagian besar masih tetap setia pada istilah awalnya. Perbedaan itu masih diambang batas kewajaran, karena tidak menghilangkan identitas aslinya.
Kajian dan bahasan tentang agama atau kepercayaan asli suatu kelompok memang sangat menarik sekaligus membutuhkan nyali yang besar untuk bisa melakukannya. Di Indonesia hal itu masih dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk didiskusikan karena sudah memasuki wilayah yang sangat sensitif. Namun tidak bagi Dr. Martin Georg Baier, seorang teolog asal Jerman yang dengan keberaniannya mengkritisi dan mengikuti perkembangan atau perjuangan Agama Kaharingan. Bahkan Baier pernah mengatakan, Agama Kaharingan merupakan satu-satunya agama suku di dunia ini yang masih tetap bertahan ditengah pelbagai pengaruh pembangunan dan globalisasi. Perkembangan agama Kristen dan Islam pun tetap tidak bisa menggoyahkan eksistensi agama ini di kalangan suku bangsa Dayak di Kalteng.
Baier juga mengungkapkan hal yang berbeda dari Tjilik Riwut tentang agama Kaharingan. Menurutnya, Agama Kaharingan pernah terjadi peralihan istilah dari agama suku atau agama Helu menjadi Kaharingan, dan itu dilakukan oleh Damang J. Salilah pada zaman penjajahan Jepang.
Secara lengkap, Baier juga melakukan pengkajian dan mengkritisi Agama Kaharingan yang dituangkan dalam bukunya yang berjudul “Dari Agama Politeisme ke Agama Ketuhanan Yang Maha Esa; Teologi Sistematika Agama Hindu Kaharingan: Pembahasan Kemajuan Iman dan Kehidupan Agamawi Agama Hindu Kaharingan”. Dalam bukunya ini, Baier mengulas substansi Agama Hindu Kaharingan dengan mengacu pada buku pelajaran Agama Hindu Kaharingan tingkat SMTP kelas I - III. Tujuan pembahasannya bukan untuk menyanggah atau menyalahi apa yang sudah tertulis, melainkan mengkritisi beberapa kejanggalan dan memperbaikinya sesuai dengan ajaran Agama Hindu Kaharingan yang sesungguhnya. Menurut Baier, dalam buku kurikulum tersebut ditemukan beberapa kekeliruan (cacat) yang sifatnya sangat mendasar, seperti sumber-sumber yang salah, terjemahan yang kurang halus dan terkesan sangat kasar dan tidak tepat. Kritikan Baier ini tidak hanya ditujukan kepada para penulis buku pelajaran tersebut, melainkan juga untuk seluruh suku bangsa Dayak yang merasa bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup dan eksistensi suku bangsa Dayak itu sendiri.
Buku ini merupakan wujud kepedulian dan keprihatinan seorang “Barat” terhadap eksistensi Agama Kaharingan dikalangan suku bangsa Dayak di Kalteng. Baier sungguh-sungguh mendedikasikan hidupnya untuk mewarisi nilai-nilai kebenaran tentang Agama Kaharingan kepada generasi Dayak. Oleh karena itu, seorang Baier yang non Dayak saja bisa melakukannya, pertanyaan refleksinya, apakah kita sebagai orang Dayak bisa melakukan seperti apa yang Baier lakukan?
Terlepas dari kekurangan dan kelebihannya, buku ini layak untuk diapresiasikan dan dimiliki oleh siapa pun yang menaruh minat pada persoalan-persoalan sosial, kebudayaan Dayak, politikus, peneliti, akademisi, budayawan, mahasiswa. Karena buku ini mampu memberikan wawasan baru tentang nilai-nilai kebenaran yang selama ini tidak pernah terkuak. (Resensi: FIDEL Euro BARAGAS-Majalah Kalimantan Review)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar