Tanggal 14 Febuari 2010 merupakan hari yang paling dinanti-nantikan oleh keluarga kita dari Tionghoa, karena pada hari itu merupakan hari yang penuh sukacita dan teramat sakral bagi seluruh masyarakat Tionghoa di berbagai belahan dunia. Hari raya tahun baru Tiongkok atau yang disebut Imlek 2560. Didasari pada penanggalan Tiongkok, penentuan tanggal 26 Januari 2009 sebagai Hari Raya Imlek karena menjadi tanggal satu pada bulan pertama kalender Tionghoa. Bagi masyarakat Tionghoa, Imlek adalah salah satu hari raya tradisional Tionghoa untuk menyambut pergantian tahun dan meninggalkan tahun yang lama. Di negara asalnya, Tiongkok, perayaan Imlek dinamakan Chunjie yang berarti perayaan musim semi. Kata Chunjie sudah digunakan sejak Tiongkok merdeka, dimana sebelumnya masih digunakan istilah Yuandan yang berarti pertama di tahun yang baru dimasuki.
Imlek bukan hanya di rayakan di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, Korea dan Vietnam saja, tapi juga semarak Imlek juga terjadi di berbagai negara lain yang terdapat kawasan Pecinan (kawasan bermukimnya etnis Tionghoa). Di Korea saja, Imlek sudah menjadi sesuatu yang sakral dan sebagai salah satu hari libur resmi nasional sejak 1985 silam. Di Indonesia, perayaan Imlek secara terbuka baru diperbolehkan saat pemimpin negara ini dipegang oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2000 lalu melalui Keppres No.6/2000. Bahkan juga, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2002 lalu, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa baru bisa menhirup udara segar. Pemerintahan Gus dur dan Megawati memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya secara terbuka setelah didiskriminasi selama 30 tahun oleh rezim Soeharto berkuasa.
Memang sudah saatnyalah sikap diskriminatif antar ras sudah harus ditinggalkan. Sebagai bangsa yang majemuk, tentulah Indonesia harus memupuk tali persaudaraan sejati yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sebuah kekayaan paling berharga yang harus dijaga dan dipelihara secara terus menerus. Pernyataan Presiden ini niscaya semakin menyejukkan hati masyarakat Tionghoa, yang juga sebagai bagian dari keutuhan bangsa ini. Betapa tidak, bagi masyarakat Tionghoa, tidak ada sesuatu yang lebih dari sekedar apresiasi kebudayaan yang menjadi identitas mereka. Karena apresiasi seperti itu tak pernah terdengar kala rezim orde baru berkuasa dulu. Saat ini, sekat-sekat primordialisme sudah diberangus, ruang kebebasan semakin terbuka, demokrasi telah menjamin hak semua anak bangsa untuk mengekspresi nilai-nilai kebudayaannya dan tentu saja aura kebebasan ini menjadi anugerah bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya.
Dalam masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek ini merupakan salah satu perayaan yang disebut sebagai pesta rakyat. Selain Tahun Baru Imlek, ada hari raya Yuanxiao Jie (Cap Go Meh), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas) dan Tongzhi Jie (Pesta Ronde). Dari semua hari-hari sakral tersebut, Imlek menjadi hari raya tradisional yang paling utama bagi masyarakat Tionghoa. Perayaan ini berlangsung selama lima belas hari (mulai dari hari pertama bulan Imlek sampai dengan festival lampion Cap Go Meh). Selama itulah rumah-rumah dihiasi dengan berbagai pernak pernik, saling mengucapkan selamat satu sama lainnya karena sudah melewati tahun sebelumnya (guònián) dengan selamat dan siap menyambut tahun yang baru (bàinián).
Di Kalbar, euforia Imlek seperti menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini. Pesta kembang api sambut menyambut menghiasi langit malam Kota Pontianak, atraksi Barongsai menjadi tontonan menarik di kalangan anak-anak sampai orang tua. Perayaan Cap Go Meh yang menjadi rangkaian penutup dari Hari Raya Imlek di meriahkan dengan Perarakan Barongsai Naga dan atraksi Tatung yang memukau, setiap penjuru kota berona merah dengan pernak pernik khas Tionghoa. Ribuan mata memandang, terkesima oleh kemilau ekspresi budaya yang begitu mempersona. Atraksi Tatung yang menggemparkan, perarakan Barongsai Naga yang penuh atraktif menyiratkan simbol dan makna kebudayaan tertinggi dari masyarakat Tionghoa ini.
Ternyata Kalbar menyimpan pesona budaya yang sangat tinggi. Budaya Tionghoa, Dayak, Melayu, Madura, Jawa, Bugis, Batak dan lain sebagainya adalah satu kesatuan dalam keberagaman entitas budaya yang menjadi kekayaan bumi Khatulistiwa ini. Kalbar bukan milik sekelompok saja, melainkan milik semua anak bangsa. Sehingga dengan masyarakat yang multikultural ini, perbedaan bukanlah penghalang melainkan menjadi perekat yang harus dihargai dan dihormati dalam upaya mengelola kehidupan perdamaian di tanah borneo ini.(*FL)
Imlek bukan hanya di rayakan di negara-negara Asia Timur seperti Tiongkok, Jepang, Korea dan Vietnam saja, tapi juga semarak Imlek juga terjadi di berbagai negara lain yang terdapat kawasan Pecinan (kawasan bermukimnya etnis Tionghoa). Di Korea saja, Imlek sudah menjadi sesuatu yang sakral dan sebagai salah satu hari libur resmi nasional sejak 1985 silam. Di Indonesia, perayaan Imlek secara terbuka baru diperbolehkan saat pemimpin negara ini dipegang oleh Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur) pada tahun 2000 lalu melalui Keppres No.6/2000. Bahkan juga, pada masa kepemimpinan Presiden Megawati Soekarno Putri tahun 2002 lalu, Tahun Baru Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Dengan dikeluarkannya Keppres tersebut, masyarakat Tionghoa baru bisa menhirup udara segar. Pemerintahan Gus dur dan Megawati memberi jaminan kebebasan bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya secara terbuka setelah didiskriminasi selama 30 tahun oleh rezim Soeharto berkuasa.
Memang sudah saatnyalah sikap diskriminatif antar ras sudah harus ditinggalkan. Sebagai bangsa yang majemuk, tentulah Indonesia harus memupuk tali persaudaraan sejati yang harus diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Karena keberagaman bukanlah ancaman, melainkan sebuah kekayaan paling berharga yang harus dijaga dan dipelihara secara terus menerus. Pernyataan Presiden ini niscaya semakin menyejukkan hati masyarakat Tionghoa, yang juga sebagai bagian dari keutuhan bangsa ini. Betapa tidak, bagi masyarakat Tionghoa, tidak ada sesuatu yang lebih dari sekedar apresiasi kebudayaan yang menjadi identitas mereka. Karena apresiasi seperti itu tak pernah terdengar kala rezim orde baru berkuasa dulu. Saat ini, sekat-sekat primordialisme sudah diberangus, ruang kebebasan semakin terbuka, demokrasi telah menjamin hak semua anak bangsa untuk mengekspresi nilai-nilai kebudayaannya dan tentu saja aura kebebasan ini menjadi anugerah bagi masyarakat Tionghoa untuk mengekspresikan kebudayaan leluhurnya.
Dalam masyarakat Tionghoa, perayaan Imlek ini merupakan salah satu perayaan yang disebut sebagai pesta rakyat. Selain Tahun Baru Imlek, ada hari raya Yuanxiao Jie (Cap Go Meh), Qingming Jie (Mendoakan Arwah), Duanwu Jie (Bacang), Zhongqiu Jie (Pesta Musim Panas) dan Tongzhi Jie (Pesta Ronde). Dari semua hari-hari sakral tersebut, Imlek menjadi hari raya tradisional yang paling utama bagi masyarakat Tionghoa. Perayaan ini berlangsung selama lima belas hari (mulai dari hari pertama bulan Imlek sampai dengan festival lampion Cap Go Meh). Selama itulah rumah-rumah dihiasi dengan berbagai pernak pernik, saling mengucapkan selamat satu sama lainnya karena sudah melewati tahun sebelumnya (guònián) dengan selamat dan siap menyambut tahun yang baru (bàinián).
Di Kalbar, euforia Imlek seperti menemukan momentumnya beberapa tahun belakangan ini. Pesta kembang api sambut menyambut menghiasi langit malam Kota Pontianak, atraksi Barongsai menjadi tontonan menarik di kalangan anak-anak sampai orang tua. Perayaan Cap Go Meh yang menjadi rangkaian penutup dari Hari Raya Imlek di meriahkan dengan Perarakan Barongsai Naga dan atraksi Tatung yang memukau, setiap penjuru kota berona merah dengan pernak pernik khas Tionghoa. Ribuan mata memandang, terkesima oleh kemilau ekspresi budaya yang begitu mempersona. Atraksi Tatung yang menggemparkan, perarakan Barongsai Naga yang penuh atraktif menyiratkan simbol dan makna kebudayaan tertinggi dari masyarakat Tionghoa ini.
Ternyata Kalbar menyimpan pesona budaya yang sangat tinggi. Budaya Tionghoa, Dayak, Melayu, Madura, Jawa, Bugis, Batak dan lain sebagainya adalah satu kesatuan dalam keberagaman entitas budaya yang menjadi kekayaan bumi Khatulistiwa ini. Kalbar bukan milik sekelompok saja, melainkan milik semua anak bangsa. Sehingga dengan masyarakat yang multikultural ini, perbedaan bukanlah penghalang melainkan menjadi perekat yang harus dihargai dan dihormati dalam upaya mengelola kehidupan perdamaian di tanah borneo ini.(*FL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar