Senin, 08 November 2010

SISTEM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM MENURUT DAYAK JALAI

Tanah, sungai dan hutan adalah 3 elemen terpenting yang memungkinkan sesorang hidup sebagai manusia Dayak sejati. Sudah berabad–abad lamanya, ke-3 elemen ini telah membentuk identitas sebagai orang Dayak, karenanya, segala aktivitas yang berkaitan dengan alam tercermin dalam pola hidup baik dalam aspek ekonomi, sosial dan budaya. Identitas Dayak sangat bergantung pada alam, sehingga mereka memiliki kearifan bagaimana mengelola sumber daya alam secara lestari dan berkelanjutan. Orang Dayak pada umumnya memiliki sistem pengelolaan sumber daya alam yang khas dengan memadukan aspek kemandirian, keberlanjutan, dan kebermanfaatan secara integratif. Sistem ini ditopang oleh pandangan mereka tentang dunia (worldviews) yang melihat seluruh alam berserta isinya sebagai satu kesatuan yang saling mendukung dan bukan menghancurkan. Ke-3 aspek ini dijadikan fondasi dalam melahirkan prinsip-prinsip dasar pengelolaan wilayah adat yang tercermin dalam 7 prinsip pengelolaan sumber daya alam, yaitu: Kesinambungan, Kolektivitas, Alamiah, Spiritualitas, Proses, Subsistensi, dan Hukum adat (John Bamba, 2003: 203-208). Selain ke-7 prinsip tersebut, sesungguhnya masih banyak prinsip-prinsip lain yang juga tidak kalah pentingnya. Misalnya, seperti prinsip keanekaragaman, organik, ritualitas, kemandirian, dan kebermanfaatn. Prinsip-prinsip ini dapat ditemui dalam sistem pengelolaan sumber daya alam pada orang Dayak termasuk dalam hal ini Dayak Jalai. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan dikemukan bahwa dalam proses pengelolaan sumber daya alam, harus diperhatikan 3 syarat utama, yaitu; secara ekonomis menguntungkan, secara ekologis lestari dan secara budaya tidak merusak. Konsep itu sesungguhnya sudah dilakukan oleh orang Jalai selama berabad-abad. Secara konsepsional mereka sudah menerapkan sistem pengelolaan secara terpadu (Indigenous Integrated Natural Resources System Management). Sistem ini merupakan pola ekstraktif utama dalam menopang keberlangsungan hidup dan eksistensi mereka yang terefleksi pada pola penggunaan kawasan hutan di wilayah adat mereka berdasarkan peruntukannya (land-use). Ada 12 klasifikasi utama pengelolaan sumber daya alam berdasarkan peruntukannya menurut Dayak Jalai, yaitu:

1. Hutan Rimba Matuq (kawasan cadangan dan konservasi)
Hutan ini juga disebut sebagai Hutan Rimba Belantara. Hutan ini merupakan jenis hutan yang keberadaannya belum pernah dikelola oleh manusia dan masih sangat luas. Di dalam hutan ini terdapat aneka ragam mahkluk hidup maupun mati yang bebas hidup dan berkembang didalamnya. Hutan ini merupakan kawasan konservasi, hutan cadangan, kawasan untuk berburu, dan kawasan untuk mencari bahan bangunan. Istilah lain untuk menyebut hutan ini rimba ruyun rimba matuq karena keberadaan dan luasan arealnya yang masih sangat luas.

2. Hutan Jumpung/Papulau (Pulau Hutan)
Hutan ini juga disebut sebagai pulau rimba. Hutan Jumpung ini merupakan jenis hutan rimba yang dengan sengaja di konservasi menjadi pulau hutan. Posisi dan letak hutan ini biasanya sudah dikelilingi dengan lakau mudaq (bekas ladang). Bagi orang Jalai, alasan mengkonservasi hutan ini, biasanya karena untuk untuk kawasan cadangan peladangan dan sumber daya didalamnya seperti kayu-kayu untuk keperluan bahan bangunan rumah yang sengaja disisakan untuk generasi selanjutnya, atau pula karena hutan ini dianggap angker dan pamaliq untuk dikelola oleh manusia. Menyebut tempat dimana hutan papulau ini, biasanya menambahkan nama hutan ini dengan berdasarkan kekhasannya. Biasanya, hutan yang dikonservasi ini berada di mungguk (di atas dataran tanah yang berbukitan).

3. Hutan Pesapingan (Hutan Pembatas)
Hutan ini juga disebut sebagai hutan pembatas. Biasanya, di hutan ini terdapat kayu berdiameter besar berdiri tegak menjulang diantara kayu-kayu lain yang berukuran masih kecil. Dan bisa juga hanya kayu-kayu berukuran kecil yang hidup bersamaan dengan tumbuhan lain, karena yang terpenting dari upaya konservasi hutan ini bisa menjadi tanda yang menegaskan batasan lokasi pertanian masyarakatnya. Hutan jenis ini merupakan jenis hutan yang secara sengaja dibuat untuk disisakan atau di cadangkan sebagai tanda atau patokan batas antara ladang dengan ladang milik orang lain. Lokasi hutan pesapingan ini luasnya sangat kecil karena hanya berfungsi sebagai pembatas saja.

4. Lakau Humaq (lokasi pertanian yang sedang digarap)
Lakau Humaq adalah tanah pertanian yang sedang dipakai. Terdapat beraneka jenis tanaman utama padi. Selain itu juga, terdapat aneka jenis tanaman pangan lainnya seperti; jagung, jawaq, ubi pohon, ubi jalar, dan berbagai jenis tanaman lainnya. Tunas-tunas kayu hutan juga banyak yang dapat dimanfaatkan untuk sayur seperti; Rebung, daun (pucuk) jengkol, pucuk leban, jelayan, dan sebagainya. Lakau juga biasanya ditanami dengan pohon karet, buah-buahan yang kelak akan menjadi kebun. Lakau menurut Dayak Jalai, bukan saja sebagai sumber pemenuhan kebutuhan subsisten, tetapi juga sebagai sumber ekspresi kehidupan sosial budaya mereka. Dalam menentukan areal perladangan, Dayak Jalai berpegang teguh pada tradisi-pengetahuan lokal tentang kriteria tata kelola lahan yang baik. Ada aturan yang dibuat dalam menentukan lokasi perladangan, tidak serta merta ditentukan begitu saja tanpa pertimbangan khusus. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut meliputi:
a. Hutan yang akan dijadikan lokasi perladangan adalah hutan yang merupakan bukan kawasan hutan pamaliq (keramat), pekampongan buah (kampong kayuan), kebun karet, dan lakau mudaq milik orang lain.
b. Hutan yang akan dijadikan lokasi perladangan adalah hutan rimba baik rimba matuq yang masih ada maupun rimba yang dikonservasi menjadi jumpong atau pepulau rimba yang sengaja dijadikan hutan cadangan untuk perladangan.
c. Hutan yang akan dijadikan lokasi perladangan adalah hutan panggarak yang hampir berevolusi menjadi hutan rimba yang tidak ditanam dengan beraneka jenis tanaman keras (produktif) seperti buah-buahan dan karet. Hutan ini memang secara sengaja diinvestasikan untuk cadangan areal perladangan.
d. Hutan yang akan dijadikan lokasi perladangan juga adalah hutan lakau mudaq (bawas) yang tidak ditanami dengan beraneka jenis tanaman keras (produktif) seperti buah-buahan, dan karet. Hutan ini memang secara sengaja di investasikan untuk cadangan areal perladangan. Biasanya, jika berladang di lokasi hutan ini yang baru berusia 3 sampai 5 tahun disebut menikas (meladangi lakau mudaq), dan selebih dari tahun tersebut sudah dilaksanakan dengan prosesi ritual adat berladang seperti biasanya.

5. Hutan Lakau Mudaq (bekas lahan pertanian)
Hutan ini juga disebut hutan bawas. Hutan jenis ini merupakan lokasi perladangan daur ulang yang sedang diistirahatkan. Pemerintah Indonesia, kalangan akademisi dan masyarakat non Dayak menyebutnya sebagai ladang berpindah, suatu terminologi etnosentrik yang melecehkan dan melukai orang Dayak. Hutan ini jika diklasifikasi terbagi menjadi tiga tahapan, yaitu:
a. Lakau mudaq berahuk; Hutan jenis ini biasanya berusia 1 sampai 3 tahun. Ciri-cirinya, tumbuhan yang hidup di hutan ini masih sangat kecil, masih terdapat jenis tanaman yang ditanam pada saat pertama kali membuka ladang, seperti tebu, jahe, ubi. Jika hutan ini dibuka untuk lokasi perladangan, maka disebut Menikas.
b. Lakau Mudaq Mamat; Hutan jenis ini usianya sekitar 3 sampai dengan 5 tahun. Ciri-cirinya, tumbuhan yang terdapat dalam hutan ini masih sangat muda dan mulai besar, tetapi di dalam hutan ini masih bersemak (mamat).
c. Lakau Mudaq Garas; hutan jenis ini usiannya sekitar 5 sampai dengan 20 tahun. Ciri-cirinya, hutan jenis ini, tumbuhan yang hidup didalamnya sudah besar dan didalamnya sudah garas (lapang) atau tidak semak lagi.

6. Hutan Panggarak (Hutan Semi Rimba)
Hutan ini sudah pernah dikelola menjadi ladang, dan tidak ditanami dengan tanaman produktif. Hutan ini biasanya dibiarkan tidak dikelola karena akan dijadikan sebagai lahan cadangan. Biasanya, jika usianya sudah mencapai 20 sampai 30 tahun, hutan jenis ini akan berevolusi menjadi hutan semi rimba dan perkembangannya mengarah kembali menjadi Rimba Matuq. Hutan ini diibaratkan; lakau mudaq sudah lepas, rimba belum sampai. Bagi orang Jalai, dalam menentukan hutan jenis ini didasarkan pada kondisi dimana tingkat kesuburan tanah yang tinggi. Indikasi menunjukkan tingkat kesuburan tanah ini biasanya diketahui pada saat sewaktu diolah menjadi ladang lokasi tersebut menghasilkan panen padi yang melimpah, dan selain faktor tersebut juga karena aksesnya bisa dijangkau atau tidak jauh dari kampung (pemukiman).

7. Hutan Kabun Presasak (Kebun – Tanam)
Hutan ini merupakan konsep baru yang dikembangkan ketika masuknya kolonial Belanda bersamaan dengan penyebaran agama Kristen oleh misionaris di bumi Kalimantan. Pengembangan tanaman kebun (karet alam) ini tidak bisa dipastikan kapan dan siapa yang merintisnya di daerah Dayak Jalai, namun sejak saat itulah, masyarakat adat Dayak Jalai mulai mengembangkan tanaman komoditi hingga saat ini. Tanaman karet ini dikelola oleh masyarakat sebagai tanaman komoditi yang bisa menghasilkan uang sebagai pengganti alat barter untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan hidup sehari-hari. Tanaman ini ditanam di ladang setelah semua jenis tanaman utama di ladang selesai dikerjakan. Selanjutnya setelah musim panen usai, selanjutnya tinggal proses pemeliharaan tanaman kebun ini. Konsep hutan kebun ini adalah multikultur. Tanaman karet hidup secara bersamaan dengan aneka jenis tanaman lainya, baik yang ditanami manusia seperti kopi, aneka jenis tanaman buah-buahan maupun tanaman hutan yang tumbuh alami. Untuk tanaman karet alam ini, sekarang menjadi tanaman komoditi tulang punggung perekonomian orang Jalai.

8. Hutan Pekampongan (Kampong – Kayuan)
Hutan ini juga disebut sebagai hutan buah. Pekampungan adalah bagian dari lahan yang ditanami dengan berbagai jenis tanam tumbuh (aneka macam tanaman buah-buahan). Dalam tradisi Dayak Jalai, ketika mereka meladangi tempat tertentu, maka mereka akan membangun pondok di sana yang sifatnya sementara. Dan di sekitar pondok ladang itulah biasanya mereka menanam berbagai jenis pohon buah-buahan, baik yang berumur pendek maupun berumur panjang. Hutan buah ini tidak hanya ditumbuhi buah-buahan saja, melainkan juga hidup dan berkembang bersamaan dengan aneka jenis tanaman hutan lainnya.

9. Dahas
Kawasan Dahas ini merupakan lahan yang digunakan untuk kawasan pemukiman. Selain rumah, di kawasan ini juga terdapat jurung (lumbung padi). Lumbung padi ini biasanya terletak terpisah dari rumah. Di bagian lahan ini juga terdapat kandang-kandang binatang peliharaan seperti babi dan ayam. Kandang-kandang ini, pada masa lalu terletak di bawah rumah panjang, tetapi sekarang letaknya di belakang rumah, terpisah antara 10-20 meter dari rumah pemukiman. Di kawasan pemukiman ini juga, biasanya terdapat mesin penggiling padi, genset, mesin penggiling karet, yang lokasinya terpisah dari rumah tempat tinggal. Dalam kawasan dahas ini juga, terdapat hutan pekampongan, kebun presasak, dan hutan-hutan lainya. Dan dahas ini menjadi pusat kelola kawasan hutan yang menjadi sumber kehidupan ekonomi, sosial dan budaya mereka.

10. Hutan Pamaliq
Hutan ini juga disebut sebagai hutan keramat. Kawasan hutan ini merupakan lahan-lahan yang di atasnya berisi keramat. Bentuk-bentuk nyata dari Keramat dapat bermacam-macam, seperti kawasan hutan, batu, kayu, teluk sungai, dan sebagainya. Kawasan keramat dianggap suci dan tidak boleh diladangi atau dirusak. Penentuan kawasan hutan Pamaliq ini biasanya didasarkan pada keyakinan orang Jalai terhadap penguasa semesta yang diperoleh melalui mimpi, petunjuk-petunjuk alam yang dilaksanakan pada saat bersamaan menentukan lokasi perladangan. Di hutan Pamaliq ini biasanya jenis tanam tumbuh hidup secara bebas dan tumbuh besar layaknya hutan rimba. Kawasan hutan ini dilestarikan karena disepakati dan dijadikan pusat doa dan persembahan sehingga keberadaannya dilarang untuk dirusak, ditebas, tebang dan apalagi sampai dijadikan lokasi perladangan. Karena jika digarap maka akan dapat mendatangkan malapetaka bagi individu-individu maupun seluruh warga yang mengabaikannya.

11. Hutan Itung Arai (Hutan Sumber Air)
Hutan ini merupakan kawasan yang menyimpan sumber mata air yang melimpah. Dalam menentukan lokasi perladangan, kawasan Itung Arai ini menjadi prasyarat utama karena dianggap pemaliq/tidak boleh. Karenanya, hutan di kawasan Itung Arai ini tidak boleh dijadikan lokasi perladangan, sebab menurut kepercayaan orang Jalai, jika diladangi akan menggangu penghuni alam semesta dan akan mengganggu keseimbangan alam serta jika digarap pun akan tidak memperoleh hasil panen yang baik. Seperti pada masyarakat lainnya, suku Dayak Jalai menggunakan air/sungai untuk pemenuhan sumber air bersih; minum, mandi dan mencuci, serta tempat mencari ikan.

12. Hutan Pandam Pasaran
Hutan ini merupakan kawasan hutan perkuburan. Sudah menjadi tradisi bahwa disetiap pemukiman masyarakat, sudah bisa dipastikan akan terdapat kawasan perkuburan. Begitu pula dalam kehidupan dan budaya Dayak Jalai. Lokasi hutan perkuburan ini biasanya tidak jauh dengan pusat pemukiman kampung, keberadaannya dilestarikan dan tidak boleh diubah menjadi kawasan lain. Tanah perkuburan sangat dijaga dan dihormati.(FRANS LAKON)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar