Dalam setiap aktivitas yang berhubungan dengan pengelolaan sumber daya alam, masyarakat Dayak Simpakng selalu memegang teguh prinsip pengelolaan secara lestari dan berkelanjutan. Namun prinsip itu bukanlah sebuah keniscayaan, karena keterancaman itu akan selalu menggelinding dalam setiap nafas kehidupan mereka. Mulai pada tahun 1972, masyarakat Dayak Simpakng dikejutkan dengan hadirnya PT. Alcomin Indonesia, sebuah perusahaan pertambangan bouksit dimana modalnya patungan antara USA dan Indonesia. Perusahaan ini melakukan survei untuk mengetahui cadangan bouksit di daerah Simpakng. Ribuan lubang di gali di tanah-tanah milik masyarakat, namun sampai sekarang belum ada kelanjutannya dari kegiatan survei tersebut. Pada tahun selanjutnya menjadi masa-masa kejayaan HPH. Tahun 1975, perusahaan HPH PT. Daya Besar masuk di Kuala Lelayang menggarap hutan di kaki Bukit Serangkakng, sebuah lokasi yang juga tidak jauh dari Bukit Bindang. Kegiatan HPH PT Daya Besar ini berakhir sampai tahun 1990, dan kawasan eks HPH PT Daya Besar itu kemudian diserah-terimakan kepada pihak PT. Inhutani. Tahun 1979, masuk PT Hutan Raya Utama, yang disusul kemudian PT Dayak Besar, PT. Trika Sari, PT. Inyutas, PT. Erna Djuliawati, dan PT. Melan melakukan eksploitasi hutan Banua Simpakng.
Pada tahun 1987, sebah Tim Survey dari CV Trykon and Co yang berpusat di Pontianak memplot 60.000 hektar lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kecamatan Simpang Hulu. Para suveyor itu, tidak memberitahukan kehadiran mereka baik kepada masyarakat mau pun kepada aparat pemerintah setempat (Camat dan Kepala Desa). Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melaporkan hal tersebut kepada Keluarga Besar Dayak Simpang ¬(KBMDS) di Pon¬tianak. Para mahasiswa ini kemudian mencari informasi kepada pihak-pihak yang berkompeten, ternyata di daerah itu akan dibangun perkebunan kelapa sawit. Pengalaman masyarakat di daerah Ngabang (Kab Pontianak) dan Meliau (Kab Sanggau), perkebunan kelapa sawit ini mendu¬duki tanah-tanah masyarakat. Maka para mahasiswa mengadakan aksi dengan cara memberi-kan penerangan di kampung-kampung yang materinya berisi pengalaman masyarakat di daerah Ngabang dan Meliau tentang perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan penerangan itu, masyarakat menerima kehadai¬ran proyek itu dengan syarat-syarat: Pertama; Tanah-tanah milik masyarakat seperti kampokng loboh laman dangeri, kampokng tamawakng, bawas balukar (jamih), kampokng pasar, kampokng gotah (kebon janah-kebun karet), dan rima tempat pengambilan bahana bangunan supaya di-enclave. Kedua; Masyarakat rela menyerahkan tanah-tanah itu kepada pihak investor, tetapi tanah-tanah itu harus dicatat sebagai 50 % saham. Berati masyarakat memegang 50% saham dan mereka harus diterima sebagai pekerja. Ketiga; Masyarakat rela menyerahkan tanah mereka, mereka minta kontrak tertulis, bahwa setiap anak dari suku Dayak Simpang yang lahir mendapat biaya pendidi¬kan sampai tingkat tertinggi. Kalau dia tidak bermi¬nat sekolah, biaya sebesar itu tetap harus dibayar.
Kemudian pada Maret 1997, sebuah perusahaan HPH yaitu PT. Wahana Stagen Lestari (WSL) masuk beroperasi di sekitar kawasan Bukit Bindang. Sampai pada tahun tahun 2009, masuk perusahaan pertambangan bouksit, PT Harita di Kuala Labai. Masyarakat di “paksa” menyerahkan dengan iming-iming ganti rugi yang menggiurkan, menjual tanah beserta kebun yang sudah dimiliki secara pribadi, padahal iming-iming itu sesungguhnya tidak sesuai dengan hasil keuntungan yang perusahaan dapatkan. Sekarang, sebagian dari wilayah Banua Simpakng di Kuala Labai sudah dieksploitasi, kekayaan alam; hutan, tanah, sungai/air menjadi kritis, semuanya tersingkir bahkan sampai isi dalam tanah pun dibabat habis tanpa tersisa. Dalam masa waktu yang hampir bersamaan, kemudian perusahaan perkebunan masuk di daerah Bantel dengan entengnya meratakan kekayaan hutan dan menggantikannya dengan tanaman monocultur sawit.
Kemudian pada awal tahun 2010, aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) masuk di hulu Sungai Kualatn, yaitu di daerah Kampung Loko, Desa Kualan Tengah, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Balai Berkuak. Akibat aktivitas ini, cairan merkuri diduga telah mencemari sungai. Cukong-cukong berdatangan dari daerah luar, membuat aktivitas PETI semakin marak dan tidak terkendali. Masyarakat Simpakng sudah beberapa kali berusaha menghentikan aktivitas perusakan lingkungan ini, mulai dari pemerintah kecamatan, pihak kepolisian, namun tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Sementara akibat dari aktivitas PETI yang tidak terkendali ini, Sungai Kualatn menjadi keruh dan terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya. Padahal sungai ini merupakan sumber konsumsi masyarakat terutama yang berdomisili di sepanjang Sungai Kualatn, menyediakan sumber air bersih dan menyimpan kekayaan biota air yang melimpah. Dengan kondisi yang sudah tercemar, maka air dan sumber-sumber dari sungai ini apabila dikonsumsi, maka akan sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat, dan membunuh manusia secara tidak langsung. Akibat ulah segelintir orang yang serakah, berdampak pada keberlangsungan hidup orang banyak. Wajar saja jika kemarahan masyarakat Simpakng seperti menunggu bom waktu. Ketika jalan musyawarah tidak lagi menjamin penyelesaian masalah, maka jangan salahkan masyarakat mengambil sikap sendiri untuk menyelesaikan permasalahan itu, jangan salahkan mereka bertindak anarkhis kalau pemerintah dan aparat penegak hukum seakan-akan menutup mata terhadap persoalan yang mereka hadapi.
Pesan singkat melalui telepon seluler, beredar di sebagian warga Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu. Isinya mengajak masyarakat berkumpul, Minggu (31/10), untuk melakukan demonstrasi terhadap PETI. Di antara isi pesan singkat itu, ajakan mendemo oknum yang diduga cukong PETI, toko yang menyuplai peralatan, dan SPBU yang diduga penyuplai bahan bakar. Namun demonstrasi tersebut tidak terjadi. Seperti dituturkan Nopen, salah satu tokoh pemuda Simpang Hulu, sebanyak 20 perwakilan masyarakat sepanjang aliran Sungai Kualatn bagian hilir yang terdiri dari beberapa kampung, yaitu; Balai Berkuak, Pendaun, Belantek, Petebang, Meraban, dan Sekucing menemui AKP Hendrayuti, Kapolsek Kecamatan Simpang Hulu dan AKP Catur P. S.Ik, Kasat Intelkam Polres Ketapang. Pertemuan di Kantor Kapolsek Balai Berkuak berlangsung selama 3 jam. Para perwakilan masyarakat korban limbah PETI membuat pernyataan sikap bersama menolak dan mendesak pihak berwajib dan instansi terkait untuk segera melakukan penertiban kegiatan PETI di Loko mulai sejak Senin, 1 November 2010. Jika kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti, salah satu poin kesepakatan itu berbunyi; masyarakat akan memberi tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Atas dasar pernyataan sikap bersama masyarakat Kualatn Hilir, Kapolsek Simpang Hulu menghimbau untuk kedua kalinya kepada masyarakat pekerja PETI untuk segera menghentikan aktivitas eksploitasi penambangan emas di Loko karena melanggar Undang-Undang dan dapat diancam dengan hukuman pidana. Apabila para pekerja masih melakukan pekerjaan PRTI di sekitar Kualan Tengah, maka pihak berwenang akan mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan UU yang berlaku. Demikian bunyi himbauan Kapolsek Simpang Hulu nomor: 47/XI/2010.
Penolakan masyarakat Dayak Simpakng terhadap bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif melalui kehadiran perusahaan HPH, pertambangan dan PETI ini karena akan melahirkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik (alam) yang selama ini menjadi jantung kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat Dayak Simpakng. Secara ekonomis, rakyat setempat kehilangan akses mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, karena kehadiran perusahaan-perusahaan itu telah mempersempit areal hutan perburuan dan mengusir istana flora dan fauna. Selain itu juga secara sosio-kultural kehadiran perusahaan-perusahaan dan aktivitas penghancuran lingkungan itu telah mengubah cara berpikir dan bertindak generasi muda. Pergaulan yang longgar, tata nilai yang bergeser, budaya-budaya baru mulai merambah kehidupan komunitas setempat. Akankah Banua Simpakng sebagai “benteng terakhir” juga akan sirna? *FRANS LAKON
Pada tahun 1987, sebah Tim Survey dari CV Trykon and Co yang berpusat di Pontianak memplot 60.000 hektar lahan pertanian dan perkebunan masyarakat di Kecamatan Simpang Hulu. Para suveyor itu, tidak memberitahukan kehadiran mereka baik kepada masyarakat mau pun kepada aparat pemerintah setempat (Camat dan Kepala Desa). Tokoh-tokoh masyarakat kemudian melaporkan hal tersebut kepada Keluarga Besar Dayak Simpang ¬(KBMDS) di Pon¬tianak. Para mahasiswa ini kemudian mencari informasi kepada pihak-pihak yang berkompeten, ternyata di daerah itu akan dibangun perkebunan kelapa sawit. Pengalaman masyarakat di daerah Ngabang (Kab Pontianak) dan Meliau (Kab Sanggau), perkebunan kelapa sawit ini mendu¬duki tanah-tanah masyarakat. Maka para mahasiswa mengadakan aksi dengan cara memberi-kan penerangan di kampung-kampung yang materinya berisi pengalaman masyarakat di daerah Ngabang dan Meliau tentang perkebunan kelapa sawit. Berdasarkan penerangan itu, masyarakat menerima kehadai¬ran proyek itu dengan syarat-syarat: Pertama; Tanah-tanah milik masyarakat seperti kampokng loboh laman dangeri, kampokng tamawakng, bawas balukar (jamih), kampokng pasar, kampokng gotah (kebon janah-kebun karet), dan rima tempat pengambilan bahana bangunan supaya di-enclave. Kedua; Masyarakat rela menyerahkan tanah-tanah itu kepada pihak investor, tetapi tanah-tanah itu harus dicatat sebagai 50 % saham. Berati masyarakat memegang 50% saham dan mereka harus diterima sebagai pekerja. Ketiga; Masyarakat rela menyerahkan tanah mereka, mereka minta kontrak tertulis, bahwa setiap anak dari suku Dayak Simpang yang lahir mendapat biaya pendidi¬kan sampai tingkat tertinggi. Kalau dia tidak bermi¬nat sekolah, biaya sebesar itu tetap harus dibayar.
Kemudian pada Maret 1997, sebuah perusahaan HPH yaitu PT. Wahana Stagen Lestari (WSL) masuk beroperasi di sekitar kawasan Bukit Bindang. Sampai pada tahun tahun 2009, masuk perusahaan pertambangan bouksit, PT Harita di Kuala Labai. Masyarakat di “paksa” menyerahkan dengan iming-iming ganti rugi yang menggiurkan, menjual tanah beserta kebun yang sudah dimiliki secara pribadi, padahal iming-iming itu sesungguhnya tidak sesuai dengan hasil keuntungan yang perusahaan dapatkan. Sekarang, sebagian dari wilayah Banua Simpakng di Kuala Labai sudah dieksploitasi, kekayaan alam; hutan, tanah, sungai/air menjadi kritis, semuanya tersingkir bahkan sampai isi dalam tanah pun dibabat habis tanpa tersisa. Dalam masa waktu yang hampir bersamaan, kemudian perusahaan perkebunan masuk di daerah Bantel dengan entengnya meratakan kekayaan hutan dan menggantikannya dengan tanaman monocultur sawit.
Kemudian pada awal tahun 2010, aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) masuk di hulu Sungai Kualatn, yaitu di daerah Kampung Loko, Desa Kualan Tengah, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Balai Berkuak. Akibat aktivitas ini, cairan merkuri diduga telah mencemari sungai. Cukong-cukong berdatangan dari daerah luar, membuat aktivitas PETI semakin marak dan tidak terkendali. Masyarakat Simpakng sudah beberapa kali berusaha menghentikan aktivitas perusakan lingkungan ini, mulai dari pemerintah kecamatan, pihak kepolisian, namun tidak pernah ditindaklanjuti secara serius. Sementara akibat dari aktivitas PETI yang tidak terkendali ini, Sungai Kualatn menjadi keruh dan terkontaminasi zat-zat kimia berbahaya. Padahal sungai ini merupakan sumber konsumsi masyarakat terutama yang berdomisili di sepanjang Sungai Kualatn, menyediakan sumber air bersih dan menyimpan kekayaan biota air yang melimpah. Dengan kondisi yang sudah tercemar, maka air dan sumber-sumber dari sungai ini apabila dikonsumsi, maka akan sangat membahayakan bagi kesehatan masyarakat, dan membunuh manusia secara tidak langsung. Akibat ulah segelintir orang yang serakah, berdampak pada keberlangsungan hidup orang banyak. Wajar saja jika kemarahan masyarakat Simpakng seperti menunggu bom waktu. Ketika jalan musyawarah tidak lagi menjamin penyelesaian masalah, maka jangan salahkan masyarakat mengambil sikap sendiri untuk menyelesaikan permasalahan itu, jangan salahkan mereka bertindak anarkhis kalau pemerintah dan aparat penegak hukum seakan-akan menutup mata terhadap persoalan yang mereka hadapi.
Pesan singkat melalui telepon seluler, beredar di sebagian warga Balai Berkuak, Kecamatan Simpang Hulu. Isinya mengajak masyarakat berkumpul, Minggu (31/10), untuk melakukan demonstrasi terhadap PETI. Di antara isi pesan singkat itu, ajakan mendemo oknum yang diduga cukong PETI, toko yang menyuplai peralatan, dan SPBU yang diduga penyuplai bahan bakar. Namun demonstrasi tersebut tidak terjadi. Seperti dituturkan Nopen, salah satu tokoh pemuda Simpang Hulu, sebanyak 20 perwakilan masyarakat sepanjang aliran Sungai Kualatn bagian hilir yang terdiri dari beberapa kampung, yaitu; Balai Berkuak, Pendaun, Belantek, Petebang, Meraban, dan Sekucing menemui AKP Hendrayuti, Kapolsek Kecamatan Simpang Hulu dan AKP Catur P. S.Ik, Kasat Intelkam Polres Ketapang. Pertemuan di Kantor Kapolsek Balai Berkuak berlangsung selama 3 jam. Para perwakilan masyarakat korban limbah PETI membuat pernyataan sikap bersama menolak dan mendesak pihak berwajib dan instansi terkait untuk segera melakukan penertiban kegiatan PETI di Loko mulai sejak Senin, 1 November 2010. Jika kesepakatan itu tidak ditindaklanjuti, salah satu poin kesepakatan itu berbunyi; masyarakat akan memberi tindakan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Atas dasar pernyataan sikap bersama masyarakat Kualatn Hilir, Kapolsek Simpang Hulu menghimbau untuk kedua kalinya kepada masyarakat pekerja PETI untuk segera menghentikan aktivitas eksploitasi penambangan emas di Loko karena melanggar Undang-Undang dan dapat diancam dengan hukuman pidana. Apabila para pekerja masih melakukan pekerjaan PRTI di sekitar Kualan Tengah, maka pihak berwenang akan mengambil tindakan penegakan hukum sesuai dengan UU yang berlaku. Demikian bunyi himbauan Kapolsek Simpang Hulu nomor: 47/XI/2010.
Penolakan masyarakat Dayak Simpakng terhadap bentuk-bentuk pengelolaan sumber daya alam yang eksploitatif melalui kehadiran perusahaan HPH, pertambangan dan PETI ini karena akan melahirkan dampak negatif terhadap lingkungan fisik (alam) yang selama ini menjadi jantung kehidupan ekonomi, sosial, budaya, dan politik masyarakat Dayak Simpakng. Secara ekonomis, rakyat setempat kehilangan akses mereka dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, karena kehadiran perusahaan-perusahaan itu telah mempersempit areal hutan perburuan dan mengusir istana flora dan fauna. Selain itu juga secara sosio-kultural kehadiran perusahaan-perusahaan dan aktivitas penghancuran lingkungan itu telah mengubah cara berpikir dan bertindak generasi muda. Pergaulan yang longgar, tata nilai yang bergeser, budaya-budaya baru mulai merambah kehidupan komunitas setempat. Akankah Banua Simpakng sebagai “benteng terakhir” juga akan sirna? *FRANS LAKON
Tidak ada komentar:
Posting Komentar