“Terpaan Arus Teknologi Informasi, Komunikasi dan Transportasi di Banua Simpakng”
Masuknya teknologi informasi dan komunikasi berwujud media visual televisi dan audio visual radio turut berkontribusi menggiring masyarakat Dayak Simpakng menjajaki fase kehidupan transisi yang ditandai dengan terjadi pergeseran pola hidup dan kebudayaan masyarakat. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat mempengaruhi eksistensi warisan leluhur Dayak Simpakng. Media televisi sekarang ini telah menjelma menjadi media hiburan primadona bagi masyarakat Dayak Simpakng di malam hari. Perlu diketahui bahwa sebelum dibukannya akses transportasi darat pada tahun 1992 dulu, televisi masih dianggap sebagai sebuah barang mahal dan jumlah orang yang memilikinya pun masih sangat terbatas karena hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya atau dalam arti orang tersebut adalah orang mampu secara sosial ekonomi. Sekedar mengenang situasi masa itu, pada waktu malam hari, orang-orang berbondong-bondong pergi menonton televisi ke tempat orang yang mempunyai televisi. Mereka yang datang tidak hanya yang berasal dari dalam kampung itu sendiri, tetapi juga bahkan dari kampung-kampung lain, dan juga dari pondok (dangau - dukuh). Hanya karena ingin melihat layar televisi, mereka rela berjalan kaki meskipun jarak tempuhnya cukup jauh.
Sekarang, hampir sebagian besar masyarakat bahkan di kampung-kampung, sudah mempunyai televisi lengkap dengan parabola, sejumlah pilihan saluran siaran televisi yang sesuai selera setiap pemilik pesawat televisi bisa dengan mudah dinikmati, kondisi ini menunjukkan bahwa media televisi ini tidak lagi dianggap barang mahal dan terbatas. Mulai dari anak, pemuda/pemudi dan bahkan orangtua jika sudah menjelang malam, semua mata tertuju di depan layar televisi. Tidak ada lagi suasana seperti pada masa sebelum media ini merambah kehidupan masyarakatnya. Tidak ada lagi kesempatan seperti di rumah panjang yang menyediakan kesempatan dalam proses penularan pengetahuan dan tradisi. Dengan tersedianya hiburan ini, minat anak-anak untuk mendengar cerita-cerita, belajar menganyam, mendengar petuah-petuah dari orang tua semakin memudar.
Selain televisi, media elektronik radio juga turut berkontribusi menciptakan jarak antara kelompok potensial dengan para penuturnya. Anak-anak lebih mengenal tokoh-tokoh dalam cerita yang ditonton di televisi atau mendengar di radio dibandingkan tokoh-tokoh cerita rakyat yang mereka miliki. Mereka lebih akrab dengan Sinetron; cinta, kemewahan, kekerasan, Power Rangers, Ultra Man, Upin Ipin, Avatar, dan lain-lain dibandingkan dengan nama Koling Lamanau, Damamakng, Damia, dan lain-lain yang terdapat dalam cerita rakyat.
Kondisi ini tentu saja menjadi pertanda bahwa perkembangan transfer nilai dan tradisi mengalami kemunduran akibat ekselerasi perkembangan teknologi informasi, komunikasi. Jika realitas ini tidak diantisipasi sejak dini maka anak-anak sebagai generasi penerus akan tercerabut dari akar budaya mereka sendiri. Jadi jelas secara berangsur-angsur kehadiran teknologi dibidang informasi, terutama media visual seperti menjamurnya televisi dengan perangkat pembantunya parabola, membuat masyarakat pewaris pengetahuan dan tradisi leluhur terlena akibat gempuran hebat dari pengetahuan dan budaya luar melalui sajian media visual televisi dan audio visual radio. Sehingga tidak heran kalau dalam setiap aktivitas dan peradaban masyarakat Dayak Simpang, baik keluar maupun kedalamnya, dipengaruhi atau mengikuti arus dan pola yang pernah mereka lihat dan nikmati dari tayangan televisi.
Dunia seolah-olah dibuat menjadi begitu dekat, menembuas batas-batas fisik, penyamaan selera, dan memecah dinding-dinding ruang dan waktu dengan sajian pengetahuan dan budaya luar yang dominan dengan bungkusannya yang begitu indah, mewah dan dianggap lebih modern. Misalnya, iklan televisi yang terus menggempur perhatian dan pikiran sehingga membuat orang dengan mudah untuk tertarik mengkonsumsi produk-produk tersebut dengan iming-iming gaya hidup (style life). Pola pemikiran seperti ini membuat masyarakat tidak akan pernah meninjau kembali peradaban pada zaman sebelumnya. Bagi yang tidak ikut perkembangan dikatakan ketinggalan zaman. Jadi dengan kehadiran teknologi informasi ini mengubah pola pikir masyarakat menjadi "modern oriented".
Sebelum dibukanya akses transportasi di Banua Simpakng, untuk bepergian ke daerah lain itu tidak gampang, baik antar kampung, antar dusun, antar desa, antar kecamatan, dan apalagi keluar lebih jauh dari itu, seperti antar kabupaten dan kota propinsi. Jika mau bepergian, harus sudah memperhitungkan kekuatan fisik untuk berjalan kaki, melewati jalan setapak, menyusuri lebatnya hutan. Satu-satunya akses transportasi yang bisa dilalui dengan agak lebih mudah adalah melalui jalur air (sungai) dengan menggunakan motor klotok, long boat, dan perahu, dan itupun tidak secepat yang dibayangkan. Sebelum mengenal mesin diesel, johnson, mereka harus menggunakan galah ketika melintasi sungai kecil yang sempit, dan menggunakan dayung setelah berada di sungai yang besar dan dalam. Perjalanan itu harus ditempuh dengan biaya dan waktu selama 3 – 5 malam untuk bisa sampai ke kota kabupaten dan kota propinsi. Pada masa sebelum dibukannya akses transportasi darat, ketika anak-anak Dayak Simpakng hendak melanjutkan sekolah ke kota Kabupaten dan kota propinsi, maka selama 1 tahun atau bahkan sampai tamat sekolah baru bisa pulang kampung, mengingat jarak dan biaya yang diperlukan sangat mahal pada waktu itu.
Kenyataan ini menjadi lain setelah dibukanya jalan ruas Trans Kalimantan 18 tahun lalu. Akses transportasi jalur darat pun mulai terbuka meskipun kondisinya rusak parah menggapai tahun 2010 ini. Dibukanya jalur transportasi darat ini tentu saja semakin memperpendek rentang jarak yang harus ditempuh ketimbang melalui jalur transportasi sungai. Tak hanya itu, dibukanya akses transportasi darat ini tentu saja tidak hanya memudahkan masyarakat setempat keluar, melainkan juga sebaliknya memudahkan orang luar masuk berdatangan dengan membawa budaya dan pola pikir mereka masing-masing. Misalnya, dulu masyarakat Simpakng belum mengenal hiburan musik band. Biasanya, band ini menampilkan beberapa orang biduan wanita yang bisa jadikan pasangan joget bagi para pengunjung laki-laki yang tertarik dan sanggup merogoh kocek untuk bayaran joget per sebuah lagu. Jika sebelumnya joget ini dilakukan dalam taraf yang wajar, lama-lama joget ini sudah mengarah pada pornografi atau istilah joget tempel. Tak hanya musik band dan joget tempelnya saja, arena perjudian juga semakin marak dan bebas bersamaan acara hiburan tadi, dan bahkan judi ini berkembang dalam setiap ada acara-acara pesta seperti pesta perkawinan. Orientasi hiburan rakyat mulai berubah dengan motif mencari uang. Konsep hiburan seperti itu merupakan pengaruh budaya dari daerah tetangga yang sudah mengenal lebih dulu budaya itu, dan bahkan setiap ada perayaan pada hari-hari besar tertentu seperti 17 Agustus, hiburan musik band pun menjadi prasyarat utama yang terpatri dalam benak masyarakat.
Arus transportasi juga ternyata turut membawa pengaruh yang kurang baik dalam menanamkan kembali nilai dan tradisi leluhur. Pengaruh luar berwujud media hiburan seperti musik band dengan tampilan para biduan wanita-nya, televisi dan radio yang mencecoki perhatian dan pikiran masyarakat Simpakng dengan pengaruh budaya dominan, VCD film dan karaoke, judi, handphone seluler, dan bahkan yang marak beberapa waktu belakangan ini, yakni layanan internet yang bisa diakses melalui handphone seluler, seperti facebook, twiiter, situs-situs prono, dan media-media lainnya. Masuknya media-media tersebut sesungguhnya telah menggantikan kesempatan bagi generasi muda untuk terus mempelajari adat dan budaya leluhur-nya yang dituturkan generasi tua.
Tak ayal, eksistensi identitas warisan leluhur Dayak Simpakng mengalami penurunan, yang juga berdampak pada otoritas pemangku adat. Identitas mereka menjadi terabaikan karena masyarakat Simpakng belum siap menerima pengaruh luar dan tidak menyeleksi pengaruh-pengaruh itu. Mereka hidup di fase masyarakat transisi dimana keinginan untuk melihat keluar dan melupakan apa yang ada di dalam rumah, atau melihat keluar dengan tetap memelihara apa yang sudah ada di dalam rumah. Untuk mengantisipasi supaya jangan sampai masyarakat melupakan identitas warisan leluhur, maka upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk menangkalnya adalah menguatkan kembali posisi dan peran pemangku adat dari bawah sampai atas. Mereka inilah yang kemudian bisa diharapkan menjadi filter untuk segala hal yang akan menembus, mengikis, dan merusak identitas dan eksistensi mereka. * FRANS LAKON
Masuknya teknologi informasi dan komunikasi berwujud media visual televisi dan audio visual radio turut berkontribusi menggiring masyarakat Dayak Simpakng menjajaki fase kehidupan transisi yang ditandai dengan terjadi pergeseran pola hidup dan kebudayaan masyarakat. Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi sangat mempengaruhi eksistensi warisan leluhur Dayak Simpakng. Media televisi sekarang ini telah menjelma menjadi media hiburan primadona bagi masyarakat Dayak Simpakng di malam hari. Perlu diketahui bahwa sebelum dibukannya akses transportasi darat pada tahun 1992 dulu, televisi masih dianggap sebagai sebuah barang mahal dan jumlah orang yang memilikinya pun masih sangat terbatas karena hanya orang-orang tertentu yang bisa memilikinya atau dalam arti orang tersebut adalah orang mampu secara sosial ekonomi. Sekedar mengenang situasi masa itu, pada waktu malam hari, orang-orang berbondong-bondong pergi menonton televisi ke tempat orang yang mempunyai televisi. Mereka yang datang tidak hanya yang berasal dari dalam kampung itu sendiri, tetapi juga bahkan dari kampung-kampung lain, dan juga dari pondok (dangau - dukuh). Hanya karena ingin melihat layar televisi, mereka rela berjalan kaki meskipun jarak tempuhnya cukup jauh.
Sekarang, hampir sebagian besar masyarakat bahkan di kampung-kampung, sudah mempunyai televisi lengkap dengan parabola, sejumlah pilihan saluran siaran televisi yang sesuai selera setiap pemilik pesawat televisi bisa dengan mudah dinikmati, kondisi ini menunjukkan bahwa media televisi ini tidak lagi dianggap barang mahal dan terbatas. Mulai dari anak, pemuda/pemudi dan bahkan orangtua jika sudah menjelang malam, semua mata tertuju di depan layar televisi. Tidak ada lagi suasana seperti pada masa sebelum media ini merambah kehidupan masyarakatnya. Tidak ada lagi kesempatan seperti di rumah panjang yang menyediakan kesempatan dalam proses penularan pengetahuan dan tradisi. Dengan tersedianya hiburan ini, minat anak-anak untuk mendengar cerita-cerita, belajar menganyam, mendengar petuah-petuah dari orang tua semakin memudar.
Selain televisi, media elektronik radio juga turut berkontribusi menciptakan jarak antara kelompok potensial dengan para penuturnya. Anak-anak lebih mengenal tokoh-tokoh dalam cerita yang ditonton di televisi atau mendengar di radio dibandingkan tokoh-tokoh cerita rakyat yang mereka miliki. Mereka lebih akrab dengan Sinetron; cinta, kemewahan, kekerasan, Power Rangers, Ultra Man, Upin Ipin, Avatar, dan lain-lain dibandingkan dengan nama Koling Lamanau, Damamakng, Damia, dan lain-lain yang terdapat dalam cerita rakyat.
Kondisi ini tentu saja menjadi pertanda bahwa perkembangan transfer nilai dan tradisi mengalami kemunduran akibat ekselerasi perkembangan teknologi informasi, komunikasi. Jika realitas ini tidak diantisipasi sejak dini maka anak-anak sebagai generasi penerus akan tercerabut dari akar budaya mereka sendiri. Jadi jelas secara berangsur-angsur kehadiran teknologi dibidang informasi, terutama media visual seperti menjamurnya televisi dengan perangkat pembantunya parabola, membuat masyarakat pewaris pengetahuan dan tradisi leluhur terlena akibat gempuran hebat dari pengetahuan dan budaya luar melalui sajian media visual televisi dan audio visual radio. Sehingga tidak heran kalau dalam setiap aktivitas dan peradaban masyarakat Dayak Simpang, baik keluar maupun kedalamnya, dipengaruhi atau mengikuti arus dan pola yang pernah mereka lihat dan nikmati dari tayangan televisi.
Dunia seolah-olah dibuat menjadi begitu dekat, menembuas batas-batas fisik, penyamaan selera, dan memecah dinding-dinding ruang dan waktu dengan sajian pengetahuan dan budaya luar yang dominan dengan bungkusannya yang begitu indah, mewah dan dianggap lebih modern. Misalnya, iklan televisi yang terus menggempur perhatian dan pikiran sehingga membuat orang dengan mudah untuk tertarik mengkonsumsi produk-produk tersebut dengan iming-iming gaya hidup (style life). Pola pemikiran seperti ini membuat masyarakat tidak akan pernah meninjau kembali peradaban pada zaman sebelumnya. Bagi yang tidak ikut perkembangan dikatakan ketinggalan zaman. Jadi dengan kehadiran teknologi informasi ini mengubah pola pikir masyarakat menjadi "modern oriented".
Sebelum dibukanya akses transportasi di Banua Simpakng, untuk bepergian ke daerah lain itu tidak gampang, baik antar kampung, antar dusun, antar desa, antar kecamatan, dan apalagi keluar lebih jauh dari itu, seperti antar kabupaten dan kota propinsi. Jika mau bepergian, harus sudah memperhitungkan kekuatan fisik untuk berjalan kaki, melewati jalan setapak, menyusuri lebatnya hutan. Satu-satunya akses transportasi yang bisa dilalui dengan agak lebih mudah adalah melalui jalur air (sungai) dengan menggunakan motor klotok, long boat, dan perahu, dan itupun tidak secepat yang dibayangkan. Sebelum mengenal mesin diesel, johnson, mereka harus menggunakan galah ketika melintasi sungai kecil yang sempit, dan menggunakan dayung setelah berada di sungai yang besar dan dalam. Perjalanan itu harus ditempuh dengan biaya dan waktu selama 3 – 5 malam untuk bisa sampai ke kota kabupaten dan kota propinsi. Pada masa sebelum dibukannya akses transportasi darat, ketika anak-anak Dayak Simpakng hendak melanjutkan sekolah ke kota Kabupaten dan kota propinsi, maka selama 1 tahun atau bahkan sampai tamat sekolah baru bisa pulang kampung, mengingat jarak dan biaya yang diperlukan sangat mahal pada waktu itu.
Kenyataan ini menjadi lain setelah dibukanya jalan ruas Trans Kalimantan 18 tahun lalu. Akses transportasi jalur darat pun mulai terbuka meskipun kondisinya rusak parah menggapai tahun 2010 ini. Dibukanya jalur transportasi darat ini tentu saja semakin memperpendek rentang jarak yang harus ditempuh ketimbang melalui jalur transportasi sungai. Tak hanya itu, dibukanya akses transportasi darat ini tentu saja tidak hanya memudahkan masyarakat setempat keluar, melainkan juga sebaliknya memudahkan orang luar masuk berdatangan dengan membawa budaya dan pola pikir mereka masing-masing. Misalnya, dulu masyarakat Simpakng belum mengenal hiburan musik band. Biasanya, band ini menampilkan beberapa orang biduan wanita yang bisa jadikan pasangan joget bagi para pengunjung laki-laki yang tertarik dan sanggup merogoh kocek untuk bayaran joget per sebuah lagu. Jika sebelumnya joget ini dilakukan dalam taraf yang wajar, lama-lama joget ini sudah mengarah pada pornografi atau istilah joget tempel. Tak hanya musik band dan joget tempelnya saja, arena perjudian juga semakin marak dan bebas bersamaan acara hiburan tadi, dan bahkan judi ini berkembang dalam setiap ada acara-acara pesta seperti pesta perkawinan. Orientasi hiburan rakyat mulai berubah dengan motif mencari uang. Konsep hiburan seperti itu merupakan pengaruh budaya dari daerah tetangga yang sudah mengenal lebih dulu budaya itu, dan bahkan setiap ada perayaan pada hari-hari besar tertentu seperti 17 Agustus, hiburan musik band pun menjadi prasyarat utama yang terpatri dalam benak masyarakat.
Arus transportasi juga ternyata turut membawa pengaruh yang kurang baik dalam menanamkan kembali nilai dan tradisi leluhur. Pengaruh luar berwujud media hiburan seperti musik band dengan tampilan para biduan wanita-nya, televisi dan radio yang mencecoki perhatian dan pikiran masyarakat Simpakng dengan pengaruh budaya dominan, VCD film dan karaoke, judi, handphone seluler, dan bahkan yang marak beberapa waktu belakangan ini, yakni layanan internet yang bisa diakses melalui handphone seluler, seperti facebook, twiiter, situs-situs prono, dan media-media lainnya. Masuknya media-media tersebut sesungguhnya telah menggantikan kesempatan bagi generasi muda untuk terus mempelajari adat dan budaya leluhur-nya yang dituturkan generasi tua.
Tak ayal, eksistensi identitas warisan leluhur Dayak Simpakng mengalami penurunan, yang juga berdampak pada otoritas pemangku adat. Identitas mereka menjadi terabaikan karena masyarakat Simpakng belum siap menerima pengaruh luar dan tidak menyeleksi pengaruh-pengaruh itu. Mereka hidup di fase masyarakat transisi dimana keinginan untuk melihat keluar dan melupakan apa yang ada di dalam rumah, atau melihat keluar dengan tetap memelihara apa yang sudah ada di dalam rumah. Untuk mengantisipasi supaya jangan sampai masyarakat melupakan identitas warisan leluhur, maka upaya yang mungkin bisa dilakukan untuk menangkalnya adalah menguatkan kembali posisi dan peran pemangku adat dari bawah sampai atas. Mereka inilah yang kemudian bisa diharapkan menjadi filter untuk segala hal yang akan menembus, mengikis, dan merusak identitas dan eksistensi mereka. * FRANS LAKON
Tidak ada komentar:
Posting Komentar