“Aku mohon kepadamu sekalian, dengarkanlah apa yang harus kukatakan ini, dan barulah kalian merenungkan kata-kataku... bukankah telah dan masih akan terjadi pada kalian, bahwa setelah aku tidak lagi di sini, banyak orang lain akan berdatangan terus-menerus dengan kelembutan dan senyum, untuk merampas dari kalian apa yang sebenarnya adalah hak kalian, yaitu tanah tempat kalian hidup ini, sumber dari penghasilan kalian, makanan bahkan yang ada dalam mulut kalian? Kamu sekalian akan kehilangan hak yang melekat padamu secara turun-temurun bersama dengan kelahiranmu, yang akan dirampas darimu oleh orang asing dan para spekulan yang pada gilirannya, justru menjadi tuan dan pemilik, sementara kalian sendiri, hai anak-anak negeri ini, akan disingkirkan dan menjadi bukan apa-apa lagi kecuali kuli-kuli dan orang buangan di pulau ini.”
Seiring perkembangan dunia yang sudah semakin dikuasasi oleh segelintir pemilik modal yang haus akan kekayaan duniawi. Tak luput juga, untuk memenuhi hasratnya itu, kaum kapitalis rela mengorbankan kepentingan-kepentingan orang Dayak dari tanah leluhurnya. meskipun sesungguhnya, orang Dayak itu sudah bertahun-tahun meneriakkan ketidakadilan yang mereka alami, namun kedaulatan orang Dayak sebagai masyarakat adat tidak pernah diakui oleh negara dalam tataran praktik-praktik penyelenggaraannya. Pengetahuan dan kearifan lokal serta penguasaan terhadap alam sebagai sumber kehidupan mereka dilecehkan, dihancurkan dan bahkan dialienasikan semata-mata untuk memuluskan kepentingan-kepentingan bisnis kapitalis.
Paradigma Pembangunan yang salah
Istilah pembangunan sudah menjadi mitos dan disakralisasikan sampai sekarang। Didoktrin secara sistematis dari generasi ke generasi terutama melalui jalur pendidikan. Secara harafiah, memang arti pembangunan adalah sebuah gerakan perubahan kearah yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Sehingga kata pembangunan telah dijadikan “kitab suci” yang berisikan petuah-petuah mumpuni dalam mengatasi segala persoalan bangsa. Namun dibalik tirai kebaikannya itu, justru pembangunan menjadi jargon untuk melegitimasi pengorbanan terhadap kepentingan kelompok-kelompok tertentu. Dengan kata lain, untuk kepentingan pembangunan, pengorbanan merupakan sebuah keharusan. Sehingga kita bisa menyaksikan aksi-aksi perampasan hak, penggusuran dan pengusiran secara paksa menjadi sebuah pemandangan yang mengerikan. Begitulah jika sebuah negara yang sudah mengabdikan diri kepada kekuatan modal, mekanisme pembangunan pun diarahkan untuk pengejaran target ekonomi semata sehingga mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Pembangunan menjadi alat penguasa dan pengusaha untuk menghisap sumber-sumber kekayaan alam yang selama ini dikuasai oleh orang Dayak। Realitasnya, eksploitasi sumber daya alam telah meminggirkan manusia Dayak dari tanah-tanah mereka. Begitulah kondisi anak bangsa Dayak di tanah Kalimantan. Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan produk hukum pertama rezim berkuasa untuk me-legal-kan penindasan anak bangsa Dayak. Undang-Undang inilah yang menjadi pijakan dari sejumlah peraturan lain yang menutup akses manusia Dayak memanfaatkan sumber daya alamnya. Sudah pasti, Undang-Undang No.5 Tahun 1960 ini tidak mengakui keberadaan manusia Dayak sebagai masyarakat adat (karena isinya bersyarat dan sesuai perkembangan zaman). Jelas sekali maksud dari produk hukum tersebut tidak berpihak kepada kepentingan orang Dayak karena berniat menghilangkan hak kolektif untuk kepentingan modal kapital. Proses sertifikasi dan penghapusan pengaturan tanah secara hukum adat menghancurkan independensi manusia Dayak sebagai masyarakat adat yang hidup merdeka sebelum bangsa ini berdiri.
Di era rezim Soeharto berkuasa, orang Dayak semakin terjepit। Indonesia sebagai sebuah negara yang dikategorikan ‘Dunia Ketiga’, dikuasai oleh kekuatan rezim yang terdiri dari para elit birokrasi dan teknokrasi yang didukung oleh kekuatan sayap militer serta kelompok-kelompok usaha (konglomerat) yang menjadi kroni-kroni peliharaannya. Negara dijadi kuda tunggangan oleh pemerintah dan swasta kapitalisme liberal asing, khususnya dari Amerika Utara dan negara-negara maju, lewat badan-badan kerjasama Internasional, seperti International Monetery Funds (IMF) dan Bank Dunia, maupun korporasi-korporasi lintas negara dan konglomerat.
Pembangunan nasional disandarkan pada hutang luar negeri yang dibayar dengan eksploitasi sumber daya alam besar-besaran। Orientasi pertumbuhan ekonomi dijabarkan melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sebuah rancangan pembangunan di zaman orde baru. Sumber daya alam hanya dipandang nilai ekonominya semata, nilai sosial, budaya dan konservasi dihancurkan. Eksploitasi besar-besaran menyebabkan deforestasi dan bencana lingkungan yang maha dahsyat. Paradigma pembangunan rejim Soeharto akhirnya menjadi perangkap yang menjerat seluruh rakyat untuk menderita dan membayar hutang luar negeri.
Selama pada periode itu, tidak ada kebebasan sedikit pun bagi komunitas manapun termasuk orang Dayak untuk bisa berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat yang merupakan bagian dari budaya kritis। Aktivitas rakyat selalu dimata-matai, bentuk-bentuk perserikatan rakyat selalu diselidiki dan diintervensi bahkan sering berujung pada penangkapan, penghakiman dan pembunuhan. Tindakan kritis rakyat selalu dianggap sebagai tindakan subversif yang mengancam keamanan negara. Pemasungan hak rakyat untuk berbeda pendapat dan melakukan aksi kritis dilakukan pemerintah secara sistematis. Jajaran pemerintah sampai ke desa-desa dioptimalkan fungsinya sebagai abdi rejim, strategi ini didukung oleh sayap militer dengan menempatkan aparatnya sampai dikampung-kampung sebagai Bantara Bina Desa (Babinsa).
Diskriminasi pembangunan terjadi antara pusat dan daerah। Di Kalimantan, eksploitasi sumber daya alam dilakukan secara besar-besaran. Dengan dalih tanah milik negara dan untuk kepentingan pembangunan, batas-batas wilayah kelola orang Dayak dilanggar dengan paksa, diusir dari tanah leluhurnya, yang melawan ditangkap, disiksa dan dibunuh. Fenomena ini berhasil meredam gelombang perlawanan rakyat yang muncul kala itu.
Kemudian di era hembusan nafas reformasi, kebebasan terus berlanjut। Mengatasnamakan kepentingan politik lokal, wilayah kelola Masyarakat Adat juga dikapling dan di gadaikan oleh pemerintah lokal kepada para investor untuk mendapatkan pemasukan daerah. Invasi kapitalisme semakin menyudutkan posisi Masyarakat Adat ke dalam jurang kehancuran ekonomi, sosial dan budaya. Pola pembangunan model ini membuat rejim pemerintah yang berkuasa menjadi semakin tergantung dengan para pemegang modal. Ketergantungan rezim pemerintah pada para pemegang modal semakin menguat seiring terpuruknya republik ini kedalam jurang hutang dan bencana alam.
Menurut laporan FAO, Global Forest Resources Assessment pada tahun 2005, dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia, dengan 1,8 juta hektar hutan dihancurkan per tahun antara tahun 2000 hingga 2005। Sehingga tingkat kehancuran hutan Indonesia sebesar 2 persen setiap tahunnya atau 51 kilometer persegi per hari.
Makanya, rentetan bencana yang terjadi sebenarnya bukan kejadian alamiah semata tetapi sebagiannya adalah akibat kesalahan manusia dalam merencanakan pembangunan। Karya mereka telah meluluh-lantakan tatanan alamiah yang ada, kerusakan dan kehancuran lingkungan terjadi dimana-mana, keanekaragaman hayati Indonesia (merupakan salah satu yang terbesar di dunia) terancam punah, Masyarakat Adat Dayak yang selama ini hidup dari interaksi dengan alam menjadi tercerabut dari akar budaya leluhurnya.
Paradigma pertumbuhan ekonomi yang mengandalkan sektor tertentu yang umumnya ekstraktif seperti perkebunan, pertambangan, dan kehutanan (kayu), berkonsekuensi pada perubahan fungsi alam sebagai penyokong kehidupan komunitas Dayak menjadi konsentrasi peruntukan lahan untuk sektor-sektor yang diunggulkan demi keuntungan segelintir orang. Menyingkirkan keberlanjutan pengelolaan lingkungan, dan akses ekonomi masyarakat di sekitar lahan. Jika kondisi ini terus terjadi, maka akhirnya muncul sebuah ungkapan refleksi. “Apabila pohon terakhir sudah di babat, burung terakhir sudah di tembak, ikan terakhir sudah di pancing dan sungai terakhir sudah menjadi kering, akhirnya manusia toh tidak bisa makan uang?”
Atas Nama Kata “Pembangunan”
Hak Pengusahaan Hutan
Penetrasi modal di tanah-tanah orang Dayak Kalimantan diawali dengan diterbitkannya Undang-Undang Penanaman Modal Asing Tahun 1967 dan Undang-Undang Pokok Kehutanan No।5 1967. Memperkenalkan hutan negara, Undang-Undang Pokok Kehutanan No.5 1967 tidak mengakui keberadaan hutan-hutan adat. Undang-Undang ini merampas seluruh hutan yang secara turun temurun sudah dikelola manusia daerah dan menyerahkan kuasa pengelolaanya kepada modal kapital melalui perusahaan-perusahaan HPH. Di Kalimantan Barat, sejak tahun 1968 beroperasi 75 perusahaan HPH yang menguasai 74% total luas hutan Kalimantan Barat atau 47% dari total luas wilayah Kalimantan Barat.
Eksploitasi hutan melalui HPH membawa dampak yang luar biasa bagi orang Dayak। Selain kerusakan lingkungan dan deforestasi, anak bangsa Dayak dipaksa keluar dari tanah-tanah leluhur dan menjadi penonton perampasan kekayaan alam mereka. Pasca dikeluarkannya UU No.2 Tahun 1999 yang memberikan kewenangan kepada para bupati untuk memberikan izin operasi Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPH) dalam skala 100 hektar mengakibatkan laju perusakan hutan semakin tidak terkendali.
Menurut catatan Walhi Kalimantan Barat, di Kalimantan Barat sendiri ada 28 HPH dengan Hutan Primer 1.163.108 (30%); Bekas tebangan kondisi baik 941.750 (25%); Hutan Rusak 1.726.031 (45%); Total 3.830.889. Di Kalimantan Tengah, HPH 61; Hutan Primer 1.754.674 (26%); Bekas tebangan kondisi baik 2.595.836 (39%); Hutan Rusak 2.366.891 (35%); Total 6.723.851. Di Kalimantan Timur ada 61 HPH; Hutan Primer 3.852.233 (42%); Bekas tebangan kondisi baik 3.461.581 (37%); Hutan Rusak 1.927.871 (21%); Total 9.278.885. Dan di Kalimantan Selatan ada 7 HPH; Hutan Primer 105.834 (19%); Bekas Tebangan Kondisi Baik 317.000 (55%); Hutan Rusak 151.074 (26%); Total 573.908.
Cerita dari Perbatasan
Sudah 63 tahun Indonesia merdeka। Namun dibalik itu, sederetan fakta kemiskinan, penindasan, ketidakadilan masih kerap terjadi dimana-mana. Kemerdekaan yang sejatinya milik rakyat sepertinya hanya menjadi miliknya segelintir orang saja. Rakyat tetap berdiri dipinggiran pembangunan, menjadi penonton di negerinya sendiri. Kondisi inilah yang saat ini sedang dirasakan oleh masyarakat adat di daerah perbatasan Indonesia-Malaysia, tepatnya di bagian Utara Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat selama ini. Penantian panjang masyarakatnya akan program pembangunan tak kunjung terwujud. Meskipun menjadi berandanya negara, namun perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan masyarakat yang mayoritas bersub-suku Dayak Iban ini sangat minim.
Kesan pembiaran ini semakin nyata। Sejak dari tahun 1990-an, aktivitas pembalakan hutan secara terang-terangan dilakukan di daerah ini. Parahnya lagi, bisnis kayu illegal ini justru ditenggarai oleh cukong-cukong dari Malaysia. Aktivitas ini sudah berlangsung lama dan baru berkurang ketika pemerintah Indonesia secara serius menangani kasus illegal logging dalam dua tahun belakangan ini. Namun, selama berlangsungnya aktivitas pembalakan itu, kekayaan hutan di daerah ini terkuras habis tinggal menyisakan jeritan baru bagi masyarakat setempat.
Menurut penuturan sebagian besar masyarakatnya, ketika aktivitas perdagangan kayu ini sedang marak terjadi, daerah ini menjadi ramai didatangi oleh orang-orang luar yang juga ingin mengadu keberuntungannya। Sontak saja, jalan lintas utara yang menghubungkan kota Putusibau menuju perbatasan Malaysia menjadi jalur hilir mudik kendaraan bertonase berat yang sangat ramai kala itu. Akhirnya, masyarakat lokal pun terlanjur terbuai oleh gelimangan perputaran uang yang begitu tinggi.
Ditenggarai minimnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap masyarakat di wilayah perbatasan ini, justru semakin membuka peluang menjamurnya praktik-praktik illegal। Tak hanya kayu, fenomena masuknya kendaraan mewah berstatus illegal dari Malaysia pun menjadi ladang bisnis yang menyeruak kala itu. Kalau saat musim kerja kayu, masyarakat mudah mendapatkan uang. Sehingga dengan kemudahan itu, mobil-mobil yang tergolong mewah di Indonesia seperti merk Hilux, Baleno sampai ke Mercedes Benz, bisa didapatkan dengan cukup hanya mengeluarkan uang sebesar Rp. 4 juta sampai Rp. 40 juta saja, kita sudah bisa memilikinya.
Berlabel mewah berharga murah, itu tak lain karena mobil ini tidak memiliki surat kendaraan yang lengkap। Meskipun “barang gelap”, tetapi tetap diminati oleh masyarakat. Sehingga tidak mengherankan, jika menyusuri sepajang jalan lintas utara, banyak ditemukan mobil mewah asal Malaysia terparkir dipinggir jalan dekat perladangan masyarakat.
Pasca kehidupan ala “negeri koboi” sirna। Mata pencaharian masyarakat yang selama ini sudah terlanjur bergantung pada penghasilan kayu, semakin mengambang. Masyarakat terlena dengan hasil kayu yang melimpah sehingga lupa untuk menanam karet. Sekarang kerja kayu sudah sepi, penghasilan masyarakat pun tinggal mengandalkan hasil berladang dan menjual ikan.
Tawaran instan yang merasuki kehidupan masyarakat melahirkan persoalan baru yang tak kalah peliknya. Warga masyarakat yang sebelumnya mudah dalam mendapatkan pendapatan, kini harus membuka kembali lembaran lama yang selama ini terlupakan. Tradisi berladang dan menanam karet yang dipandang sebelah mata selama ini mulai dirintis. Wajar saja, hampir sepanjang perjalanan di wilayah ini, jarang sekali dijumpai kebun karet.
Keluar masuk antar negara menjadi hal biasa bagi warga perbatasan। Ditengah sulitnya ekonomi masyarakat, pesona ringgit menjadi pilihan untuk merantau mencari pekerjaan ke Negeri Jiran. Mencari kerja ke Malaysia sudah menjadi tradisi masyarakat di sini. Jika dalam satu keluarga, suami pergi merantau mencari kerja untuk menambah penghasilan ekonomi keluarga, sedangkan istri mengurus ladang sendirian di kampung.
Proses keluar masuk ke negeri Jiran ini pun bisa dikatakan sangat mudah. Hanya cukup membuat surat izin berkunjung yang sifatnya sementara. Namun tak jarang, dengan berbekal surat izin sementara ini, banyak warga yang tinggal melebihi dari jangka waktu yang ditentukan. Di Malaysia, para pengadu nasib ini ada yang bekerja sebagai buruh kebun, kuli bangunan, pembantu rumah tangga, sopir, penjaga toko dan lain sebagainya. Ada yang berhasil dan ada juga yang bernasib malang, ditangkap dan dikembalikan lewat pintu masuk Entikong.
Inilah potret buram kehidupan masyarakat di daerah perbatasan. Masyarakat diibaratkan hidup di negeri tak bertuan, mengadu nasib di negeri Jiran, sembari menunggu sampai pada saatnya pemerintah Indonesia peduli akan kehidupan mereka.
Perkebunan Skala Besar
Pada tanggal 29 Maret 2007 lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mengesahkan RUU Penanaman Modal menjadi Undang-Undang Penanaman Modal (UU PM)। Delapan dari sepuluh fraksi aklamasi menyetujuinya. UU ini dibuat untuk menggantikan UU Nomor 1 Tahun 1967 tentang PMA (yang diubah dengan UU Nomor 11 Tahun 1970) dan UU Nomor 6 Tahun 1968 Tentang Penanaman Modal Dalam Negeri (yang diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1970). Dalam undang-undang ini, investasi sebagai penopang pembangunan dimaknai sebagai modal utama untuk mengejar pertumbuhan ekonomi sebagai ukuran keberhasilan pembangunan. Padahal, paradigma pembangunan ekonomi yang hanya bertumpu pada ukuran pertumbuhan ekonomi—secara makro—terbukti rontok pada pertengahan tahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda negeri kita tercinta. yang ditandai tumbangnya razim Orde Baru di bawah kepemimpinan Suharto.
Undang-undang Penanaman Modal sekaligus melengkapi sejumlah undang-undang sektoral lain yang sarat dengan kepentingan asing seperti; Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air, dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan।
Secara empirik semua hal di atas menggambarkan penjajahan asing dengan mengatasnamakan investasi। Bila kondisi demikian dibiarkan, Indonesia akan semakin berada dalam cengkeraman penjajahan ekonomi neoliberal. Menurut Revrisond Baswir, Ekonom Universitas Gajah Mada Yogyakarta, bahwa UU Penanaman Modal terdapat sesat pikir diantaranya dengan beberapa aspek (Harian Republika, Senin, 9 April 2007).
Pertama, UU Penanaman Modal sangat jelas bersifat ahistoris। Artinya, UU itu cenderung mengabaikan latar belakang Indonesia sebagai sebuah negara yang pernah dijajah. Padahal, sebagai akibat dari penjajahan selama 3,5 abad yang pernah dialami Indonesia, perekonomian Indonesia telanjur terjebak dalam sebuah struktur perekonomian yang berwatak kolonial. Hal itu dapat ditelusuri baik dengan menyimak kedudukan perekonomian Indonesia terhadap pusat-pusat kapitalisme internasional, sturktur sosial ekonomi mayoritas warga negara indonesia, maupun dengan menyimak kedudukan Jakarta (Batavia) terhadap berbagai wilayah lainnya Indonesia.
Kedua, karena bersifat ahistoris mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia, maka mudah dimengerti bila para pendukung Undang-undang tersebut cenderung tidak menyadari keberpihakan mereka yang sangat berlebihan terhadap penanaman modal asing। Sebagaimana sering mereka kemukakan, terutama ketika membela diri terhadap para penanaman modal asing. Sebagaimana sering mereka kemukakan, terutama ketika membela diri terhadap tuduhan-tuduhan seperti itu, salah satu asas yang dipakai dalam menyusun Undang-undang Penanaman Modal adalah asas “perlakuan yang sama”.
Sepintas lalu memang tampak seolah-olah tidak ada masalah dengan asas tersebut।Tetapi, bila disimak berdasarkan sifat ahistoris UU itu, justru penggunaan asas yang mengabaikan adanya kebutuhan untuk mengoreksi watak kolonial perekonomian Indonesia itulah menjadi pangkal semua masalah. Artinya dengan dipangkainya asas”perlakuan yang sama” sebagai asas penyelenggaraan penanaman modal di Indonesia, ditengah-tengah sruktur perekonomian Indonesia yang berwatak kolonial, maka sekurang-kurangnya para pendukung UU itu telah secara terbuka menyatakan dukungan mereka terhadap status quo.
UU Penanaman Modal, karena bermaksud menggelar karpet merah bagi pelembagaan neokolonialisme di Indonesia, justru dengan sengaja menghilangkan rangkaian kalimat yang tercantum dalam pasal 6 UU No 1/1967 tersebut। Artinya, jika dibandingkan dengan UU No.1/1967 yang merupakan pembuka jalan bagi berlangsungnya proses neokolonilisme di negari ini, UU penanaman modal justru secara terbuka ditujukan untuk menyempurnakan kesalahan sejarah tersebut.
Perkembangan hukum di Indonesia tidak terlepas dari ideologi dari pemegang kekuasaan। Di sektor agrarian, UU Agraria Kolonial 1870 memiliki semangat monopolistik dengan menjadikan Negara (Hindia Belanda) sebagai Pemilik Atas Tanah (domain van clering). Setelah kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, sampai saat ini sudah terjadi beberapa kali perubahan rezim. Rezim Soekarno memiliki dasar ideologinya populistik sehingga hukum-hukum yang dibuat menggambarkan semangat populistik, lahirnya UUPA No. 5 Tahun 1960 yang mencoba mengatasi dualisme hukum agrarian yakni hukum yang diwarisi oleh Kolonial dan hukum yang diwarisi oleh kekuasaan feodal.
Rezim Orde Baru menjadikan kapitalisme sebagai kiblat dalam membawa arah bangsa Indonesia. Pada tahun 1980an merupakan tahun keemasan dari Rezim Orde baru dalam bidang ekonomi akibat dari booming minyak internasional. Pada sektor pertanian, proyek revolusi hijau berada pada posisi puncak yang ditandai dengan swasembada pangan. Sehingga, berbagai kebijakan di abdikan untuk kepentingan kuasa modal. Hal ini bisa dilahat dari berbagai macam kebijakan. Pada era 1980an pedoman didalam menjalan dirumuskan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA III dan IV) yang salah satunya diterjemahkan dalam Inpres No. 1/1986 tentang Perkembangan Perkebunan Pola PIR Trans; Permendagri No. 3/1985 tentang Tata Cara Persertifikatan Tanah; dan, Permendagri No. 1/1986 tentang Tata Cara Pemberian Lahan dan Pemberian Hak Atas Tanah Dalam Rangka Pengembangan Perkebunan Pola PIR Trans.
Pada tahun 1990-an, merupakan tahun dimana kapitalisme yang dijadikan kiblat oleh Rezim Orde Baru mengalami krisis। Untuk mengatasi kondisi tersebut kemudian atas desakan-desakan dari Negara maju untuk melakukan liberalisasi disemua bidang. Regulasi yang dibuat untuk melapangkan agenda liberal antara lain; UU No. 41/1999 tentang Kehutanan; PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB, Hak Pakai Atas Tanah; PP No.36/1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar; Keppres No. 9/1998 tentang Perluasan KAPET sampai Kabupaten Sambas; Keputusan Bersama Menteri Kehutanan, Menteri Pertanian, dan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 364/Kpts-II/1990; 519/Kpts/hk. 050/7/1990; 23/VIII/1990, tentang Ketentuan Pelepasan Kawasan Hutan dan Pemberian HGU untuk Pengembangan Usaha Pertanian; Keputusan Menteri Negara Agraria No. 2/1999 tentang Ijin Lokasi Perkebunan; Surat Edaran Pangdam VI Tanjungpura No. B/575/VIII/1997 mengenai Keterlibatan Militer dalam Pembangunan Kawasan Perbatasan dengan lebar 20 km dari titik Batas; Kesepakatan LoI IMF – RI Oktober 1997 dalam butir 39 tentang kesepakatan untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit; SK Menhutbun No. 376/Kpts-II/1998 tentang Kriteria Penyediaan Areal Hutan Untuk Perkebunan Budidaya Kelapa Sawit; SK Menhutbun No. 728/Kps-II/1998 jo SK No. 107/Kpts-II/1999 tentang luas maksimum penguasaan hutan dan pelepasan kawasan hutan untuk budidaya perkebunan; dan Peraturan Daerah Kalimantan Barat Nomor 8 Tahun 1994 tentang Penyelenggaraan Perusahaan Inti Rakyat Perkebunan (PIR Bun).
Tahun 1998, rezim Suharto tumbang dan digantikan Rezim Reformasi. Namun demikian kiblat ideologinya tetap kapitalisme. Akibatnya paradigma pembangunan nasional pun sampai saat ini tetap sama dan mewarisi rezim Orde Baru. Salah satu sektor yang digadang-gadang sebagai solusi untuk keluar dari krisis adalah sektor perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.
Sejak ditandatangani Letter of Intent (LoI) antara Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Pemerintah Indonesia pada Oktober 1997, perluasan areal perkebunan kelapa sawit melonjak sangat drastis। Bila pada tahun 1995, luas areal perkebunan kelapa sawit nasional baru 992,40 ribu hektar, dalam sepuluh tahun kemudian luasnya telah mencapai 3,59 juta hektar.
Seiring dengan ambisi Pemerintah Indonesia untuk mengalahkan Malaysia sebagai negara perekspor minyak sawit terbesar di dunia, niscaya pertambahan luas areal perkebunan kelapa sawit akan terus berkembang di masa mendatang। Setelah Pulau Sumatera, Kalimantan adalah wilayah yang banyak diincar oleh para investor untuk menanamkan modalnya di sektor perkebunan, khususnya perkebunan kelapa sawit.
Luas areal dan produksi Kelapa Sawit dari tahun 2004 - 2007 menunjukkan trend kenaikan yang sangat signifikan, dan kondisi itu akan meningkat terus seiring dengan membaiknya harga di pasaran. Bahkan produksi Kelapa Sawit Indonesia sejak tahun 2006 telah menduduki posisi Pertama di dunia.
Luas areal, Produksi dan Produktivitas Kelapa Sawit Tahun 2004–2007
Tahun Luas Areal
(ha) Produksi
(ton) Produktivitas
(ton / ha)
2004 5.284.723 12.966.000 3.575
2005 5.453.817 14.620.000 3.728
2006 6.075.914 16.350.848 3.753
2007 6।783.000 17.373.202 3.501
Salah satu kasus di Kalimantan Barat, sebuah provinsi yang terletak di bagian Barat Pulau Kalimantan dengan posisi geografis membentang antara 2o08’ Lintang Utara hingga 3o05’ Lintang Selatan serta antara 108o0’ hingga 114o10’ Bujur Timur। Sebagian besar wilayah Kalimantan Barat merupakan dataran rendah dengan luas sekitar 14, 68 juta hektar—7,53 persen dari luas Indonesia atau 1,13 kali luas pulau Jawa. Dari hasil sensus tahun 2000, penduduk Kalimantan Barat berjumlah 4.034.198 jiwa. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani, yakni sekitar 65,35 persen dari total penduduk Kalimantan Barat.
Meskipun mayorintas penduduk menggantungkan kehidupannya dari sektor pertanian, namun nasib keluarga tani di Kalimantan Barat belum beranjak dari kemiskinan। Dari 901.285 rumah tangga di Kalimantan Barat, tercatat 44,97 persen masih dikatagorikan sebagai keluarga miskin pada tahun 2005. Sedangkan menurut indeks pembangunan manusia (HDI) tahun 2005, angka pembangunan manusia di Kalimantan Barat tercatat 66.2 dan menduduki peringkat ke-28 dari 33 provinsi di Indonesia.
Bermula pada dekade 1990-an pemerintah memaksakan agar rakyat menerima perkebunan kelapa sawit yang selalu disertai dengan program transmigrasi। Sampai saat ini pun perampasan itu masih terjadi. Misalnya akhir Juni 2006, penulis dan tim diundang warga kampung Belatuq, Kecamatan Marau, Kabupaten Ketapang yang dirampas tanah adatnya oleh sebuah perusahaan sawit dengan kawalan oknum aparat militer. Tanpa ba-bi-bu perusahaan itu langsung mematok tanah adat untuk lahan sawit. Terang saja warga melawan.
Menurut catatan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalbar, dibukanya ratusan ribu hektar perkebunan sawit di Kalbar telah menyebabkan masyarakat Dayak di pedalaman dirampas hak-haknya dan menjadi kuli di tanah tumpah darahnya sendiri। Kemiskinan absolut (tidak punya tanah) kini benar-benar menimpa sebagian orang Dayak di pedalaman. Pertanyaan politisnya: mengapa sawit hanya dipaksakan di daerah pedalaman yang umunya masyarakat Dayak? Patutlah dicurigai ada kepentingan politis di balik perkebunan sawit ini bagi orang Dayak.
Pasca masa keemasan industri kehutanan berlalu, manusia Dayak di tanah Kalimantan semakin menderita। Jika eksploitasi hutan untuk pembangunan telah merampas sumber-sumber kehidupan mereka yang masih tersisa. Kemudian rezim berkuasa berambisi menjadi produsen crude palm oils terbesar di dunia merubah wajah tanah Kalimantan menjadi perkebunan monokultur.
Sekedar mengingat kembali sejarah masuknya perkebunan kelapa sawit di Kalbar, sesungguhnya dimulai ketika pada tahun 1970-an Gubernur Kalbar saat itu, Kadarusno meminta pemerintah pusat untuk mengembangkan kelapa sawit di Kalbar। Kemudian sebagai bentuk respon atas permintaan tersebut, pada tahun 1980, PTPN VII melakukan survey kelayakan pada lahan seluas 14.000 hektar di Ngabang-saat ini Kabupaten Landak. Bermula dari sinilah, perkebunan kelapa sawit mulai dikembangkan. Pada tahun 1994 Pemda Kalimantan Barat mencadangkan 3,2 juta hektar tanah untuk proyek perkebunan dalam rangka mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 10,9% pertahun. Seluruh areal cadangan adalah tanah-tanah adat orang Dayak.
Pemerintah daerah sangat melindungi keinginan investor perkebunan sawit। Berbagai produk hukum untuk memayungi kepentingan pihak investor kerapkali diterbitkan. Diantaranya seperti Peraturan Daerah Nomor 8 tahun 1994 tentang prioritas pembangunan subsektor perkebunan di Kalbar. Kemudian produk hukum tersebut diperkuat lagi dengan kebijakan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 1995 tentang rencana tata ruang wilayah provinsi yang menyediakan 5.257.700 hektar lahan untuk segera dimanfaatkan dan dikelola oleh 164 perusahaan.
Dalam perkembangannya, menurut laporan Bapeda Provinsi Kalbar pada tahun 2000, menjelaskan bahwa perkebunan kelapa sawit telah merampas 330।000 hektar tanah oleh 84 perusahaan. Sementara data pada tahun 2001, perusahaan perkebunan kelapa sawit tumbuh dengan suburnya. Para investor berdatangan baik dari dalam maupun luar negeri seperti Malaysia, karena disana sudah dilarang memperluas perkebunan kelapa sawit, maka pergi ke Kalbar untuk membumikan sawit. Sekarang, kita bisa menyaksikan hampir sebagian besar wilayah Kalbar terutama di wilayah-wilayah perkampungan orang Dayak tidak lagi berhijaukan hutan belantara, melainkan berhijaukan sawit dimana orang Dayak tinggal menjadi penonton dan kuli ditanahnya sendiri.
Daerah sentra produksi Kelapa Sawit sebagian besar terdapat di daerah perbatasan langsung dengan negara Serawak Malaysia yaitu di Kabupaten Sanggau। Luas areal tanaman Kelapa Sawit tahun 2007 di Provinsi Kalimantan Barat adalah 194.716 ha, yang sebagian besar merupakan perkebunan rakyat dengan jumlah produksi 385.580 ton yang terdiri dari TBM 18.133 ha, TM 173.902 ha, TTM/TR 2.681 ha dan rata-rata produktivitas sebesar 2.217 kg/ha. Jumlah petani yang terlibat pada kelapa sawit sejumlah 82.852 Kepala Keluarga. Dan Kabupaten Sanggau memiliki areal Kelapa Sawit yang paling luas yang diikuti oleh Kabupaten Ketapang, Sambas, Landak, Kapuas Hulu, Bengkayang, Singkawang, dan Pontianak.
Perkembangan Luas Areal menurut Kondisi Tanaman, produksi, Produktivitas dan Jumlah Petani (KK) Kelapa Sawit di Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2007
No Kabupaten Kondisi Tanaman Produksi
( Ton ) Rerata
Produksi
(Kg/Ha) Jumlah
Petani
( KK )
TBM
( Ha ) TM
( Ha ) TT/TR
( Ha ) Total Luas Areal
( Ha )
1 Pontianak 682 1.607 0 2.289 2.280 1.419 408
2 Landak 295 8.755 249 9.299 17.431 1.991 4.051
3 Sambas 0 7.377 0 7.377 12.964 1.757 3.152
4 Bengkayang 256 3857 8 4.121 10.222 2.650 2.318
5 Singkawang 1.070 100 0 1.170 0 0 12
6 Sanggau 11.967 56.211 2.424 70.602 107.140 1.906 27.334
7 Sekadau 623 24.039 0 24.662 50.247 2.090 12.084
8 Sintang 319 16.189 0 16.508 43.236 2.671 8.936
9 Melawi 0 6.404 0 6.404 22.674 3.541 3.202
10 Kap. Hulu 194 2.824 0 3.018 450 159 1.509
11 Ketapang 2.727 46.539 0 49.266 118.936 2.556 19.846
Total 18.133 173.902 2.681 194.716 385.580 2.217 82.852
ALam Hancur, Orang Dayak Babak Belur
Selain menyerap tenaga kerja dan memicu pertumbuhan ekonomi, serangkaian pembangunan perkebunan kelapa sawit skala besar di Kalimantan Barat, telah menyisakan berbagai persoalan multidimensi। Tidak semata-mata persoalan yang mengancam kelestarian lingkungan, melainkan juga akan merengsek pada persoalan-persoalan lain dibidang sosial ekonomi, kebudayan, dan politik lokal.
Dampak lingkungan dari pembangunan perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan Barat paling mudah kita amati pada saat puncak musim kemarau dan musim penghujan। Meminjam peribahasa ”Sedia payung sebelum hujan,” mungkin akan tidak tepat lagi digunakan. Pasalnya, bukan lagi payung yang diperlukan saat musim hujan tiba, melainkan perahu karena setiap puncak musim penghujan, kita harus siap-siap menghadapi banjir. Hilangnya kawasan hutan sebagai daerah resapan air telah berubah menjadi kebun-kebun monokultur yang enggan mengikat air.
Sementara bila musim kemarau datang, masyarakat harus menyiapkan masker। Mengingat setiap musim kemarau asap akan menyelimuti bumi khatulistiwa ini. Asap sebagai akibat pembakaran hutan dan lahan untuk pemekaran areal perkebunan kelapa sawit. Lebih luas, asap tidak hanya mengurung wilayah Kalimantan Barat saja tetapi juga akan meluas sampai ke negeri tetangga. Akibatnya mereka pun marah dan protes kepada pemerintah. Lalu, sebagai rakyat, kepada siapa kita harus marah?
Isu terhangat dampak lingkungan akibat pembangunan perkebunan kelapa sawit adalah pemanasan global (global warming)। Para ahli lingkungan hidup menyebutkan, konversi hutan untuk perkebunan besar kelapa sawit turut berkontribusi terjadinya pemanasan global.
Dibukanya ratusan ribu hektar perkebunan sawit di Kalbar telah menyebabkan masyarakat disekitar konservasi tersebut dirampas hak-haknya dan menjadi kuli di tanah kelahirannya sendiri। Konversi lahan untuk sawit tidak saja menghancurkan ekosistem alam, tetapi juga kemiskinan absolut (tidak punya tanah), hancurnya nilai-nilai budaya lokal, degradasi sosial, kini benar-benar menjadi ancaman dan telah melanda kehidupan sebagian besar masyarakat lokal. Celakanya lagi, dengan mengatasnamakan untuk pendapatan daerah, Pemda justru melindungi keinginan investor untuk masuk.
Kemiskinan absolut yang terjadi mayoritas menimpa masyarakat yang terkenai dampak langsung dari perkebunan sawit, yakni masyarakat adat Dayak। Karena bagi orang Dayak, alam merupakan ladang kehidupan, sumber penghidupan mereka, tempat dimana mereka bisa dengan mudah mencari kebutuhan hidup sehari-hari seperti lokasi untuk berladang, mencari bahan bakar kayu api, memperoleh sayur-sayuran, rotan, kayu, damar, madu, dan sebagainya. Jika sudah dimasuki proyek kapitalis ini, maka sudah bisa dipastikan sumber-sumber itu akan sirna.
Tidak hanya itu, hancurnya tatanan nilai-nilai kebudayaan lokal juga akan turut terberanggus oleh keserakahan proyek raksasa ini। Sumber kekayaan hutan yang menyediakan perangkat-perangkat kebudayaan seperti dalam proses pelaksanaan ritual upacara adat akan mengalami kepunahan akibat diganti dengan tanaman monokultir tersebut. Sehingga apa yang terjadi, nilai-nilai budaya lokal pun turut luntur bersama hutan yang berganti hamparan luas perkebunan kelapa sawit.
Kemudian, dampak sosial seperti maraknya ajang prostitusi, kafe remang-remang yang menyulut dan merambat pada dampak ikutan seperti mabuk-mabukan, kriminalisasi, kawin kontrak, nikah cerai, dan lain sebagainya। Tentu saja realitas ini menjadi fakta bahwa perkebunan kelapa sawit telah menimbulkan dampak sosial yang sangat menahun, dan akan mengubah wajah asli orang Dayak yang pada prinsipnya memiliki nilai-nilai kearifan yang sudah diwariskan sejak dulu oleh para leluhurnya.
Seperti maraknya aksi-aksi penolakan masyarakat dalam setiap pembukaan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Barat sampai sekarang merupakan salah satu bukti nyata dari dampak sosial pembangunan perkebunan kelapa sawit। Pembangunan perkebunan kelapa sawit dari dekade 1980-an, 1990-an, hingga 2000-an ternyata menimbulkan konflik sosial yang tidak dapat diselesaikan secara tuntas sampai saat ini. Konflik berawal dari sengketa lahan yang dijadikan areal perkebunan besar kelapa sawit. Di satu sisi, perusahaan berpatokan pada ijin yang telah dikeluarkan pemerintah. Di sisi lain, masyarakat berpegang pada lahan-lahan yang dijadikan areal perkebunan kelapa sawit adalah miliknya.
Penyelesaian konflik umumnya dilakukan secara parsial dengan mengikutkan masyarakat sebagai petani plasma dalam pembangunan perkebunan besar kelapa sawit। Namun karena tidak ada transparansi, misalnya dalam pembagian lahan, biaya pembangunan dan perawatan kebun, serta harga tandan buah segar (TBS), pada akhirnya juga menimbulkan konflik antara petani plasma dengan pihak perusahaan inti. Melihat konflik yang terus bergulir, perlu penyelesaian menyeluruh untuk mengatasinya. Sehingga pameo yang selama ini tak henti-hentinya diserukan, ”Hakikat dari pembangunan itu sendiri adalah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bisa diwujudkan.”
Dengan berkaca pada fakta tersebut, apakah Pemerintah masih tetap berkeinginan untuk terus menggencarkan program pembangunan pada sektor pengembangan perkebunan sawit? Memang benar, seperti di Kalbar memiliki anggaran pembangunan yang sangat kecil dari pusat, namun bukan berarti justru masyarakat yang dijadikan korban dari pilihan alternatif program pembangunan itu। Perkebunan dan pertambangan skala besar merupakan petaka bagi masyarakat yang berada di pedalaman. Kedua program tersebut bagi masyarakat di pedalaman diibaratkan seperti sebuah perumpamaan, “saat masyarakat membutuhkan sepeda, kok justru diberi mobil”. Dari perumpamaan itu, jelas yang dibutuhkan masyarakat adalah program pembangunan yang sesuai dengan potensi yang mereka miliki, yang menjamin keberlangsungan hidup mereka, dan yang bisa menuntun mereka pada apa yang disebut kesejahteraan hidup tanpa harus dengan sawit atau juga tambang. Kalbar adalah negeri kaya, namun masyarakatnya miskin di tengah kekayaannya itu sendiri. Dimana letak kesalahannya? Jujur saja, yang salah adalah karena para pemimpinnya tidak pernah mau belajar dari pengalaman dan realitas yang pernah terjadi.
Dampak perkebunan kelapa sawit
Hutan - Hutan berkurang atau hilang.
- Bencana kebakaran hutan.
- Ancaman terhadap kawasan hutan adat.
- Hilangnya sumber-sumber penghidupan (eks hutan).
- Hutan diganti dengan tanaman monokultur (sejenis)
Lingkungan dan ekologi
- Keanekaragaman hayati dan nabati akan musnah.
- Lahan kritis.
- Pencemaran dan degradasi unsur hara tanah serta air karena limbah kelapa sawit dan pupuk buatan yang beracun.
- Erosi karena konversi dan deforestasi
- Hama berkembang pesat.
Sosial budaya
- Perubahan pola bertani (tidak bisa berladang lagi karena tidak memiliki tanah dan air mengalami kekeringan).
- Perubahan pola kerja (mengaret yang seharusnya dilakukan pagi hari bisa dikerjakan siang atau sore jika terjadi hujan).
- Merosotnya budaya, pengetahuan dan kearifan lokal.
- Pontensi terciptanya konflik horizontal.
Ekonomi masyarakat
- Meningkatnya persoalan kemiskinan dengan hilangnya akses rakyat terhadap sumber-sumber penghidupannya. Sumber ekonomi seperti karet, rotan, damar, durian, dan tanaman lainnya telah hilang karena sudah diganti dengan tanaman sejenis (monokultur) yaitu perkebunan kelapa sawit. Tergantung pada perusahaan. Bekerja dari jam 06.00 pagi sampai jam 06 sore menjadi buruh, kuli dan hanya diberi gaji dengan kisaran Rp. 25.000 – 30.000 per hari.
Pengusahaan lahan
- Terjadinya konglomerasi atau tuan tanah. Kepemilikan tanah atau lahan oleh segelintir orang kaya dan biasanya bukan penduduk asli melainkan orang luar yang datang dari Jakarta dan bahkan dari luar negeri. Itulah sebabnya mereka (pengusaha) ini tidak peduli atas nasib masyarakat lokal (orang Dayak).
Sederet Kasus Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit
Berdasarkan hasil pantauan Walhi Kalbar, sedikitnya ada sepuluh kasus dari sekian banyak kasus-kasus perkebunan besar kelapa sawit, sejak awal dibukanya perkebunan besar kelapa sawit di Kalimantan Barat sejak awal dekade 1980-an hingga saat ini. Tiga diantaranya adalah sebagai berikut:
1. PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN) di wilayah Ngabang, Landak
PTPN XIII merupakan penggabungan dari 8 perusahaan BUMN perkebunan pemerintah yang awalnya di kelola oleh PTP VII koalisi BUMN tersebut, yaitu PTP VI, PTP VII, PTP XII, PTP XIII, PT XVIII, PT XXIV, PT XXV DAN PTP XXIX yang semuanya berlangsung dikalimantan kemudian digabung menjadi PTPN XIII। Alas hukum perijinan dari PTPN XIII dengan Akte notaris An. Harun Kamil SH.No. 46 tanggal 11 Maret 1996 dan disahkan melalui Menteri Kehakiman RI No. C 8341. HT/01.01/1996 dengan Lembar Berita Negara RI No. 81, 8 Oktober 1996. Aktivitas PTPN XIII untuk region Kalimantan lebih diberatkan pada aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk mendorong terwujudnya pengembangan wilayah KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu).
Aktivitas perkebunan PTPN XIII di lakukan sejak tahun 1982 di sekitar wilayah Kecamatan Ngabang (Landak) dan। Sejak tahun 1982 di wilayah Ngabang PTPN XIII sampai sekarang masih melakukan penanaman melalui perluasan lahan dan replanting. Pengembangan perkebunan kelapa sawit PTPN XIII di wilayah Kabupaten Landak memiliki ijin perluasan melalui Informasi Lahan seluas 41.700 Ha. Dalam perkembangannya sejak 1982 di wilayah Kabupaten Landak ini PTPN XIII baru memperoleh ijin HGU pada tahun 1990 dengan surat ijin No. 01/HGU/1990, 05-01-1990 dengan luas lahan HGU 4.655 Ha. Realisasi luasan tanaman seluas 12.550 Ha dengan luas Tanaman Menghasilkan (TM) 11.500 Ha dan Tanaman Belum Menhasilkan (TBM) 1.050 Ha. Hal ini diartikan selama 8 tahun PTPN XIII tidak ada PAD dari sektor perkebunan kelapa sawit, dari luas tanaman 12.550 Ha hanya 4.655 Ha hak pemerintah daerah memperoleh PAD dari perkebunan kelapa sawit melalui HGU (Hak Guna Usaha).
Di dalam proses pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit di tahun 1982, PTPN XIII melakukan pendekatan hanya melalui tokoh adat dan tokoh masyarakat untuk di ajak studi banding ke Medan, hal ini dimaksudkan agar perusahaan dengan mudah mengambil alih tanah tanpa ada ganti rugi kepada masyarakat। Pemberian ganti rugi hanya tanam tumbuh yang berasal dari hutan adat (Rp. 5000/ha), sedangkan tanah pribadi masyarakat hanya di berikan jatah 1 kapling (2 Ha). Di dalam perkembangannya muncul suatu permasalahan di petani plasma dan masyarakat, diantaranya pendapatan masyarakat dan petani plasma dari sawit menurun dibandingkan dengan jenis pendapatan dari karet, petani dibebani kredit dengan jangka waktu dan jumlah yang tidak diketahui oleh petani, KUD tidak mampu menyediakan sarana produksi petani, tidak ada lagi lahan yang dapat di kelola oleh petani/masyarakat selain dari sawit, kondisi sosial masyarakat semakin terbelakang karena pembangunan sarana dan prasarana sosial hanya berada di lokasi inti/perusahaan, perubahan dan menghilangkan sistem pranata sosial budaya masyarakat setempat.
Dalam menjalankan perkebunannya pihak PTPN XIII di Ngabang menggunakan sistem pola PIR-Bun dengan mekanisme 1 kapling 1 plasma dengan luasan menurut perusahaan 2 Ha, namun yang terjadi kurang dari 2 Ha karena hitungan yang dipakai jumlah pohon sawit yang diberikan sekitar 220 – 250 pohon। Selain itu juga masyarakat yang telah menyerahkan lahan banyak yang tidak dan belum memperoleh jatah kaplingan. Untuk mengatasinya persoalan tersebut masyarakat/petani melakukan sistem penanaman 3 baris ke arah Selatan (US) dan 5 baris ke Utara (BT). Dalam menuntut hak-haknya masyarakat melakukan berbagai upaya dengan pengambil alih kembali lahan (reclaiming), negoisasi dengan perusahaan, menuntut ke pemerintah.
Masyarakat melakukan penuntutan karena hak-hak mereka tidak di penuhi oleh perusahaan dan juga perusahaan hanya mementingkan kebun inti saja dengan memprioritaskan pengambilan dan pengangkutan bagi Tandan Buah Sawit milik perusahaan. Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat samapai sekarang belum ada realisasi ataupun hasil yang konkrit yang dilakukan oleh perusahaan. Ini disebabkan adanya kebijakan dari pemeritah daerah kalimantan Barat Perda No. 8/1994 Provinsi Kalimantan Barat tentang Penyelengaraan PIR-Bun. Dalam melakukan pengembangan pembangunan tentunya pemerintah lebih memihak akan investasi dengan penyelenggaraan sistem pola perkebunan PIR-Bun, sehingga perusahaan PTPN XIII pun terus melakukan pembukaan lahan dan menghilangkan hak-hak masyarakat terutama orang-orang Dayak akan penguasaan tanahnya.
2. PT Perkebunan Nusantara XIII (PTPN) di Wilayah Sanggau
PTPN XIII merupakan penggabungan dari 8 perusahaan BUMN perkebunan pemerintah yang awalnya di kelola oleh PTP VII koalisi BUMN tersebut, yaitu PTP VI, PTP VII, PTP XII, PTP XIII, PT XVIII, PT XXIV, PT XXV DAN PTP XXIX yang semuanya berlangsung dikalimantan kemudian digabung menjadi PTPN XIII। Alas hukum perijinan dari PTPN XIII dengan Akte notaris An. Harun Kamil SH.No. 46 tanggal 11 Maret 1996 dan disahkan melalui Menteri Kehakiman RI No. C 8341. HT/01.01/1996 dengan Lembar Berita Negara RI No. 81, 8 Oktober 1996. Aktivitas PTPN XIII untuk region Kalimantan lebih diberatkan pada aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit untuk mendorong terwujudnya pengembangan wilayah KAPET (Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu).
Awalnya Perusahaan Negara Perkebunan (PNP) dengan pola Inti Murni beroperasi pada tahun 1979, dan mulai berdiri pada tahun 1980 dengan HGU No।1/1986, dengan arahan luas sekitar 18.478,82 ha dan dengan perkebunan pola KKPA seluas 2.870 ha yang beru pada tahun 1999. wilayah/lahan dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di Sanggau ini awalnya pada 3 (tiga) Kecamatan, yakni Kecamatan Meliau, Kecamatan Sanggau Kapuas, dan Kecamatan Tayan Hilir yang meliputi wilayah kerja dari perusahaan PTPN XIII di Sei Dekan, PTPN XIII di Gunung Meliau, dan PTPN XIII di Rimba Belian, dengan mencakup sekitar 7 (tujuh) Desa, terdiri dari Desa Melobok, Kuala Buayan, Meliau Hilir, Sungai Mayan, Sungai Rosat dan Sungai Alai, Sungai Jaman. Wilayah perluasan PTPN hingga sekarang ini meliputi 6 Kecamatan, yaitu Meliau, Parindu, Kembayan, Sanggau Kapuas, Tayan Hilir, Tayan Hulu dengan luasan seluruh ijin PTPN XIII yang diperoleh sekitar 90.000 Ha melalui Informasi Lahan yang diberikan.
Penempatan wilayah di 6 kecamatan tersebut, PTPN XIII menggunakan sistem pemecahan ijin dan pola serta hanya 2 lokasi Kecamatan yang diketahui Informasi Lahannya (Data Bappeda Sanggau 2006)। Pertama masuk di wilayah kecamatan Parindu dengan Informasi Lahan No. 187 /1982, 28-06-1982; 104/1984, 02-04-1984; 525/4531/II-Bappeda, 17-12-1997 seluas 48.000 Ha. Di Kecamatan Kembayan dengan nomor ijin 525/4531/II-Bappeda, 17-12-1997 seluas 18.000 ha dan di Kecamatan Meliau seluas 24.000 Ha. Sistem Pola yang dilakukan oleh PTPN XIII dengan kawasan yang di HGU kan berupa Pola PIR Trans Kembayan No. 33/HGU/BPN/2003, seluas 5.423 Ha; Pola PIR Sus I Parindu di Parindu 04/HGU/BPN dan Tayan Hulu 06/HGU/BPN/2002 dengan total luasan 3.344 Ha; Pola KKPA (BUMN murni) di Kebun Gunung Meliau (Meliau) 08/HGU/1985, 24-12-1995; Kebun Sungai Dekan (Tayan Hilir) 08/HGU/85, 24-12-1995 seluas18,479 Ha; Kebun Rimba Belian (Sanggau Kapuas) 27/HGU/BPN/2002, 17-7-2002 seluas 1.615 Ha.
Prosesnya yang dilakukan oleh perusahaan tersebut, sejak tahun 1979 Tim dari Sanggau dan Pontianak mengadakan penyuluhan ke setiap kampung, yang mana dilakukan dengan cara intinya (perusahaan) membujuk masyarakat dan bahkan apabila ada salah satu masyarakat yang menolak akan terus di teror agar mau menyerahkan lahannya। Jenis lahan digusur oleh pihak perusahaan terhadap lahan masyarakat adat ialah berupa lahan tembawang, kebun karet, bawas, hutan primer dan payak/lobak. Tanaman tumbuh yang didaftar, maupun yang tidak digusur paksa akan di bayar ganti haknya sekitar Rp. 200.000 – Rp. 1.000.000. sedangkan tanah adat/tanah ulayat yang tidak ada tanama tumbuh, tidak ganti rugi atau tidak di jual kepada pihak perusahaan. Waktu pembayaran dengan menandatangani surat yang tidak tahu dan dimengerti apa isinya, serta tidak ada bukti terima. Jadi sampai tahun 1998, masyarakat betul-betul menjadi tidak berdaya untuk berontak dan akhirnya hanya sebagai penonton di tanahnya sendiri. Selain di dalam proses permasalahan yang muncul dari berbagai pola yang diterapkan oleh perusahaan PTPN XIII juga banyak masyarakat yang menyerahkan lahan tidak memperoleh kaplingan kebun sawit, Pencemaran di pabrik Rimba Belian akibat membuang limbah ke sungai Kapuas (2006); Tuntutan akan perbaikan sarana infrastruktur; Lokasi kebun petani KKPA tidak jelas, pembayaran kredit yang telah dilakukan oleh petani tidak ada transparansi oleh perusahaan, tumpang tindih lahan, penyelewengan dana bantuan petani KKPA.
Upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat dan petani dalam memperjuangakn hak-haknya telah di tempuh berbagai cara seperti reklaiming dengan ritual adat, pertemuan dan negoisasi dengan pemerintah dan pihak perusahaan, memberikan kuasa hukum ke pengacara lokal, memblokir lahan,membuat pengaduan, menduduki lahan. Dari upaya yang dilakukan oleh masyarakat dikarenakan masyarakat menuntut agar masyarakat yang telah menyerahkan lahan mendapatkan 2 kaplingan, ganti rugi lahan yang digusur (tanam tumbuh), menjadikan kebun inti sebagai kebun plasma, masyarakat setempat di prioritaskan sebagai karyawan, menghentikan pembuangan limbah ke sungai, memperbaiki sarana infrastruktur, transparansi dalam pembayaran kredit, Audit pendanaan untuk petani, masyarakat di libatkan dalam pengambilan keputusan.
3. PT Harapan Sawit Lestari (HSL), Kecamatan Manis Mata, Ketapang
PT Harapan Sawit Lestari (HSL) awalnya perusahaan swasta alam negeri yang bergerak di sektor perkebunan kelapa Hibrida di wilayah Manis Mata, seiring dengan perkembangan kebutuhan akan minyak kelapa sawit di tahun 1992 memperoleh ijin untuk mengembangan perkebunan kelapa sawit di lokasi yang sama। Di tahun 1997 PT HSL mengalami kebangkrutan sehingga terjadi penjualan perusahaan perkebunan kepada CDC (Commonwealth Development Coorporation) BUMN nya negara Inggris dan berubah menjadi PT HSL-CDC. Perusahaan yang berasal dari keterlibatan investasi CDC berada di bawah Kementerian Pembangunan Internasional Inggris. CDC melalui Pacific Rim Palm Oil (PRPOL) menguasai perkebunan sawit di Asia Tenggara dengan luas 73000 ha terdapat di PNG, Indonesia; Perkebunan sawit CDC meliputi Polimba, PNG, Copra seluas 160 Km; sawit Milney Bay di PNG seluas 10000 ha, HSL di Ketapang seluas 25000 ha, Asiatic Jambi seluas 20000 Ha. Pada perkembangannya di tahun 2005 di ambil alih oleh Cargill (75%) dan Tamasek Singapura (25%), dengan alasan kurs Pound lebih tinggi CTP (Cargil Tamasek Plantations), sehingga manajemen di kuasai oleh orang baru.
Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit milik PT HSL melakukan pengembangan di Kecamatan Manis Mata di mulai tahun 1993 dengan ijin Informasi Lahan dari Bupati April 1993, 525/1393/II-Bappeda, 11।500 Ha; Nopember 1995, 525/4611/II-Bappeda, 30 Ha; Nopember 1995, 525/4615/II-Bappeda, 1250 Ha; 29.7.1996, 525/3088/II-Bappeda, 2000 Ha. Dalam pengembangan pertamanya di wilayah Kampung Beriam desa Manis Mata melalui KUD Beringin Jaya. Seiring dengan pengembangan perluasannya tersebut PT HSL telah menguasai setengah luasan lahan masyarakat Kecamatan Manis Mata dengan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kp. Air durian, Gajah, Belian sunsang, bagan kusik, Labuk, Hampul, Jangkit-jangkit, Keladi, Kuala asam, Asam besar, Beriam, Tarahan, Seguling, Manis Mata. Pola yang diterapkan oleh perusahaan ialah KKPA (Koperasi Kredit Primer Anggota) dengan luasan perkebunan kelapa sawit di areal tersebut ialah di bulan HHK B di Bagan Kusik ijin lokasi 4.525 Ha, HGU 4.137,67 Ha, inti 4.184,85 Ha; HSL S di Manis Mata ijin lokasi 5.473 Ha, HGU 3.442 Ha, inti 2.722,45 Ha, KKPA 2.214,43 Ha; HSL U Kemuning ijin lokasi 8.000 Ha, HGU 5.137 Ha, inti 2.415,21 Ha. Jadi total ijin lokasi 31.698 Ha, HGU 24.783,37 Ha, inti 17.712,96 Ha, KKPA 5.141,06 Ha.
Sejak awal pembukaannya di tahun 1993, PT HSL sudah banyak menimbulkan permasalahan dengan masyarakat di Manis seperti Mata Perampasan tanah dengan menggusur dan membakar hutan di malam hari, manipulasi data anggota KKPA, intimidasi terhadap masyarakat। Pada proses berjalannya perusahaan tidak membayar ganti rugi hak atas tanah rakyat dengan tetap memperluas lahan perkebunan, mendatangkan kayawan dari luar lebih banyak, menghilangkan akses masyarakat terhadap sumber air bersih, membelakangkan produksi petani plasma, membelakangkan pembangunan di lokasi masyarakat dan petani.
Dengan ketidak adilan dan perampasan hak rakyat yang dilakukan oleh perusahaan, masyarakat melakukan berbagai aksi turun ke jalan, memblokir lahan inti, melakukan dialog dengan perusahaan, mendatangkan Kedubes Inggris (Richard Gozney) serta Kementerian pembangunan Internasional Inggris (Clare Short) yang mengurus CDC di bulan Nopember 2000 untuk berdialog dalam penyelesai permasalahan PT HSL-CDC. Hal ini dilakukan oleh masyarakat untuk menuntut keberadaan PT HSL agar mengganti rugi lahan yang digusur dan tidak menggusur lagi wilayah adat (hutan adat, tembawang, tanaman karet, tempat keramat, kuburan), serta keadilan petani plasma, memperhatikan pembangunan sarana infrastruktur masyarakat di lokasi perkebunan.
Eksploitasi Pertambangan
Kegiatan pertambangan dalam dua dekade terakhir ini semakin menarik perhatian banyak kalangan, khususnya para aktivis gerakan lingkungan hidup। Hal ini disebabkan karena dalam kegiatan eksplorasi pertambangan selalu berbenturan dengan kepentingan konservasi sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan. Kerusakan ekologis seperti berkurangnya debit air sungai dan tanah, pencemaran air laut, kerusakan hutan hingga sedimentasi tanah, masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas sampai saat ini.
Angka bencana akibat kerusakan lingkungan di Indonesia sangat fantastis। Menurut catatan Walhi (2007), tercatat 840 bencana ekologi. Sebanyak 7.303 nyawa melayang dan sebanyak 1.140 orang hilang, lebih dari 3 juta berada di pengungsian dan 750 ribu rumah terendam banjir. Ini menggambarkan situasi lingkungan yang sangat parah akibat aktivitas pertambangan. Pulau Kalimantan, kontribusi tertinggi bencana ekologi adalah pertambangan selain Hak Penguasaan Hutan dan perkebunan skala besar.
Fakta yang paling merisaukan dari aktivitas pertambangan ini adalah dampak buruk berantai dalam jangka panjang। Intensitas dampak eksplorasi pertambangan tidak hanya merubah derajat kualitas sumber daya alam dan lingkungan hidup, tidak saja merugikan generasi masa kini, melainkan juga kerugian bagi keberlanjutan hidup generasi yang akan datang. Belajar dari pengalaman diberbagai tempat selama ini, bahwa selain memicu deforestation, juga dijumpai fakta diberbagai kawasan eksplorasi pertambangan selalu menjadi kantong kemiskinan yang sangat luar biasa. Ironis memang, bukannya malah mensejahterakan masyarakat lokal, justru menciptakan persoalan-persoalan baru bagi masyarakat di sekitar aktivitas pertambangan tersebut.
Masyarakat lokal kehilangan akses terhadap sumberdaya alam yang selama ini mereka miliki untuk memberdayakan diri dan mempertahankan hidupnya, kehilangan akses untuk ikut serta dalam proses pengambilan keputusan dan pemanfaatan sumberdaya yang ada di sekelilingnya, sehingga yang terjadi adalah fenomena kelaparan ditengah kemewahan, putus sekolah massal ditengah pemborosan anggaran pendidikan, keringkihan massal ditengah gaya hidup royal para kaum pemilik modal।
Praktek-praktek eksploitasi manusia oleh manusia ini seperti yang terjadi di beberapa daerah di Kabupaten Ketapang। Praktek tersebut sudah berlangsung lama, di mana pengejawantahan kapitalisme secara represif terjadi sejak tahun 1993 sampai sekarang dengan wujud perusahaan pertambangan.
Di Desa Riam Batu Gading tepatnya di Kampung Riam Kusik, Kecamatan Marau pertengahan tahun 2006 lalu। Perusahaan tambang Batu Galena (bahan tambang logam berat atau Timbal berbentuk sulfida logam dengan kandungan timah hitam dan seng yang sangat tinggi. Dalam dunia industri dikenal sebagai bahan pembuatan baterai, pembungkus kabel, zat pewarna cat, penyepuhan serta campuran pestisida) yang di sponsori PT Lanang Bersatu (PT LB) masuk melakukan survei lokasi atau yang mereka sebut sebagai tahap eksplorasi.
Ketika saya berkesempatan mengikuti proses sosialisasi yang terbuka bagi seluruh masyarakat, para Damong Adat dan tokoh masyarakat Kampung Riam Kusik, Penyiuran dan Batu Perak pada tanggal 10 Maret 2006, melihat ada indikasi bahwa PT LB merupakan sebuah perusahaan milik putra orang pertama di Kabupaten Ketapang kala itu, Morkes Effendi। Sehingga dalam proses legalisasinya diperbantukan kelancarannya. Hal ini terlihat dari antusiasme para jajaran struktural kepemerintahan seperti Muspika Marau (Camat, Sekwilcam, Danramil dan Kapolsek), Kepala Desa Sukakarya, Kepala Desa Riam Batu Gading, Kepala Dusun dan BPD Riam Kusik, hadir dalam proses sosialisasi perusahaan untuk menegaskan bentuk dukungannya.
“Saya berharap PT LB segera beroperasi karena sudah memiliki izin lokasi seluas 6।779 hektar yang meliputi wilayah Kampung Riam Kusik, Penyiuran, Batu Perak dan sampai ke Karangan. Untuk itu, maka mari kita dukung perusahaan ini menggali kekayaan alam yang kita miliki berupa batu galena untuk kesejahteraan kita semua,” papar Julian selaku Camat Marau waktu itu.
Hal senada juga disampaikan oleh Kades Sukakarya dan Riam Batu Gading yang menyatakan sangat mendukung dan mengharapkan keseriusan PT LB agar segera beroperasi untuk menggali potensi sumber daya alam berupa batu galena untuk membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat। Sementara itu pihak PT LB, dalam sosialisasinya menjelaskan bahwa kehadiran mereka merupakan jawaban untuk kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat lokal. Demikian pula harapan Supardi selaku manajer lapangan.
Dalam proses sosialisasi tersebut, hampir sebagian besar suara masyarakat yang hadir memilih pasrah atas kehadiran PT LB menggarap wilayah adat masyarakat terutama di Kampung Riam Kusik। Meski ada sedikit masyarakat yang kontra terhadap masuknya perusahaan, terkesan tidak berani dan memilih diam dari pada menentang.
Sejak Agustus 2006 lalu, PT LB mulai melakukan proses pembebasan lahan di lokasi Semerayak, Kampung Riam Kusik seluas 50।000 m3 dengan ganti rugi sebesar Rp. 20.000.000,- kepada beberapa orang pemilik lahan yang mendukung perusahaan. Setelah aktif beroperasi, beberapa bulan kemudian muncul reaksi protes masyarakat terhadap perlakuan perusahaan yang hanya menghargai murah Batu Galena dengan hanya dihargai sebesar Rp 150,- kepada masyarakat lokal pekerja tambang. Meski “menyalak”, masyarakat tidak berani menuntut kenaikan harga batu galena kepada perusahaan.
Atas reaksi yang muncul dari masyarakat tersebut, Daman sebagai bagian dari masyarakat lokal yang empati atas keluhan masyarakat banyak, mengajak beberapa kawannya untuk mendatangi pihak perusahaan dengan tujuan menuntut kenaikan harga batu galena। Menjelang malam (14/10/06), mereka datang dan di sambut oleh manajer lapangan PT LB yakni Supardi. Hasil dari pertemuan itu, pihak perusahaan berjanji akan meninjau ulang ketentuan harga batu galena tersebut. Pada akhirnya sekarang, harga batu galena cuma di naikkan menjadi sebesar Rp 200.
Setelah selesai mengemban tanggung jawab sosialnya, mereka keluar dari kantor PT LB। Namun naas, setelah berada di luar rumah, Daman di hadang oleh dua orang dan langsung memukulnya. Dua orang yang memukul tersebut ternyata diketahui sebagai kaki tangan pihak perusahaan yang juga adalah masyarakat lokal. Daman pun roboh dan mengalami pembengkakan tulang rusuk dan berobat baik secara tradisional maupun secara medis dengan biaya tanggungan sendiri.
Ada apa di balik kasus itu, apakah ada hal yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhinya। Menurut pengakuan masyarakat setempat, sebelum perusahaan masuk, kehidupan sosial masyarakat di Kampung Riam Kusik berjalan aman, damai dan tenteram tanpa adanya intrik, konflik dan kehidupan yang kompetitif antar sesama masyarakat. Sekarang kondisinya sudah jauh berbeda. Antar sesama saling mencakar, berlomba-lomba menjual tanahnya ke perusahaan. Ini pertanda bahwa hutan, tanah dan air yang menjadi identitas dan sumber kehidupan yang di warisi nenek moyang mulai diabaikan dan terancam sirna.
Pada dasarnya, akibat dari aktivitas pertambangan apapun bentuknya (legal maupun illegal) adalah sama dengan perusahaan perkebunan skala besar. Kedua sama-sama memiliki karakteristik “penghisapan, penindasan dan pemiskinan”.
Dibalik Bungkusan Program Transmigrasi
Transmigrasi adalah program perpindahan penduduk yang hanya ada di Indonesia, tidak ada negara lain di dunia ini yang menerapkan konsep ini. Konsep program ini bermula ketika kolonialisasi Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian diteruskan oleh Pemerintahan Indonesia. Ada tiga periodesasi transmigrasi, yang pertama pada zaman Belanda 1905 – 1941; kedua, masa Jepang 1942 – 1945; ketiga, era kemerdekaan Indonesia 1945 – sampai sekarang.
Enam tahun setelah pulau Jawa ditaklukkan Belanda (1596), pada tahun 1602, Belanda membentuk Vereenigde Oostindische Companie (VOC)। Pemerintah kolonial Belanda dan VOC memaksakan beberapa jenis tanaman saja kepada rakyat Indonesia atau yang disebut Culture Stelsel, terutama di Jawa dan Sumatera। Setelah berlangsung selama tiga abad lebih, pada tahun 1900, mulai timbul kesadaran Belanda untuk balas budi kepada rakyat Indonesia yang dieksploitasi atau yang istilah yang kita kenal dengan sebutan politik etis। Dibuatlah tiga program balas budi itu, yaitu emigrasi, irigasi dan edukasi.
Pada tahap awal, tahun 1905 dipindahkanlah sebanyak 155 keluarga dari Keresidenan Kedu, Jawa Tengah menuju Gedongtataan, Lampung। Belanda menyebut proyek ini sebagai proyek kolonisasi. Total penduduk yang dipindahkan selama 1905 – 1911 sekitar 4.800 orang. Periode 1911-1929 dipindahkan 19.500 orang, umumnya ke Lampung dan sebagian kecil ke Sumatera Selatan, Bengkulu, Kalimantan dan Sulawesi. Pada periode ini, biaya untuk kolonisasi diperkecil tetapi disediakan kredit dengan mendirikan Lampongsche Volksbank. Tetapi pada tahun 1928, bank ini mengalami kebangkrutan karena banyak kredit macet dan salah urus.
Perpindahan penduduk besar-besaran secara mandiri dari pulau Jawa terjadi karena resesi ekonomi dunia pada tahun 1920-an। Mereka yang sebelumnya menjadi buruh perkebunan di Sumatera memutuskan pulang ke Jawa akibat krisis ekonomi yang terjadi. Kondisi ini mengakibatkan pulau Jawa semakin padat penduduknya. Melihat kenyataan tersebut, maka pemerintah Belanda memindahkan lagi ke luar pulau Jawa. Selama periode pemerintah Hindia Belanda berkuasa, sebanyak 189.938 orang penduduk Jawa yang dipindahkan ke luar pulau Jawa.
Sedangkan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia (1942 – 1945), penduduk Jawa dipindahkan sekitar 2।000 orang ke luar pulau Jawa. Karena pulau Jawa semakin hari semakin padat, maka program ini dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia setelah dideklarisasi kemerdekaan Republik Indonesia dinyatakan.
Pada masa Orde Lama, di bawah tumpuk kekuasaan Soekarno, barulah istilah perpindahan penduduk itu dikenal dengan nama transmigrasi। Ada transmigrasi umum, transmigrasi keluarga, transmigrasi swakarsa, dan transmigrasi spontan. Pada tahun 1950, pertama kali dikirim transmigran dari Jawa ke Sumatera Selatan. Pada saat itu, target program transmigrasi ini sangat bombastis. Bayangkan dalam 35 tahun, penduduk pulau Jawa hanya menyisakan 31 juta dari 54 juta pada tahun 1987. Namun rencana ini gagal, dan pada tahun 1950 – 1959 dipindahkanlah sebesar 227.360 orang. Kemudian direvisi ulang dengan target pemindahan dua juta penduduk Jawa dalam tahun 1961 – 1968. Kemudian pada era Orde Baru berkuasa, transmigrasi tidak hanya memindahkan penduduk Jawa saja melainkan untuk mencapai tujuan swasembada beras. Inilah awal dari masuknya transmigrasi di Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi dan Papua.
Pada masa Orde Baru ini, jenis transmigrasi hanya ada dua, yakni transmigrasi umum dan spontan। Kemudian pada periode Pembangunan Lima Tahun (Pelita) dua, yakni pada tahun 1974 -1979 dikirim transmigran sebesar 204.000 orang. Dan pada periode Pelita Tiga (1979 -1983), untuk kepentingan pertahanan dan keamanan, maka dikirimlah sebesar 500.000 keluarga. Kemudian pada Pelita empat (1983 – 1988), jumlah transmigran yang dikirim sebesar 750.000 keluarga atau 3,75 persen.
Di Kalimantan Barat, program transmigrasi masuk dimulai pada tahun 1969। Namun semakin masif setelah ada Keppres No. 2/1973 dan Keppres No. 12/1974 tentang daerah penempatan transmigrasi. Berdasarkan data dari Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi Kalimantan Barat, sampai pada tahun 2008 lalu, total populasi transmigran di Kalimantan Barat sebesar 125.186 jiwa di 212 desa dan 328 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dalam 10 Kecamatan. Sedangkan menurut data BPS Kalbar, dalam lima tahun terakhir (2005 -2007), rata-rata penduduk pertahun yang didatangkan sebesar 3.200 jiwa. Artinya, dalam 10 tahun kedepan (2009 – 2018) akan ada 32.000 jiwa. Jika jumlah tersebut ditambah dengan jumlah trans yang sudah ada di Kalbar, maka pada tahun 2019, akan ada sebesar 157.186 jiwa transmigran di Kalbar. Secara nasional, jumlah penduduk yang dipindahkan melalui program transmigrasi ini terus meningkat, namun faktanya tidak mengurangi kepadatan penduduk Jawa.
Program transmigrasi ini sesungguhnya turut berkontribusi merampas tanah orang Dayak di Kalbar। Kebijakan Pemerintah Provinsi Kalbar yang menjadikan perkebunan kelapa sawit skala besar sebagai primadona pembangunan Kalbar, memuluskan masuknya transmigran dengan jumlah yang lebih besar. Kebun sawit dibuka, maka transmigran juga didatangkan. Begitulah ketentuannya. Hal ini dikarenakan, setiap keluarga transmigran yang didatangkan dari luar pulau akan mendapat jatah tanah gratis seluas 2,5 hektar-dimana 2 hektar merupakan kebun kelapa sawit dan 0,5 hektar adalah areal pemukiman. Untuk pengelolaannya, pada tahun pertama kebutuhan keluarga ditanggung oleh pemerintah melalui jatah hidup.
Sebaliknya aturan diskriminatif diberlakukan kepada orang Dayak yang bergabung dengan perkebunan। Mereka harus menyerahkan tanah seluas 7 hektar kepada perusahaan. Setelah digarap dan ditanami oleh perusahaan, tanah seluas 2,5 hektar dikembalikan kepada pemilik tanah dengan mekanisme membayaran angsuran kredit selama 20 tahun untuk menutupi biaya operasional yang telah dikeluarkan oleh perusahaan. Perlakuan tidak adil ini menyebabkan kekecewaan dan kecemburuan sosial orang Dayak yang bergabung dengan perusahaan.
Kemudian secara statistik, kehadiran transmigrasi sangat berpengaruh terhadap orang Dayak secara komposisi jumlah penduduk। Suatu daerah yang sebelumnya mayoritas adalah orang Dayak, kemudian setelah masuknya ribuan jiwa trans ke daerahnya, maka orang Dayak menjadi minoritas di tempat kelahirannya. Salah satu kasus seperti di perkampungan Sungai Melayu, Kecamatan Sungai Melayu, Kabupaten Ketapang yang dulunya mayoritas orang Dayak, sekarang setelah masuknya perkebunan kelapa sawit yang disertai ribuan jiwa transmigran, sekarang orang Dayak yang dulunya adalah mayoritas kini sudah banyak yang pindah dan memilih untuk bermukim di tempat-tempat yang masih memiliki hutan untuk mereka bisa mencari hidup, seperti berladang, menanam kebun karet, dan bisa hidup tentram dengan hutan mereka.
Tidak hanya itu, jika dalam sebuah perkampungan saja orang Dayak sudah menjadi minoritas, maka dalam konteks lain pun seperti eksistensi tradisi kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik orang Dayak juga turut dipengaruhi program transmigrasi ini। Oleh karena itu, jika melihat fakta-fakta yang terjadi pada orang Dayak terutama yang dimasuki program transmigrasi ini, maka sudah bisa dipastikan akan mengalami kehancuran identitasnya dan bahkan akan tersisihkan di tanah kelahirannya sendiri. Fakta ini bukan omong kosong, proses penghancuran orang Dayak sudah terjadi selama ini.
Bagaimana orang Dayak yang selama ini menjadikan alam sebagai ekspresi kebudayaan mereka sudah berganti dengan tanaman monokultur, yaitu sawit। Sumber ekonominya yang dulunya dari berasal dari alam kemudian digantikan dengan tanaman sawit, terang saja mengkondisikan ketergantungan mereka pada perusahaan, menjadi kuli dan buruh yang bekerja dibawah pengawasan dan dihargai dengan murah, pola bertani yang dipahami sebagai pengetahuan dan kearifan orang Dayak tidak lagi dilakukan dengan cara berladang, karena mereka tidak lagi memiliki tanah yang bisa dikelola.
Kehidupan sosial juga sama, orang Dayak yang mengutamakan kebersamaan, kerjasama dan solidaritas semakin terkikis karena pengaruh kehidupan disekelilingnya yang sudah sangat heterogen. Demikian pula halnya dengan konteks politik, dibeberapa kali penyelenggaraan pesta demokrasi dibeberapa daerah sebagai usaha untuk memilih pemimpin atau wakil-wakil daerah, komposisi penduduk sangat berpengaruh dalam menentukan kemenangan.
Pemekaran Wilayah atau Penyempitan Wilayah?
Mencermati pelbagai wacana pemekaran wilayah yang sempat menyeruak, tentu saja menjadi topik yang menarik untuk dikaji। Seperti di beberapa daerah di nusantara ini, tuntutan pemekaran wilayah menjadi jargon politik ekonomi yang seksi untuk ditawarkan dalam kampanye-kampanye para politikus. Selain karena kondisi keterbelakangan, paradigma klasik yang berpandangan bahwa pemekaran wilayah merupakan solusi strategis memperpendek rentang kendali kepemerintahan dalam rangka memaksimalkan mutu pelayanan kepada masyarakat, bisa mengatur dan mengelola segala potensi yang ada pada daerah, memperoleh subsidi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) yang lebih, juga wacana ini sudah masuk pada areal kepentingan poltik kaum elit di tingkat daerah.
Argumentasi inilah yang mendorong kalangan politisi dan kaum elit lokal dengan lantang menyuarakan pemekaran daerah ini। Untuk mewujudkan itu, tak jarang segala usaha pun dikerahkan, mulai dari aksi demonstrasi, audiensi, lobby dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan lain sebagainya. Dengan mengibarkan aspirasi rakyat di daerah, bahkan perjuangan itu ada yang berakhir brutal.
Ditengah euforia dan mainstream publik yang begitu kuat dan mengakar tentang impian program pemekaran wilayah, tentunya akan menjadi tantangan berat bagi pemerintah pusat untuk menghalangi keinginan yang berkembang di daerah। Padahal jika bangsa ini ingin belajar dari pengalaman-pengalaman yang pernah ada sebelumnya, penyelenggaraan program pemekaran wilayah bukanlah seperti apa yang dibayangkan, melainkan ditingkat lapangan, prakteknya jauh dari yang diharapkan.
Dari sekian banyak produk hukum yang mengatur tentang program Otonomi Daerah yang dikeluarkan, hampir semuanya tidak berjalan secara maksimal। Lihat saja, sebelum era reformasi berhasil digulirkan pada tahun 1998, peraturan tentang Program Otonomi Daerah tersebut sudah mengalami beberapa kali perubahan. Mulai dari Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, dan UU No. 5 Tahun 1974. Di era reformasi, muncul lagi UU No. 22 Tahun 1999 dan disusul UU No. 32 tahun 2004. Kemudian yang terakhir, keluar lagi Peraturan Pemerintah (PP) 72 Tahun 2005, dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri No. 903/2429/SJ tahun 2005. Semua peraturan tersebut pada prinsipnya membahas tentang idealisme otonomi daerah yang dalam tataran impelementasinya justru diikuti dengan kebijakan-kebijakan “eksploitatif” di tingkat daerah dalam mengatur dan mengelola potensi daerahnya.
Tulisan ini tidak bermaksud menentang salah satu program yang sangat populis ini। Melainkan hanya ingin menyajikan realitas yang terjadi di tingkat akar rumput terutama komunitas-komunitas yang memiliki ikatan dan berinteraksi langsung dengan eksistensi alam, sebut saja Masyarakat Adat Dayak. Di beberapa kampung di Kalbar ini, program pemekaran wilayah diibaratkan seperti buah simalakama. Dibalik niat mensejahterakan masyarakat, program itu justru mengancam kehidupan sosial ekonomi, budaya dan lingkungan masyarakat komunitas. Kondisi ini disebabkan karena paradigma pembangunan masih sangat mendewakan “pendapatan asli daerah” yang berorientasi pada peningkatan angka pertumbuhan ekonomi semata.
Realitasnya, tingkat kemiskinan tetap saja meningkat, pelayanan publik tetap saja minim, fanatisme daerah, suku semakin mencuat kepermukaan, kemerosotan budaya dan lingkungan pun semakin tak terelakkan. Pada prinsipnya, pelanggaran-pelanggaran dalam penyelenggaraan otonomi daerah akibat perbedaan pemahaman otonomi daerah masih kerap terjadi. Ketaatan pemerintah daerah pada peraturan perundang-undangan yang berlaku masih belum tumbuh. Seperti pembuatan Perda oleh pemerintah daerah yang tidak mengacu pada UU, yang pada akhirnya malah menimbulkan kebingungan di tingkat masyarakat dan berdampak tidak saja menghambat program pembangunan, melainkan juga menumbuhkan potensi konflik horizontal.
Kegagalan lain, pemerintah daerah dalam menjalankan amanat UU No। 32 Tahun 2004 ini juga yang berkaitan dengan pemekaran desa. Jujur saja, pejabat daerah mengambil keuntungan di balik pemekaran tersebut, sehingga konflik sosial antar warga yang daerahnya dimekarkan pun sulit diatasi. Penyebabnya terkait dengan adanya kebijakan yang hanya memikirkan keuntungan belaka, tanpa memikirkan dampak sosial dan lingkungan.
Salah satunya di Desa Tanggerang, Kampung Tanjung, Kecamatan Jelai Hulu Kabupaten Ketapang। Wilayah yang mayoritas bersub suku Dayak Jalai ini sebelum dimekarkan menjadi beberapa desa, yang diikuti dengan pemecahan dusun sampai RT, kehidupan masyarakatnya sangat solid. Rasa kebersamaan, solidaritas masih dijunjung tinggi, seperti yang terlihat dalam proses penyelenggaraan ritual upacara adat atau pun dalam hal mengambil keputusan yang menyangkut hazat hidup seluruh masyarakat komunitasnya, sebut saja program pembangunan perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Kini, setelah dilakukan pemekaran, justru keputusan yang diambil lebih mengedepankan batas-batas administratif ketimbang ikatan kekerabatan yang sudah melekat dalam kehidupan mereka sebelumnya.
Begitu juga halnya dalam proses melaksanakan ritual adat istiadat, jika sudah beda wilayah administratifnya, meskipun itu masih dalam satu kampung, maka itu tidak akan menjadi sebuah keharusan lagi। Jika ritual itu dilaksanakan di Kampung Tanjung tetapi karena sudah terpecah menjadi dua desa, maka aturan adat (pantang pantiq) juga harus disesuaikan dengan batas-batas wilayah desa masing-masing atau dimana pusat ritual itu dilaksanakan. Padahal masyarakatnya hanya dipisahkan oleh batas administrasi desa saja.
Tentu saja realitas ini sangat memprihatinkan, sikap kebersamaan tidak lagi dipandang perlu, dan justru doktrin pembangunan jauh lebih utama ketimbang harus duduk bersama walaupun itu adalah saudaranya sendiri। Kondisi seperti itu tidak hanya terjadi di Kampung tanjung, melainkan juga banyak kisah-kisah yang sama juga terjadi di daerah lainnya. Pemekaran wilayah dilaksanakan dengan tidak memperhitungkan kondisi konkrit yang ada didalam kehidupan masyarakat lokal.
Semata-mata karena ingin mendapatkan pemasukan daerah melalui program pembangunan perkebunan kelapa sawit, pertambangan dan lain sebagainya, kemudian mendorong strategi pemekaran wilayah। Akibatnya, masyarakat saling rebutan dalam mempertahankan wilayah-nya masing-masing dimana yang dulunya dimiliki secara bersama.
Oleh karena itu, kedepan, kebijakan pemekaran wilayah itu tidak saja dipandang positif oleh kalangan elit politik maupun elit di tingkat lokal, tapi juga harus dikaji secara seksama bagaimana dampak negatif terhadap eksistensi komunitas. Jangan karena dilandasi kepentingan politik dan bisnis semata, justru mengorbankan kehidupan masyarakat komunitas. Kalau sudah begitu, program pemekaran wilayah yang didengung-dengungkan pemerintah selama ini bukanlah sebuah anugerah yang bisa membawa kemajuan bagi masyarakat komunitas, melainkan justru menjadi petaka baru. Program ini patut untuk terus dikaji ulang, apakah benar-benar pemekaran wilayah untuk kesejahteraan rakyat atau justru program penyempitan wilayah untuk penghancuran kehidupan masyarakat komunitas. (FRANS LAKON)